Jumat, 17 Juli 2015

Santri Suka Sesama Jenis


Gay di pondok pesantren (Kisah seorang santri gay)


malam ini berwarna ungu kegelapan,namun jika di banding percakapan saya sama teman saya tadi sore tentang masalah yang menimpa dalam jiwanya kegelapan malam ini tidak ada apa apanya pasalnya point perbincanganya tentang homo sexual di pondok yang di tempatinya ia merasa terjatuh dalam rimba gay yang semakin tahun terus semakin jadi ia pun curhat sama saya tentang pengalaman hitamnya begini: gimana aku ini kak..semakin aku balik pada pondok semakin aku menjadi rasa homoku..!
Saya pun tersenyum sambil mendengar percakapannya.. aku thu merasa sudah suka sama lelaki ganteng katanya santri dari jawa "amrod"[istilah untuk lelaki yang punya tampan seperti wanita]/bisa dibilang meril dan aku sangat cemburu jika ia di perlakukan oleh anak lain..,saya hanya terdiam dan terus mendengarkan pembicaraannya. terus ia minta solusi pada saya,”Gimana ya kak cara menghilangkan rasa sukaku pada teman lekaki.??”
“Oh mungkin kamu perlu fokus kepada semua pelajaran mau di pondok.&juga urusi dirimu,serta jangan melihat temanmu yang ganteng ganteng.”
“Tapi kak aku thu sudah terlanjur suka,dan tidak konsen pada pelajaran karna dia,wajahnya thu putih bersih,bibirnya itu kak merah,..zztt.! begini kak aku kan habis sholat isya' saatnya musyawaroh..sudah ada niat baca kitab dari kamar eh gak taunya sesapai di langger{musholla}malah kepikiran dia.. 
aku thu kak pernah menciumnya,yah layaknya mencium sesama wanita,begitu mesra suka sama suka  pernah kak pahanya itu di taruh di atas pahaku wah langsung penisku berdiri namun aku berpura pura kebelet pipis,

lalu saya tanya,”Temen kamu itu mau sekamar dengan kamu?? “
Dia menjawab “Tidak kak,ia tidak sekamar dengan ku tapi bila tidur ia selalu di musholla bersamaku kak, sambil ku awasi takut ada Boser [istilah tukang sodomi] / sering di bilang juga warok  ialah tukang kentis=sodomi pasalnya ia sering di berlakukan kekerasan yang berupa kentis dari teman teman kamarnya  dan aku ngerasa tidak terima dan cemburu

“Tetapi kan musti ada juga di pondok mau yang tidak homo?!!” Tanya saya, ada sih ada tapi terkadang kesukaannya tidak di tampakkan,mereka yang bisa menahan syahwatnya kak. kata kiaiku kak bila ada seorang santri yang tidak suka pada sesama jenisnya akan ku gurui dia (akan di jadikan guru)!! 
dan juga kak masih lebih banyak syaitan amrod ketimbang perempuan.!!

sekian

Ini tambahan dari Lattong

Kebanyakan pondok pesantren amat ketat membatasi pergaulan antara lawan jenis. Kedekatan antara lelaki dan perempuan yang bukan muhrimnya dianggap tabu. Pondok Pesantern An-Naqiyah di Sumenep tidak terkecuali.

Menurut Iskandar, mereka memisahkan setiap santri laki-laki dengan santri perempuan di dalam pondokannya, bahkan para santri laki-laki tidak diperbolehkan sembarangan untuk memasuki wilayah nyai-nyai atau putri para kiai. Kamar-kamar di bagi para santri di pondokan ini lebih ditetapkan sesuai dengan keinginan santri. Tapi, pada umumnya santri paling seniorlah yang menjadi ketua kamar tersebut. Setiap kamar yang berukuran sekitar 5 kali 5 meter, dijejali 20 hingga 30 orang. Jadi, kamar itu fungsinya amat terbatas: hanya untuk beristirahat, menyimpan barang, atau berganti pakaian.
Kegiatan lainnya seperti belajar dan tidur biasa dilakukan di depan kamar masing-masing atau di beranda masjid. Kamar mandi yang juga amat terbatas, membuat para santri mempunyai kebiasaan untuk mandi bertelanjang bersama-sama. Di sinilah keakraban sesama pria semakin menemukan lahannya. Obrolan, gurauan dan diskusi terbuka tentang hasrat seksual para santri bukanlah hal yang aneh. Lewat observasi, wawancara, atau percakapan sehari-hari dengan para penghuni pondok ini, Iskandar menyimpulkan bahwa ada tiga pola relasi homoseksual di antara para santri di pondok pesantren An-Naqiyah.

Pertama: relasi dengan ikatan, kedua: relasi tanpa ikatan, dan terakhir: relasi seksual untuk kenikmatan. Keterusan yang di atas!lol Pola relasi homoseksual dengan ikatan biasanya melibatkan santri senior dengan santri yang baru saja mendaftar. Ketika baru masuk, beberapa pendaftar yang muda (berumur 12-13 tahun), telah diincar oleh santri yunior yang menerimanya. Seringkali di saat pendaftaran itu, terjadilah kesepakatan di antara kedua santri tersebut. Biasanya kedua santri tersebut akan menempati kamar yang sama, karena kesepakatan di antara mereka untuk saling membantu, saling menjaga, dan saling memberi, dan saling mengasihi. Santri senior dalam hal ini adalah ketua kamar yang disegani oleh penghuni kamar yang lain, sehingga tidak ada santri-santri penghuni kamar lain yang berani melawannya. Dalam kesehariannya kedua santri tersebut akan bersama, saling bergandengan ke manapun mereka pergi. Dalam hubungan ini juga terdapat sistem kekuasaan yang tidak setara, yaitu santri senior bertindak sebagai suami yang konvensional: ialah yang menjaga, membimbing, memberi petuah, dan terkadang juga harus memberi nafkah. Sedangkan santri yunior tersebut berlaku sebagai sosok istri yang menurut terhadapsuami, bersedia menemani dan melayani suami kapanpun dan di manapun, serta memasak untuknya.Biasanya hubungan ini dilakukan di kamar yang mereka tempati. Karena di kamar tersebut santri senior menjadi ketua kamar, jadi ia mempunyai lebih banyak hak dari yang lain. Dalam pola ini biasanya pasangan tersebut hanya saling memeluk, mencium, meskipun tidak menutup kemungkinan lebih jauh. Dari wawancara Iskandar dengan seorang santri senior, bahkan juga terjadi gesek-gesek alat kelamin ke paha atau bahkan ke ketiak pasangannya. Pola ini juga tidak menutup kemungkinan terjadinya hubungan dengan penetrasi anus. Begitu umumnya hubungan homoseksual ini di pesantren An-Naqiyah, sehingga para santri di pondok itu terkadang mengejek mereka yang tidak mempunyai pasangan atau yang tidak melakukan hubungan homoseksual dengan santri lainnya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar