Minggu, 19 Juli 2015

VIRUS GAY MELANDA KALANGAN EKSEKUTIF



Gambar      Gay, yang bisanya dipandang sebelah mata, adalah senuah fenomena. Tapi keberadaannya di Indonesia kini agaknya sudah mulai mendapat tempat. Kariernya tak lagi terbatas pada profesi yang biasa ditekuni kaum wanita, namun sudah merebak ke semua lini, termasuik menjadi eksekutif top di berbgai bidang usaha. Ancaman bagi “pria sejati”. Ingin tahu lebih dalam? Ikuti lipitan super menarik berikut ini…

MINGGU, pukul 12 malam, di sebuah gedung perkantoran di bilangan Jakarta Selatan. Orang-orang berdiri dalam antrean menunggu lift yang membawa mereka ke lantai teratas. Begitu lift itu sampai ke lantai yang dituju, musik hingar-bingar seketika menyerang telinga para pengungjung.

Uniknya, semua pengunjungnya lelaki. Mereka saling menatap penuh arti. Saling membalas dengan dalam, lantas saling pula bertukar senyum. Penampilan mereka juga beragam. Ada yang tampil gagah, macho, dengan balutan celana jeans atau pantolan dikombinasikan dengan hem atau dengan balutan jaket.

Novan, 35 tahun, malam itu berpenampilan garang, layaknya laki-laki kebanyakan. Namun ketika berbicara, lajang dan eksekutif di sebuah perusahaan asuransi ini bersuara lembut bak perempuan. ”Kalau sudah kumpul bareng sesama, kayaknya otomatis deh penampilan kita jadi centil. Lain kalau di kantor atau sedang berhadapan dengan klien. Biasa, jaim, jaga image!” ungkapnya.

Suasana diskotek yang banyak dipenuhi pengunjung pria seperti itu juga bisa ditemui di sebuah sarana dugem di Jalan Thamrin. Sulit menemukan wanita di tempat seperti itu pada hari-hari tertentu, Jumat, misalnya. Pria-pria wangi tersebut memang kurang tertarik pada lawan jenis. Mereka lebih menyukai sesama pria.

Memang, sejumlah tempat hiburn di Jakarta telah dijadikan ajang berkumpul kaum gay. Masing-masing saran hiburan malam semacam diskotek itu punya malam khusus untuk kaum gay. “Saya sering datang ke sini. Tidak hanya untuk cuci mata, tapi untuk mencari pasangan,” ungkap Deo, seorang penata rias wajah, dengan nada gemulai.

Tak bisa dipungkiri, kaum gay yang memang sudah ada sejak zaman Nabi Luth, namun eksistensi mereka sekarang lebih mengilap. Pikiran dan pandangan masyarakat umum pun sudah jauh lebih terbuka. Kalau dulu mereka merasa menjadi kaum yang terpinggir, sekarang mereka lebih berani menunjukkan jati diri mereka di depan publik.

Banyak gay yang tidak malu lagi mengekspresikan diri di tengah masyarakat dan keluarga. Bisa jadi karena percaya diri tumbuh karena punya prestasi yang bisa dibanggakan. Gay yang berprofesi sebagai bintang sinetron, model atau peragawan, perancang busana, perias wajah, dan peñata rambut cukup menonjol keberadaannya dan lebih berani terbuka.

Kini, gay yang profesional di bidang lain juga mulai berani membuka jati dirinya. Tak sedikit gay mempunyai posisi bagus, atau menjadi eksekutif di sebuah perusahaan seperti Novan tersebut di atas. Contoh lainnya, Gerry, 32 tahun, salah satu direksi sebuah production house yang telah menghasilkan sejumlah pembuatan iklan dan juga sinetron.

TEORI-TEORI

Ada beberapa teori yang diungkapkan para pakar mengenai homoseksualitas ini. Teori pertama mengungkapkan bahwa homoseksualitas adalah pembawaan dan keturunan. Hal ini banyak ditentang oleh kaum gay sendiri, karena jika teori ini benar, berarti salah satu dari orang tua mereka adalah gay.

Teori kedua menyatakan bahwa homoseksualitas terjadi karena pengaruh lingkungan hidup disekeliling kaum gay. Jika seseorang lahir dan hidup di antara kaum perempuan atau mempunyai figur perempuan yang kuat dan dominan dalam hidup mereka, otomatis mereka akan menjadi gay.

Mungkin teori ini ada sedikit benarnya juga seperti teori pertama, seseorang bisa saja tetap menjadi homoseksual walaupun dia dibesarkan di lingkungan yang didominasi oleh perempuan.

Teori ketiga berasumsi bahwa dalam setiap diri manusia terdapat proporsi homoseksualitas dalam presentasi tertentu. Jika porsi heteroseksualnya lebih besar, tentu dia akan menjadi seorang heteroseksual. Ini juga ditunjang oleh pengaruh-pengaruh yang ada di dalam lingkungan hidup sehari-hari setiap individu.

Jika seorang pertama kali berhubungan seks dengan sesama jenis dan menikmatinya, tentu dia akan berusaha mencari kenikmatan itu secara berkelanjutan dan memperbesar persentase homoseksualitas dalam dirinya.

Nilai-nilai dan norma budaya kita memang masih sulit untuk menerima keberadaan homoseksualitas. Masih banyak pula kaum gay yang tetap cenderung untuk berusaha kembali ke “jalan lurus” dan berusaha berkencan dengan lawan jenis. Namun, banyak juga yang mendalami pikiran mereka sendiri, dan mencoba untuk melakukan eksplorasi dengan dunia gay.

Teori ketiga ini lebih realistis karena memang dalam diri semua orang, minimal terdapat rasa ketertarikan terhadap sesama jenis, baik itu cuma dalam bentuk fisik dan fikiran, tapi juga bisa lebih jauh ke arah seksual.

Kaum gay selalu dikonotasikan dengan penganut seks bebas. Mungkin ada benarnya juga. Mengapa? Karena kaum gay lebih gampang bertemu orang, dan tidak ada resiko kehamilan yang tidak perlu dipertimbangkan jika mereka ingin berhubungan seks. Mereka juga tidak harus memikirkan siklus masa subur seperti layaknya seorang perempuan.

Selain itu, karena norma-norma Timur masih dijunjung tinggi oleh para wanita Indonesia, mereka masih menghargai keperawanan dan berusaha untuk tidak bergubungan seks sebelum menikah, meski banyak juga yang melanggar larangan tersebut. Pada kaum gay masalah-masalah di atas tidak berlaku, sehingga mereka dengan mudah menemukan pasangan untuk berhubungan seks tanpa mengenal waktu, batasan dan norma-norma sosial yang ada.

GAY CULTURE

Sebenarnya tidak ada yang spesifik disebut sebagai kebudayaan, tapi ada kecendrungan global dari kaum gay yang mempunyai jenis rutinitas, hobi, atau pun jalan pikiran yang sama di mana-mana. Misalnya, bisa dipastikan hampir semua gay era 1990-an punya album lagu-lagu Madonna, atau kini J-Lo, dan Lady Gaga.

Banyak selebriti yang dikaitkan sebagai idola oleh kaum gay karena mereka menciptakan fantasi ataupun menyanyikan lagu-lagu tentang pria idola mereka. Tidak ada kaum gay yang mau dikatakan “kuper” sehingga mereka berusaha keras untuk menjadi kaum yang cukup konsumtif dan hedonis.

Kaum gay boleh dibilang sebagai trendsetter. Sebelum era keterbukaan kaum gay, mereka berusaha mengidentifikasi kaum mereka dengan berbagai cara. Dulu mereka memakai cincin dijari kelingking. Setelah banyak orang yang menggunakan cincin, mereka beralih ke anting yang ditindik disebelah kanan. Tapi trend ini pun cepat berlalu karena banyak pria heteroseksual juga mulai memakai anting. Para gay lalu beralih lebih suka memakai T-shirt ketat yang memperlihatkan bentuk tubuh mereka. Atau mengenakan celana Levis 501 yang terkenal itu, dan menyisipkan sapu tangan yang mencuat di kantong belakang. Ini pun dengan cepat menjadi trend berbusana bagi sebagian pria.

Akhirnya mereka menciptakan bahasa mereka sendiri yang hanya bisa dimengerti oleh kaum gay, dan ini pun sudah mulai menjadi “bahasa gaul” kaum muda. Deby Sahertian pun sampai menerbitkan buku tentang bahasa kaum gay ini.

Uniknya bahasa kaum gay ini berkembang jauh lebih pesat ketimbang bahasa atau istilah kaum gay di negara lain. Entah ini terjadi karena struktur bahasa Indonesia yang lumayan fleksibel, atau mungkin karena orang Indonesia saja yang memang kreatif menciptakan bahasa gaul baru yang bisa menjadi bahasa sandi di kalangan eksklusif mereka.

Bentuk kebudayaan lain adalah menciptakan segala sesuatu yang memang eksklusif ditujukan untuk kaum gay, seperti buku, majalah atau situs tentang gay, sarta sarana-sarana hiburan malam yang menggelar acara atau malam khusus untuk meraup keuntungan dari kalangan gay.

LEGALITAS KAUM GAY

Di negara-negara Barat, walaupun kaum gay tidak dianggap memiliki penyimpangan seksual atau sejenis penyakit, masih banyak yang tidak bisa menerima sebagai pasangan hidup yang sah. Di Amerika Serikat sekali mpun, di mana kaum gay sudah diakui eksistensinya, masih sulit untuk melakjukan pernikahan yang sah secara hukum.

Kalau bisa disebutkan, mungkin ada sekitar kurang dari 10 negara di dunia ini yang mengakui pernikahan gay sah secara hukum. Negara-negara tersebut antara lain: Belanda, Denmark, Swedia, Norwegia, dan beberapa Negara bagian di Amerika Serikat dan Australia.

Di negara-negara lainnya, kaum gay masih terus berjuang dan berdemontrasi dari hari ke hari untuk mendapatkan hak dan kewajiban yang sama seperti layaknya pasangan suami-istri heteroseksual.

Perjuangan untuk mencari identitas diri dan juga membela kaum gay pun tidak dengan mudah diperoleh. Pada tahun 1969, terjadi insiden di sebuah bar bernama Stonewall di New York, Amerika Serikat. Waktu itu polisi berusaha menutup tempat-tempat gay dan menangkap semua pengunjung tempat-tempat tersebut. Cuma kali ini, kaum gay melawan dan terjadilah perang yang cukup menggegerkan antara kaum gay dan polisi.

Itu tidak berakhir di situ saja. Keesokkan harinya, kaum gay berparade di jalan dan menuntut hak mereka diakui dan eksistensi mereka dihormati sebagaimana layaknya manusia biasa. Peristiwa tersebut menjadi tonggak tersendiri dan disebut-sebut sebegai revolusi gay yang pertama.

Di Indonesia sendiri, tidak ada hukum yang jelas mengenai homoseksualitas. Satu-satunya hukum yang ada adalah, kita tidak boleh berhubungan seks dengan orang yang berusia dibawah 17 tahun.

Walaupun demikian, selama ini masih terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh pihak pemerintah untuk menutupi eksistensi kaum gay. Namun karena tidak adanya dasar hukum yang jelas, membuat kaum gay yang intelektual berusaha keras untuk membuka diri.

TIDAK ADA HAMBATAN BERKARIER

Semakin terbukanya kaum gay menanpilkan jati dirinya, ditambah masyarakat umum sudah semakin menerimanya, peluang berkarier bagi mereka pun tak lagi banyak menemui hambatan. Karier mereka tak lagi mendominasi bidang profesi tertentu, sebagai penata rambut, perias wajah, perancang busana, ahli boga serta profesi yang bersifat feminis lainnya.

Sebut saja Lukman, 25 tahun, yang bekerja pada salah satu perusahaan multimedia. Sedangkan Johan, 23 tahun, berkarier pada sebuah biro perjalanan. Bekerja pada sebuah konsultan manajemen, merupakan peluang karier yang cukup bagus bagi Andreas, 33 tahun. Dan Wayan, 30 tahun, memilih bekerja di hotel. “Saya memilih terbuka, dan keterbukaan itu justru menunjang karier saya,” Dimas Prasetya.

Seorang gay berprestasi bisa menduduki jabatan manajer, general manajer, bahkan direktur di perusahaan multinasional. Dan peluang karier pria penyuka sejenis ini juga terbuka di pemerintahan. Tak menutup kemungkinan ia bisa menjadi diplomat, bahkan pejabat tinggi negara.

Ya, “virus” gay telah melanda kalangan eksekutif. Keberadaan dan prestasi kaum gay yang tak kalah hebat dibanding pria heteroseksual bisa jadi merupakan ancaman sekaligus menumbuhkan persaingan dalam berkarier tanpa membedakan orientasi seksual mereka. Keberadaan kaum gay memang patut diperhitungkan.

MENJADI GAY KARENA KARIER

Tampan dengan postur tubuh atletis dan berpenampilan parlente, itulah Dedy Permana, manajer pemasaran di sebuah hotel berbintang di Jakarta. Tapi siapa sangka kalau pria 36 tahun berdarah Manado jawa ini ternyata seorang gay?

Awalnya, perilaku seksual Dedy sama sekali tidak menyimpang seperti sekarang. Terbukti waktu duduk di bangku SMU dan universitas, ia pernah tigakali kali pacaran dengan gadis seusianya. Adalah profesinya ketika menjadi pramugara di sebuah kapal pesiar berbendera asing-lah yang membuat perilaku seksual Dedy akhirnya menyimpang.

Selepas dari pendidikan di sebuah akademi pariwisata di Bandung, Dedy memang melamar pekerjaan untuk menjadi pramugara di sebuah kapal pesiar berbendera asing. Saat itu, keberuntungan memang tengah berpihak pada pria yang gemar olah raga berkuda ini. Lamaran Dedy diterima, dan ia pun langsung meninggalkan Indonesia untuk masa kontrak sekitar satu tahun sebagai pramugara kapal pesiar.

Di sinilah perilaku seksual Dedy sebagai gay berawal. Ternyata di kapal pesiar tersebut ada beberapa orang yang memang memiliki perilaku gay. Bahkan di divisi Dedy, jumlahnya cukup banyak. Postur Dedy yang tegap dan atletis, wajah handsome dan kulit kecoklatan tentu saja jadi sasaran empuk bagi mereka. Salah satunya, pramugara senior berkewarganegaraan Prancis yang selalu menggoda Dedy.

Mulanya Dedy biasa menolak. Tapi setelah si bule melontarkan ancaman akan membatalkan kontrak Dedy jika tidak mau memenuhi hasratnya, Dedy akhirnya pasrah. Anehnya, Dedy ternyata bisa menikmati hubungan seksual ala gay ini.

Setelah itu, ia malah merasa ketagihan. Dan pada akhirnya, bukan hanya dengan seniornya saja Dedy melakukan hubungan seks gay, melainkan juga dengan sesama pramugara lain yang juga gay. Menurut Dedy, bisa dibilang, hubungan sejenis salah satu menu pelampiasan hasrat seksual bagi para pramugara, termasuk dirinya yang selalu berperan menjadi ‘top’, yaitu sebagai suami pada saat berhubungan seks anal, selama pelayaran berlangsung.

Menjadi gay karena faktor lingkungan kerja, itulah yang dialami Dedy. Tanpa disadari, ia memang memiliki bibit untuk jadi seorang gay. Bahkan sekembalinya ke Indonesia tahun 2010, hasratnya untuk mendekati wanita mulai redup. Hatinya lebih tertarik jika melihat pria yang berwajah imut-imut dan berkulit bersih. Tapi ia tidak berani untuk memiliki pacar sesama gay.

“Saya lebih memilih untuk tidak terikat hanya dengan satu orang. Soalnya berbahaya. Sama halnya dengan lesbian, kaum gay juga suka cemburu berlebihan pada pasangannya. Inilah yang saya hindari. Lebih baik, kalau memang sama-sama mau, kita langsung ngeseks saja. Tapi setelah itu nggak ada ikatan apa-apa,” katanya.

Hingga kini, Dedy selalu berusaha untuk menutupi perilaku seksualnya yang menyimpang itu. Apalagi jika ia berada dikantor dan di rumah. Untungnya, seperti diakui Dedy, komunitas gay dengan penampilan gagah seperti dirinya memang tidak semencolok gay yang bergaya layaknya wanita.

Tak heran, jarang ada orang yang sadar bahwa Dedy seorang gay. Bahkan, keluarga dan rekan kerjanya pun tidak mengetahui hal tersebut. Di hadapan mereka, Dedy berperilaku layaknya pria sejati. Baru di antara orang-orang yang senasib dengan dirinya, Dedy berani menunjukkan identits yang sesungguhnya.

Sampai kapan ia akan menjadi gay, Dedy sendiri tidak tahu. Yang pasti pihak keluarganya memang sudah mendesak agar ia segera menikah, mengingat usianya yang sudah menginjak 37 tahun.

MANFAT HUBUNGAN G TO G

Suatu ketika, Alexander, harus mengurusi satu kegiatan besar yang melibatkan beberpa tamu penting dari Indonesia. Salah seorang staf Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di sebuah negara di Eropa ini harus menyiapkan saran bermalam bagi rombongan tersebut. Namun karena satu hal, hotel besar yang direncanakan sebagai tempat menginap tamu-tamu dari Tanah Air  itu tak bisa memenuhi semua pesanan kamarnya.

Alexander harus memutar otak, sebab di negara tersebut sulit mendapatkan kamar hotel dalam jumlah besar jika tanpa melakukan reservasi lebih dahulu jauh hari sebelumnya. “Dalam keadaan panik itu, tiba-tiba saya teringat seorang teman yang punya sebuah hotel,” pria penyuka sesama jenis ini mengungkapkan. Sebagai sesama gay, sang teman pemilik hotel selalu menyiapkan satu lantai (sekitar 30 kamar) untuk para gay jika suatu saat membutuhkan kamar.

Alexander kemudian menyampaikan kesulitannya pada sang teman, bahwa ia membutuhkan kamar dalam jumlah cukup banyak untuk para tamu dari Indonesia. “Hanya dalam hitungan jam saya mendapat jawaban, bahwa semua gay yang sudah memesan kamar di lantai itu dengan senang hati memberikan buat saya. Maka tertolonglah saya berkat kebaikan mereka,” tutur Alexander.

Keberhasilan Alexander mengatasi kesulitan tersebut membuat atasannya bangga terhadapnya. Ia dianggap jago dalam melobi. Dan dari pengalaman itulah karier Alexander secara perlahan terus menanjak. Keberadaannya sebagai gay tak menjadi kendala baginya dalam meniti dan meningkatkan karirnya sebagai diplomat.

Alexander merasakan perbedaan dalam dirinya sejak masa kuliah. Hanya saja saat itu dia belum banyak bertemu dengan komunitas sejenis. Ketika kariernya mulai menanjak dan mendapat tugas di salah satu negara Eropa, ia mulai banyak bergaul dengan teman-teman diplomat yang memiliki orientasi seksual sesama jenis.

Di negara tersebut, perilaku dan komunitas gay cukup mendapat tempat. Di situ ia menjalin hubungan dengan kaum sejenisnya lewat pertemuan-pertemuan diberbagai kafe yang khusus untuk kalangan mereka, atau mengikuti kegiatan beberapa klub gay. Bergaul dalam komunitas eksklusif itu itu bukan untuk hura-hura.  Banyak kemudahan atau manfaat yang bisa diperoleh Alexander yang berkaitan dengan tugas-tugsnya. “Ada persolan yang agak rumit, hanya bisa diselesaikan dengan cara G to G, antara sesama gay. Karena pejabatnya adalah teman satu klub, saya bisa menyelesaikannya dengan mudah. Ini kekuatan G to G,” katanya sambil tertawa.

Meskipun karier Alexander cukup bagus, namun suara sumbang terhadap keberadaannya sebagai gay tetap saja ada. Ada saja pembicaraan yang bernilai negatif. “Misalkan mereka selalu memperingatkan pada tamu yang kita layani untuk berhati-hati terhadap saya. Padahal kalangan kami ini bukan sembarangan. Kami tidak murahan dan sudah punya pilihan tetap. Kalau yang kasar itu dari kelas-kelas bawah, artinya secara pendidikan dan materi memang sangat kurang,” ungkapnya.

Kelas atas, menurut Alexander adalah lingkungan gaul kalangan sejenis yang memang tidak murah. “Contohnya untuk ikut sebagai anggota dalam sebuah klub khusus, bisa dikenakan biaya sekitar US$ 1.000. Belum lagi soal gaya berlibur dan makan-makan yang selalu memakai tempat-tempat spesial,” tuturnya.

Untuk menghindari suara-suara sumbang, Alexander punya acara tersendiri. Ketika berada di Amerika, ia mulai mengatur strategi untuk bersikap lebih wajar lagi. Ia lalu menikahi seorang wanita yang tentunya mengerti betul tentang orientasi seksualnya. Dengan begitu, ia bisa terbebas dari pembicaraan dan penilaian miring yang pastinya sangat mempengaruhi keberadaan dan kesehariannya.

MENJADI GAY, SEBUAH TANTANGAN

Siti Ismawati, Psikolog

Ada beberapa alasan mengapa seseorang menjadi gay atau homoseksual. Selain faktor genetika, alasan lain seperti mengikuti trend dalam pergaulan dan gaya hidup  juga berpengaruh besar. Ketika seorang secara sengaja maupun tidak masuk dalam lingkungan pergaulan kalangan gay, maka cepat atau lambat ia dapat saja terpengaruh.

Awalnya mungkin sekedar toleransi, atau tidak memikirkan hal lain kecuali networking belaka, yang kemudian menjadi terikat dengan kalangan itu secara bisnis profesional. Dan karena intensitas hubungan ini semakin sering, lalu tanpa terasa melibatkan emosi.

Yang lain barangkali alasan preference, yang menjadi pilihan aktivitas seksual mereka. Dengan sesame pria bias jadi lebih mendapatkan kenikmatan. Selain lebih bisa mengerti, hubungan seksual sesama pria tentu tidak akan menimbulkan konsekwensi seperti kehamilan dan semacamnya, karena tujuannya hanya untuk bersenang-senang. Dari saling berbicara, berdekatan dan meraba-raba, sampai berani coba-coba melakukan sodomi dalam pesta kaum gay seperti Mardi Grass dan sebagainya.

Menjadi gay merupakan sebuah tantangan, karena akan menjadi seseorang yang berbeda, yang berarti eksklusif dan minoritas. Let’s do something different, why not?

Era globalisasi yang semakin terbuka, dan pengakuan hak asasi manusia yang salah kaprah, juga mempengaruhi adanya komunitas ini semakin mencuat. Seperti penghargaan Nobel yang tidak hanya berdasarkan pertemuan dan penyelidikan terhadap sesduatu masalah yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun, telah berkembang kepada masalah kemanusiaan, sosial dan budaya yang justru banyak dikedepankan. Misalnya tokoh Nelson Mandela (Afrika Selatan) yang mewakili kaum buruh dan sebagainya.

Mengenai komunitas kaum gay yang kini kian marak dan semakin mencuat ini karena secara psikologis, biasanya kelompok minoritas memang lebih cenderung membentuk komunitas yang solid memiliki kekuatan untuk muncul dan diakui oleh masyarakat. Dukungan masyarakat yang ada ini kemudian membentuk networking di antara komunitas mereka, dan bukan tidak mungkin kalau kemudian menjangkit pada masyarakat di sekelilingnya.

“Virus” gay ini bisa dibilang akan mudah menular pada rekan lain, karena memang sangat manusiawi ketika seseorang yang kebetulan gay kemudian ingin mencoba melakukan aktivitas seksual dengan sesama rekan kerjanya. Awalnya barangkali hanya jalan bersama, lalu saling ngobrol dan berbagi cerita, curhat masalah pekerjaan, kehidupan pribadi hingga masalah seksual. Sebagaimana sebuah proses aksi reaksi, yang kemudian berkembang dan diekspresikan dalam bentuk hubungan secara khusus, bahkan intim.

Tak bisa dipungkiri bahwa di kota-kota besar kini sudah semakin marak dngan komunits gay ini. Fasilitas, situasi dan kondisi yang mendukung sangat memungkinkan untuk lebih terbukanya komunitas ini. Apalagi dari segi psikologis masyarakatnya yang cenderung cuek dan bebas bergaul, serta pihak pemerintah yang sepertinya belum memberikan semacam kebijakan menyangkut kehidupan gay ini. Seperti aturan dalam masyarakat, dalam jajaran posisi pemerintah, jabatan publik dan sebagainya.

Banyak para eksekutif yang lalu mempromaklamirkan bahwa dirinya gay dengan tidak malu-malu lagi, bahkan sebaliknya merasa bangga karena “berani tampil beda”, serta merasa gagah karena telah mengikuti trend. Dan naifnya, komunitas gay ini lalu dianggap sebagai nilai tambah dari golongan eksekutif tadi.

Komunitas gay yang minoritas ini kemudian akan berpengaruh terhadap karier dan profesi mereka yang tampak seolah menonjol dengan kesukaan dan keberhasilan. Karena secra psikologis, mereka ini telah membentuk keterpaduan yang mau tidak amu langsung membuat keterkaitan yang solid, sebagaimana posesifnya seorang gay dalam mempertahankan komunitasnya tadi.

(Semua nama pelaku dalam reportase ini telah disamarkan, kecuali nama kota dan nama psikolog)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar