Senin, 20 Juli 2015

Ternyata Ayahku Gay



Waktu kecil sungguh adalah masa yang sangat membahagiakan bagiku. Limpahan kasih sayang kurasakan dari orangtuaku. Pun secara materi, kami juga tidak kekurangan, hingga seringkali aku dihadiahi mainan2 yang membuatku merasa anak paling beruntung di dunia ini. Kasih sayang yang kuterima bertambah komplit, karena aku merupakan cucu pertama, maka ke dua kakek nenekupun sangat memanjakanku.

Kebagian yang kuterima lambat laun kurasa berkurang. Saat usiaku sikitar 10 tahun, ibuku makin jarang di rumah karena kesibukanya. Tetapi ayahku, yang membuka toko dirumah, selalu mencoba menghiburku. Ya, ayah bagiku adalah sosok paling sempurna di mataku, beliau selalu ada jika aku butuhkan, aku seperti tak berdaya jika tak ada ayah. Walau menurut orang lain, ayah terlalu santun dan lembut untuk ukuran seorang lelaki, tapi bagiku beliau adalah segalanya. Ketidak hadiran ibu yang makin sering, dengan alasan pekerjaan, tak berpengaruh banyak bagiku, walau aku merasa sedikit terabaiakan.

Belakangan, seringnya ibuku sibuk, kerap membuat orang tuaku bertengkar. Walau ayah selalu membawa ibu ke kamar jika mereka beradu mulut, tapi aku mengetahui bahwa mereka ada masalah. Kadang aku merasa kasihan terhadap ayah, beliau selalu mengalah, jika ibu ada di rumah, ibuku bak seorang ratu yang terus dilayani oleh ayahku. Bahkan untuk mengambil air minumpun, kadang ibu menyuruh ayah. Sesekali aku suka merasa jengkel terhadap ibu. Tapi kepadaku, ibu juga selalu lembut dan tidak pernah marah meski ibu sedang kesal terhadap ayah.

Akhirnya, di usiaku yang 12 tahun lebih, mereka memutuskan untuk berpisah, aku ingat betul waktu itu ibu baru pulang, karena memang ssudah sekitar 3 bulan ibu memutuskan diam di rumah orang tuanya dulu. Sore itu mereka memanggilku, mereka tidak mengatakan cerai, tetapi akan tinggal terpisah. Mereka mengijinkan aku untuk tinggal dimanapun kalau aku suka. Tak lebih dari seminggu, ayah meninggalkan rumah, pindah kerumah kontrakan, untuk sementara. Disana ayah kembali membuka toko. Sedang rumah yang kami tinggali, mereka akan jual. Ibu kemudian pindah kerumah nenek. saat itu, aku bingung, tapi karena sekolahku lebih dekat ke rumah nenek, aku jadi ikut ibuku untuk sementara.

Saat itu, merupakan mimpi buruk bagiku, hal yang tak pernah aku bayangkan dengan sekali, ketika aku bertanya kepada ibuku, kenapa mereka tinggal terpisah, ibu hanya bilang suatu saat aku pasti mengerti, karena mereka ssudah tidak ada kecocokan. Ayahku sendiri selalu mengsajaku bicara. Menyakan perasaanku ketika itu. Beliau berusaha supaya aku tidak merasa menjadi korban.

"mungkin ayah menyesali senua yang terjadi, tapi satu hal yang tak pernah ayah sesali dalam hidup ayah, yaitu, ayah mempunyai kamu, kamulah harta ayah yang paling berharga”. Begitu kata ayah ketika dia pertama kalinya membawaku ke rumah barunya. Saat itu ayah terus memeluku, dan kulihat matanya merah. Mata ayah memang ssudah seminggu ini sembab. Jika ditanya, ayah hanya merasa bersalah terhadapku. Kata-kata ayah itu selalu aku ingat dan membuatku kuat.

Aku tahu bahwa mereka dijodohkan oleh orang tua. Tapi kulihat mereka cocok dan bahagia. Walau ibuku lebih dominan. Waktu itu aku bertanya dalam hati, apa benar rumor tetangga yang mengatakan ibuku mempunyai kekasih lain. Pertanyaan itu terus berkecamuk di kepala.

Hari pertama tinggal dirumah nenek, sungguh membuatku tersiksa, pagi hari, ibu membangunkanku, biasanya ayah yang melakukanya. Dengan langkah terseret aku berjalan menuju kamar mandi. Biasanya jika aku malas, ayah yang mengendongku, bahkan memandikanku. Ya, ayah tak jarang memandikanku, meski usiaku bukan anak balita lagi. Ayah memang selalu melakukanya jika aku malas mandi. Jika bujukanya tidak mempan, beliau akan mengendongku, dan mau tak mau aku mandi.

Hari itu, aku langsung ke rumah ayah, dan mengadu tentang kejengkelanku.
“ya ssudah, tak baik kalau selalu mengeluh, disini dulu saja, nanti sore ayah antar pulang.” katanya. Hari sabtu pertama perceraian mereka, aku langsung menginap dirumah ayah. Ayah bersikap seolah tak terjadi apapun. Sore hari aku bahkan dimandikanya.
"kamu kan ssudah besar, harus belsajar mandiri” kata ayah waktu itu.

Dan selang beberapa bulan, saat kurasakan burungku mulai gatal dan kemudian aku mengalami mimpi basah, aku tak ragu membicarakanya kepada ayah, karena kami ssudah berjanji untuk saling terbuka dan tak boleh ada rahasia. Ayah bicara lembut sambil membelai rambutku.
“nah, bearti kamu ssudah besar, ssudah baligh, jadi harus hati-hati dalam bergaul.” katanya.
Meski begitu, sifatku tetap ssaja manja. Selain itu banyak Sifatku yang kata sebagian orang banyak sekali mirip ayahku.

Akhirnya kira-kira setahun setelah mereka berpisah, tak sengsaja aku melihat ibu berjalan dengan seorang pria yang usianya mungkin dengan dengan ibu. Saat itu aku melihat mereka didalam mobil. Amarahku langsung mendidih, inikah jawaban atas semua pertanyaan ku, ternyata benar, selama ini ibu merasa kurang mendapat materi dari ayah, itu yang kufikirkan saat itu. Waktu itu, aku langsung ke rumah ayah, dan berdian diri di kamar.
“ada apa, dari tadi tidak makan?" kata ayah.
Ayah sampai menelpon ibu dan bilang aku akan menginap setelah aku bilang ke ayah tak mau pulang. Ayah terus membelaiaku, akhirnya aku bercerita tentang apa yang ayah lihat.
“Yud, ayah dan ibu sebenarnya ssudah bercerai, jadi ibu berhak mendapat yang lebih baik, bukan salah ibu, itu ssudah diatur Tuhan” itu kata-kata ayah, selain kata-kata lainya yang diucapakan ayah, guna memberi pengertian terhadapku. Akhirnya, akupun sedikit luluh, saat ayah menyuapiku didalam kamar.
“ayah juga harus cari istri, untuk urus ayah” kataku.
“kalau ayah masih lebih suka sendiri, lagiian nanti takut tidak cocok dengan kamu, mending kosentrasi cari uang untuk sekolah kamu nanti". Begitu kata ayah waktu itu.
”apa ayah tidak kesapian?" tanyaku.
“kan ada kamu” kata ayah.
“hayo mandi, ayah juga mau mandi, sudah mau maghrib” kata ayah.
Sore itu, dengan rasa sayang dan iba terhadap ayah, aku mengosok punggung ayah, hal yang bukan pertama kalinya aku lakukan, tapi saat itu, aku benar-benar merasa sangat sedih.
“kok ngelamun, cepat gosokinya, ayah keburu dingin, nanti kamu juga masuk angin” kata ayah.

Perlahan, aku mencoba untuk tidak selalu mengingat perpisahan orang tuaku, ayah menyuruhku untuk giat belsajar, daripada mengingat kejadian buruk dalam hidup. Ayah malah menyuruhku untuk meminta pendapat orang lain, sebagai bahan pertimbangan jika aku ada masalah. Dan biasanya aku bertukar pendapat dengan sahabatku, Amir, yang setahun lebih tua dariku. Kebetulan orang tua Amir juga bercerai, bahkan semenjak Amir kelas 3 SD. Ayahnya yang keturunan arab, ssudah meninggalkan ibunya demi wanita lain.
”kamu masih lebih beruntung, keluarga kamu semuanya menyanyangi kamu" kata Amir, yang mulai akrab denganku sejak aku ikut pramuka, walau akhirnya aku tidak melanjutkanya.

Dan akhirnya kira-kira tahun kedua perceraian ayah, terjadi hal yang diluar nalarku, hal yang akhirnya mengubah jalan dan pandangan aku akan hidup ini.

Pagi itu, ayah menelponku dan mengingatkanku untuk sekolah, dia malah menanyakanku apa akan datang kerumah, aku bilang tidak. Tapi pagi itu jam pertama dan keduaku gurunya tidak ada, entah fikiran apa yang terbersit, aku akhirnya pulang tanpa ijin. Asalnya aku mau pulang kerumah, tapi kira-kira jam 8 lebih, aku akhirnya memutuskan kerumah ayah. Saat sampai, kulihat toko ayah masih tutup, padahal waktu ssudah jam 9 lebih. Aku akhirnya membuka pagar, dan kulihat di belakang toko, tersembunyi ada becak. Aku sempat heran, mungkin ayah dibelakang, fikirku, saat itu kulihat keanehan lain, tirai jendela tertutup setengah. Akhirnya dengan melewati celah sempit samping rumah, aku berjalan pelan, hendak aku panggil dari dekat kamar ayah, fikirku saat itu.

Tapi saat mendekati kamarnya, aku samar mendengar orang cekikikan, akhirnya pelan aku dekati jendela kamar ayah, yang letaknya memang paling belakang.
“kamu kangen ya?" kata ayah.
“iya mas” kata orang menjawab, yang bikin aku kaget, yang menjawab suaranya seorang pria, sedang ayah suaranya sedikit dimanja-manjakan. Rasa penasaran menyelimutiku, pelan-pelan, aku mendekati jendela, dan mengintip di balik celah tirai. Sungguh, pemandangan yang sangat tak biasa aku saksikan, saat itu seorang pria yang kebetulan aku kenal, sedang berdiri bertelanjang dada, dan mengenakan celana training. Yang menjijikan, ayah tengah asyik mengulum putting susu pria yang aku kenal sebagi tukang becak yang kadang mengantar ayah belanja. Sebut ssaja Bejo, pria berusia sekitar 27 tahun itu, aku bahkan mengenalnya, karena pernah beberapa kali bertemu, bahkan aku tahu kira-kira 8 bulan lalu, ayah meminjamkan uang untuk pernikahanya.

Ayah seperti bukan yang aku kenal, dia seperti seorang yang kelaparan dan terus menjilati tubuh kelam mas Bejo, tubuh yang urat-uratnya seperti mau keluar itu, bagai mainan bagi ayah. Bahkan tak lama kemudian, ayah menurunkan celana mas Bejo, dan tanpa ragu langsung mengulum perkakas mas Bejo, kulihat mas Bejo hanya memejamkan matanya.
“enak mana dengan istrimu” kata ayah manja.
“enak hisapan mas” kata Bejo, seperti seorang penjilat yang berusaha menyenangkan ayah.
Tak lama ayah membuka sekuruh pakainya, saat itu mas Bejo juga menurunkan celanaya. Dan untuk pertam kalinya, aku melihat perkakas ayah yang tegang. Padahal selama ini, meski kadang mandi bersama, tak pernah sekalipun aku melihat kemaluan ayah berdiri seperti itu. Mas Bejo langsung berbaring dan ayah kembali mengulum perkakas mas Bejo, aku sebenarnya ingin pergi, tapi entah, kakiku kurasakan berat sekali. Sesaat kemudian, ayah naik diatas tubuh mas Bejo, perlahan dia mengoleskan sesuatu di perkakas mas Bejo, kembali aku terbelalak, dari belakang dapat kulihat ayah berusaha memasukan perkakas mas Bejo, dan tak berapa lama, perkakas itu dengan msudah masuk ke bokong ayah. Kulihat ayah mengerakan pinggul, persis wanita yang ada di film, yang aku tonton secara sembunyi-sembunyi bersama Amir.

Melihat itu, aku seperti bukan melihat ayah, tapi melihat orang asing, tak lama, ayah bergeser kesamping dan nungging, mas Bejo seperti ssudah tahu, langsung menancapkan kontolnya dan mengenjot ayah sambil memegang erat pinggang ayah. Satu tanganya kulihat mengocok perkakas ayah, adegan itu terus kusaksikan, sampai akhirnya ayahku mengambil baju miliknya dan menutup kemaluanya, dari mulutnya keluar kata-kata.
“ahh, enak, enak”. Sesaat kemudian, mas Bejo pun mendesah hebat, hingga tubuhnya tersungkur di punggung ayah. Aku cepat-cepat pergi, dengan beribu fikiran di benakku.

Sejak kejadian itu, hampir seminngu aku tak ke rumah ayah, dan itu tentu ssaja membuat ayahku terus menelponku. Akhirnya aku fikir, nanti ayah curiga. Jadi aku kemudian datang.
Ayah langsung percaya saat kubilang "tidak enak badan, jadi tidak kemana-kamana takut sakit”. Tapi sesekali dia menanyaiku tentang aku yang sesekali terlihat melamun. Aku bahkan sedikit menolak waktu disajak mandi bareng.
“aku kan sudah besar, mau belsajar mandiri” kataku. Ayah sangat senang mendengar itu, walau tiap malam dia tetap berusaha mengeloni aku. Akhirnya sejak kejadian pertama itu, aku beberapa kali berusaha datang pagi jika ada waktu bebas, tapi tak pernah kupergoki ayahku lagi, sampai akhirnya, kira-kira 3 bulan kemudian, aku kembali mengintip dia bersama lelaki muda lain yang aku tak kenal, tak sampai 3 minggu, giliran mas Bejo kembali yang aku lihat mengagauli ayahku.

Dan kemudian, suatu hari, aku sengsaja memancing ayah berbicara. Malam itu, aku ssudah dikamar ayahku menyaksikan tv.
“yah, boleh tanya tidak? apa ayah waktu nikah dengan ibu masih perjaka?" kataku.
“iya" mang kenapa.
“tidak, temanku cerita, dia ssudah tidak perjaka” kataku.
“oh ya, tapi kamu masih kan?" kata ayah.
“iya”.
“tapi yah, gimana kalau aku tidak kuat nahan, dan kebabaslan” tanyaku.
“ya, msudah-msudahan jangan, nanti berabe kalau wanitanya hamil, mang sudah punya pacar ya?" kata ayah.
“ada sih ya yang aku taksir, cantik” kataku berbohong.
“iya, tapi hati2-hati ya, jangan berdua-dua saja” kata ayah.
“tapi gimana ya yah, kan kadang nafsu seringnya tidak bisa dikendaliin?" tanyaku.
“ya iyah, susah juga” kata ayah.
“temenku banyaknya bilang onani saja" kataku.
“oh, mungkin lebih baik dari pada main perempuan?" kata ayah.
"bahaya tidak sih yah kalau kebanyakan onani” kataku.
“kan dulu ayah bilang, biasanya perasaan bersalah saja yang timbul, mang kenapa sih nanya-nanya gitu, kamu sudah mulai onani ya?" kata ayah.
“tidak kok yah” jawabku.

Aku tahu ayah pasti tidak percaya, dia kulihat hanya senyum. Pernah suatu kali ayah bertanya kenapa aku lama di kamar mandi, aku berbohong kencing. Tapi ayah senyum saat memakaikan celana dalam dan melihat perkakasku merah.
“kalau nyabunin burung, jangan kenceng, nanti perih, pelan-pelan saja” kata ayah waktu itu, aku hanya senyum.
“soalnya aku suka diledek terlalu kalem yah, jadinya aku berusaha punya pacar” kataku.
“ya, jangan alasannya itu, alasan harus cinta, supaya langgeng” kata ayah.
“nanti seperti ayah ya, kan dijodohin, jadi tidak cinta bener” kataku.
“tidak juga” kata ayah sambil mencubit pinggangku.
“yah, ada anak SMA, ngsajak kenalan, tapi cowok, terus mau kasih-kasih hadiah gitu, aku tidak mau, kata teman-teman jangan-jangan dia homo” kataku.
“iya, kamu harus hati, tapi ingat, kamu jangan sampai memperlihatkan ketidaksukaan kamu, kan tidak ada orang yang mau jadi homo” kata ayah.

Aku atidak tertegun mendengar jawaban ayah, kalau tidak ada yang mau, kenapa ayahku homo.
“lalu kenapa dia jadi homo” tanyaku.
“banyak faktor, ada bawaan, salah gaul, coba-coba” kata ayah,
“dulu aku ada yang ngeledek gitu juga ya, gara-gara akrabnya dengan Amir, jadinya males lagi pramuka” kataku.
“yang ledek jangan didengerin” kata ayah.
“kalau aku homo, ayah gimana?" tanyaku.
“wah, jangan sampai, tapi apaun kamu, kamu tetap anak ayah dan ayah akan selau sayang dengan kamu."
Entah, ayah selau bijak dalam menjawab, tapi ketika bersama pria, kulihat ayah seperti seorang gadis dilanda cinta, aku jadi bingung.

Hal-hal yang kusaksikan pada ayah, membuatku terus melamun, sesekali, bayangan badan mas Bejo, yang berotot, dan berkontol besar, kadang menganggu fikiranku. Meski akhirnya aku mempunyai pacar wanita cantik, tapi disisi lain, bayangan pria yang menyetubuhi ayah, atau bayangan wsajah ayah yang sepertinya melambung ke angkasa kadang selalu terlintas. Hingga akhirnya, rasa penasaranku mengalahkan segalanya. Hari itu aku sengsaja menyakan Amir tentang kaset, meski dia telah ke SMA, tapi kami tetap berhubungan baik.
“ada nanti kerumah saja" kata Amir siang itu.

Akhirnya sore hari, aku main ke tempatnya.
“ibu kamu ke mana?" tanyaku.
“biasa, jam 8 malam baru pulang" kata Amir.

Akhirnya kamipun menyaksikan adegan demi adegan. Biasanya kami hanya diam dan menonton tanpa membahas. Tapi saat itu aku bertanya kepadanya.
“duh, gimana ya rasanya di isap gitu?" kataku.
“iya” kata Amir.
“Mir kamu bangun tidak?" tanyaku.
Amir mengangguk,
"aku juga." kataku. “arab katanya gede ya?" kataku.
“ah, biasa saja, tapi bulunya mayan banyak, sejak 6 SD, aku sudah berbulu” katanya.
“aku sih sekarang saja masih jarang."
“liat coba” kata Amir.
“tapi kamu dulu aku liat” kataku.

Amir akhirnya membuka seletingnya, perasaanku saat itu campur aduk, dan benar ssaja, perkakas Amir ternyata diatas rata-rata anak SMA, dengan sedikit melengkung bagian atas dan batang lebih lebar.
“aku mah kecil” kataku.
“mana?" kata Amir melihat kearah perkakasku, perlahan akupun membukanya. Itulah, selama ini kalau nonton saling diam.
”ah, mayan juga, lurus lagi" kata Amir. Tiba-tiba Amir meraba perkakasku. Akupun melakukan hal yang dengan, kami saling cekikikan.
“sudah pernah dengan cewek?" kataku.
“belum lah, takut hamil”. Aku mengangguk.
“berani tidak ngisap” kataku.
“berani, asal kamu juga, aku kan belum pernah ”kata Amir.
“tapi kamu duluan” kataku.

Akhirnya perlahan Amir mendekatkan mulutnya, aku antusias, malah celananya makin lebar ku buka. Kurasakan nikmat saat Amir mengulumnya, walau hanya gerakan ringan naik turun mulut, kemudian Amir berhenti.
“aku sekarang” kata Amir.
Akupun melakukan hal yang dengan, juga hanya naik turun mulut dan sebentar.
“ih, rasanya aneh” kataku, dan kurasakan ada bulu nyangkut di gigiku, Amir mengangguk dan tersenyum.
“lagi yuk, tapi bareng” kata Amir, aku mengangguk, akhirnya pelan tapi pasti, kamipun saling mengulum perkakas, sampai akhirnya kurasakan ada aliran yang akan keluar.
“aku mau keluar” kataku dengan nafas terengah. Amir cepat mengambil handuk, lalu, ahh, ahh, spermaku kutumpahkan di handuk. Kulihat Amir mengocok kepala kontolnya, tak lama diapun mengambil handuk yang dengan, akhirnya ahh ahh, sperma ami kulihat tumpah, jauh lebih banyak, malah kulihat urat-uratnya sampai seperti mau keluat saat kepala perkakas Amir kembang kempis.
“enak ya, tapi janji, jangan bilang siapa-siapa ya?" katanya, aku mengangguk.

3 hari kemudian, kami mengulanginya, bahkan kami berani saling mengisap payudara, saat itu aku berfikir, inikah yang ayah rasakan. Usiaku belum lima belas, tapi aku mulai memahami nikmatnya bercinta dengan sesama. Lebih gilanya, hati kecilku berkata, aku ingin bercerita kepada ayah, hal yang selalu aku lakukan jika mengalami sesuatu, bahkan mimpi basahpun aku berani cerita, tapi apakah untuk hal ini aku berani, aku mungkin akan di kira ayahku gila.

Tapi akhirnya, akupun mencobanya, biar ayah fikir aku gila. Malam itu, aku tidur dikamar ayah, hawa sedikit panas, aku membuka bajuku dan hanya mengenakan boxer tanpa celana dalam. Kupeluk ayah dari belakang, akupun bersikap tenang dan berusaha jail seperti dahulu waktu kecil. Kuraba-raba perut ayah.
“kamu ya, becanda saja” kata ayah.
”sana pake baju, nanti masuk angin” kata ayah.
“panas gini" kataku.
Pelan, aku mulai meraba bagian pusar ayah.
“yah, burung ayah kalau bangun gede ga?" kataku.
"ya biasa saja, kamu bukan sudah liat” kata ayah, kemudian berbalik menghadapku, lalu dia menarik tanganku dan meletakanya dipinggangya.
“belum kalau bangun, soalnya tidur melulu” kataku.
“mang tidak bisa bangun ya yah” kataku.
“bisa, tapi harus dengan cewek” kata ayah.
"kalau dengan aku dipegang, bangun tidak?" kataku.
“ya tidak lah, anak sendiri masa bangun” kata ayah.
”aneh, ada apa nih, hayo cerita” kata ayah, aku asalnya menolak, tapi bujukan ayah kembali menenagkanku.
“tapi ayah jangan marah” kataku, dia mengangguk.

“aku dipegang-pegang orang yah, jadi keluar” kataku. Ayahku sedikit kaget, tapi kulihat dia tenang kembali.
"Cuma dipegang saja kan?" katanya, aku mengangguk.
“siapa, pacar kamu?" tanyanya,
”hati-hati, awalnya megang, lama-lama kebablasan” sambung ayah.
“bukan yah, teman sekelas, cowok, waktu kemarin renang” kataku bohong.
“wah, hati-hati, nanti melakukan lagi, lama-lama, kami jadi lebih jauh dengan cowok” kata ayah. “ayah marah ya?" kataku.
“tidak, tapi hati-hati saja, kan kamu takut jadi homo” kata ayah.
“kalau aku homo, ayah pasti tidak ntidaku anak lagi ya?" tanyaku.
“jangan ngomong ngelantur ah, ayah akan selau sayang, tapi jangan jadi homo ya?" katanya.
“mang napa ya?" kataku.
“kan dilarang agama” kata ayah.

Aku sempat diam, tapi kemudian kupeluk ayahku.
”yah, kok aku jadi bangun ya?" tanyaku sambil kukeluarkan perkakasku.
“ih nih anak, masukin, mana bulunya sudah hitam lagi, malu dong” kata Ayah.
“aku dengan ayah tidak malu, kan kata ayah kalau ada apa-apa ayah ingin ayah yang pertama tahu." kataku.
“iya, makasih ya sudah jujur, msudah-masudahan seterusnya kamu tetap terbuka dengan ayah” kataku.
“tapi ayah terbuka juga tidak dengan aku” kataku.
Kesempatan fikirku waktu itu.
”ya iya, mana ayah ada rahasia” kata ayah.
“coba jujur, apa ayah benar-benar cinta ibu?" kataku.

"kalu jujur, kamu marah tidak?" kata ayah.
"aku janji tidak akan marah apapun yang ayah ceritakan” kataku.
“ayah sebenarnya tidak begitu cinta, tapi ayah tidak tega menolak keinginan orang tua” kata ayah.
“lalu ayah kenapa mau dinikahkan” kataku.
“ayah hanya ingin menjadi anak baik, karena selama ini hidup ayah penuh dosa” kata ayah.
“maksud ayah” tanyaku.
“ya iya, ayah belum bisa balas kebaikan orang tua, jadi ayah merasa dosa” kata ayah.

Aku tahu bahwa ayah sedikit berbohong juga.
“ada satu lagi, tapi ayah jangan marah, dan akupun tidak akan marah dan akan berusaha memahami ayah” kataku,
”maksud kamu” kata ayah bengong sambil membelai rambutku.
“aku pernah ngintip ayah dengan mas Bejo” kataku. Kulihat muka ayah merah.
"kamu” kata ayah.
“aku tidak sengsaja, tapi aku tidak akan marah kok yah” kataku.
Kami akhirnya diam, entah, aku hanya menunggu ayah bicara. Tapi dia terus diam, malah memandang langit-langit dan tak berani melihatku, kulihat sudut matanya mengeluarkan air mata.
“ayah jangan nangis, mungkin sebaiknya aku tadi tak bilang."
“tidakpapa, ayah malah aneh, merasa lega, tak menyangka kamu sedewasa itu, maafkan ayahmu yang bejat ini ya?" kataku.
“aku juga sudah sedikit bejat yah, hehehe" kataku.

“maksud kamu, pasti kamu tidak hanya megang” kata ayah mendelik.
“sumpah yah, cuma onani bareng, tapi kemudian megang punya teman." kataku berbohong.
“dengan siapa?" kata ayah.
“nanti kalau ssudah siap pasti aku kasih tahu” kataku.
“ah, paling Amir” kata ayah.
“ada deh" kataku.
Aku kembali memeluk ayah, sesekali aku iseng meraba perkakas ayah.
“kamu benar baru megang-megang saja?" tanya ayah lagi.
“bener yah, sebenarnya kan ayah bilang, apapun ayah harus yang pertama tahu, asalnya aku malah ingin ayah yang onanin, tapi pasti ayah sangka aku gila” kataku.
“iya, nanti ayah dikira ayah bejat dan gila"
“tapi yah, kalau aku sih, lebih baik tahu dari ayah dulu dari pada orang lain” kataku.
“maksud kamu ayah yang nyabunin ini kamu” kata ayah sambil meremas perkakasku. Aku mengangguk.
“saraf kamu ya?" katanya tertawa.
“kan turunan ayah” kataku.
"yah, mas Bejo kontolnya gede ya? apa aku bisa segede itu nanti” kataku.
“kamu kan masih numbuh, pasti bisa, sekarang saja gede mau ngalahin ayah” kata ayah .
”masa” kataku sambil meraba-raba daerah kemaluan ayah.
“ayah jangan marah yah kalau aku jujur dan gila” kataku.
“tidak lah, semuanya juga mungkin karena ayah juga" kata ayah.
“aku sebenarnya maunya ayah yang pertama merasakan tubuh aku, atau sebaliknya, aku tidak mau orang lain” kataku.
"tapi mana mungkin, kita sedarah, nanti katanya bisa gila” kata ayah.
“tidakpapa, kalau gilanya bareng ayah, nanti satu rumah sakit” kataku, ayah tersenyum.
“yah, sebenarnya aku mau tahu yang lain, aku mau tahu rasanya nyodok atau mungkin disodok, tapi dengan siapa, dengan teman aku tidak mau, mereka takutnya sudah pernah dengan orang lain, masa mereka mendapat yang baru aku sisa” kataku.
“terus, maksudnya” tanya ayah.
“sajarin aku yah, sodok aku” kataku pelan.
“kamu ini, mana mungkin” kata ayah sambil meraba rambutku lembut.
“tidakpapa, aku rela, aku ingin tahu rasanya” kataku.
Ayah merangkulku.
“ya yah.." kataku.

Ayahku diam, entah, saat itu, itu merupakan tanda dia mengijinkan fikirku saat itu. Tanganku akhirnya kugerakan mencoba mengusap pusar ayah, ayah diam dan hanya senyum, saat tanganku makin masuk, diapun hanya diam.
“ayah marah tidak?" tanyaku, dia mengeleng.
Perlahan aku melepaskan celanaku, kulihat perkakasku telah berdiri.
“ayah buka juga dong” kataku.

Perlahan ayahku mulai menurunkan celanaya, kaosnya aku yang bantu buka, kami akhirnya telanjang bulat, kami sempat cekikikan.
“ayah tidak tega” kata ayah.
“tidakpapa yah” kataku.
“terus habis gini ngapain” kata ayah.
“kok ayah yang tanya?" kataku sambil berbaring diatas tubuh ayah.

Tiba-tiba, saat perkakasku berdempetan dengan perkakas ayah, kurasakan kontolnya bergerak.
“ih, katanya tidak bisa bangun” kataku. Ayah hanya tersenyum.
“kamu ssudah besar ya, ayah tidak merhatiin, burungnya gede juga" kata ayah.
“ayah mau? boleh” kataku, aku kemudian menyuruh ayah tengkurap, aku lalu memijat punggung ayah.
“ayah, lotionya ditaruh di mana?" kataku.
“ayah menunjuk lemari” aku membuka lacinya.
"kok kamu tahu" kata ayah.
“ngintip ayahnya kan bukan sekali, tapi ayah kok orangnya item-item” kataku.
“dasar” kata ayah.

Saat aku mengoleskan lotion di perkakasku dan kemudian menganjal perut bawah ayah. Ayah sempat berkata.
“Yud, mending jangan, kita sudah terlanjur jauh, ayah tidak mau kamu jadi rusak” kata ayah.
“kalau tidak dengan ayah juga, nanti rusak dengan orang, kalu mau rusak, rusak saja yah” kataku.
Akhirnya ayah diam. Ayah menyuruhku mematikan lampu, hanya ada cahaya samar-samar dari luar kamar. Saat perlahan aku mulai memasukan perkakasku ke bokong ayah, kulihat ayah hanya memejamkan mata sambil terus tertelungkup, perlahan aku mulai memaju mundurkan perkakasku, sesekali keluar kata ahhh dari mulutnya.

Hanya kira-kira 15 menit, aku mengenjotkan perkakasku di lubang bokong ayah.
“yah aku mau keluar” kataku.
Ayah kemudian bergerak, hingga perkakasku lepas, dia kemudian menghadap perkakasku.
“keluarinya di mulut ayah” katanya.
“ayah tidak jijik” kataku.
“tidak, ayah mau jadi yang pertama menelan sperma anak sendiri."
Akhirnya kuraskan ayah menghisap perkakasku, lembut, tapi kuat dan nikmat, akhinya akupun meregang dengan tangan ayah mendekap pantatku. Perlahan kuperhatikan perkakas ayahpun ssudah memerah, aku lalu menghisapnya walau ayah awalnya menolak, tapi kemudian, dia hanya bisa meremas kepalaku lembut. Diapun kemudian menumpahkan spermanya, tapi diatas bantal.
“jangan Yud, jangan dimulut kamu, ayahkan sudah sering keluar” kata ayah.

Sejak itu, sesekali kami mengulangnya, bahkan kemudian, ayah yang pertama menyodomiku, walau dia terus terang berkata, tidak suka, lebih suka menjadi yang di sodomi. Aku sendiri akhirnya melakukanya dengan Amir. Amir menjadi korban pertama perkakasku, dia yang memang belum pernah dan tak suka di sodomi, terpaksa mau melakukanya jika aku minta, karena kesepakan kami yang harus menerima satu dengan lain, walau akhirnyai aku kemudian menjadi lebih banyak di sodok Amir. Bahkan bersama ayah, aku membuat sebuah kesepakantan. Aku membawa Amir ke rumah, saat dia menyodomiku, ayah yang berpura-pura tak di rumah, mengintipku, begitu juga ayah, jika ada mas Bejo atau yang lain, tanpa sepengetahuan mereka aku mengintipnya. Bahkan ketika Amir memperkenalkan dengan teman Arabnya, yang berkontol jauh lebih besar dari mas Bejo, tapi usianya lebih muda, dan berbulu sangat banyak. Ayah dengan diam-diam menyaksikan anak kesayanganya di gempur oleh 2 orang pria. Ayah sendiri menyukai teman Amir, tapi kesepakatan kami untuk tidak saling membuka kebobrokan kami, membuat ayah hanya bisa meniru adegan kami dengan orang lain.

Aku sedikit lebih beruntung di banding ayah, karena rasa sukaku kepada wanita tetap ada, bahkan aku ingin suatu hari menikah dan berkeluarga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar