Gambar Gay, yang bisanya dipandang sebelah mata,
adalah senuah fenomena. Tapi keberadaannya di Indonesia kini agaknya sudah
mulai mendapat tempat. Kariernya tak lagi terbatas pada profesi yang biasa
ditekuni kaum wanita, namun sudah merebak ke semua lini, termasuik menjadi
eksekutif top di berbgai bidang usaha. Ancaman bagi “pria sejati”. Ingin tahu
lebih dalam? Ikuti lipitan super menarik berikut ini…
MINGGU, pukul 12 malam, di sebuah gedung
perkantoran di bilangan Jakarta Selatan. Orang-orang berdiri dalam antrean
menunggu lift yang membawa mereka ke lantai teratas. Begitu lift itu sampai ke
lantai yang dituju, musik hingar-bingar seketika menyerang telinga para
pengungjung.
Uniknya, semua pengunjungnya lelaki.
Mereka saling menatap penuh arti. Saling membalas dengan dalam, lantas saling
pula bertukar senyum. Penampilan mereka juga beragam. Ada yang tampil gagah,
macho, dengan balutan celana jeans atau pantolan dikombinasikan dengan hem atau
dengan balutan jaket.
Novan, 35 tahun, malam itu berpenampilan
garang, layaknya laki-laki kebanyakan. Namun ketika berbicara, lajang dan
eksekutif di sebuah perusahaan asuransi ini bersuara lembut bak perempuan.
”Kalau sudah kumpul bareng sesama, kayaknya otomatis deh penampilan kita jadi
centil. Lain kalau di kantor atau sedang berhadapan dengan klien. Biasa, jaim,
jaga image!” ungkapnya.
Suasana diskotek yang banyak dipenuhi
pengunjung pria seperti itu juga bisa ditemui di sebuah sarana dugem di Jalan
Thamrin. Sulit menemukan wanita di tempat seperti itu pada hari-hari tertentu,
Jumat, misalnya. Pria-pria wangi tersebut memang kurang tertarik pada lawan
jenis. Mereka lebih menyukai sesama pria.
Memang, sejumlah tempat hiburn di
Jakarta telah dijadikan ajang berkumpul kaum gay. Masing-masing saran hiburan
malam semacam diskotek itu punya malam khusus untuk kaum gay. “Saya sering
datang ke sini. Tidak hanya untuk cuci mata, tapi untuk mencari pasangan,”
ungkap Deo, seorang penata rias wajah, dengan nada gemulai.
Tak bisa dipungkiri, kaum gay yang
memang sudah ada sejak zaman Nabi Luth, namun eksistensi mereka sekarang lebih
mengilap. Pikiran dan pandangan masyarakat umum pun sudah jauh lebih terbuka.
Kalau dulu mereka merasa menjadi kaum yang terpinggir, sekarang mereka lebih
berani menunjukkan jati diri mereka di depan publik.
Banyak gay yang tidak malu lagi
mengekspresikan diri di tengah masyarakat dan keluarga. Bisa jadi karena
percaya diri tumbuh karena punya prestasi yang bisa dibanggakan. Gay yang
berprofesi sebagai bintang sinetron, model atau peragawan, perancang busana,
perias wajah, dan peñata rambut cukup menonjol keberadaannya dan lebih berani
terbuka.
Kini, gay yang profesional di bidang
lain juga mulai berani membuka jati dirinya. Tak sedikit gay mempunyai posisi
bagus, atau menjadi eksekutif di sebuah perusahaan seperti Novan tersebut di
atas. Contoh lainnya, Gerry, 32 tahun, salah satu direksi sebuah production
house yang telah menghasilkan sejumlah pembuatan iklan dan juga sinetron.
TEORI-TEORI
Ada beberapa teori yang diungkapkan para
pakar mengenai homoseksualitas ini. Teori pertama mengungkapkan bahwa
homoseksualitas adalah pembawaan dan keturunan. Hal ini banyak ditentang oleh
kaum gay sendiri, karena jika teori ini benar, berarti salah satu dari orang
tua mereka adalah gay.
Teori kedua menyatakan bahwa
homoseksualitas terjadi karena pengaruh lingkungan hidup disekeliling kaum gay.
Jika seseorang lahir dan hidup di antara kaum perempuan atau mempunyai figur
perempuan yang kuat dan dominan dalam hidup mereka, otomatis mereka akan
menjadi gay.
Mungkin teori ini ada sedikit benarnya juga
seperti teori pertama, seseorang bisa saja tetap menjadi homoseksual walaupun
dia dibesarkan di lingkungan yang didominasi oleh perempuan.
Teori ketiga berasumsi bahwa dalam
setiap diri manusia terdapat proporsi homoseksualitas dalam presentasi tertentu.
Jika porsi heteroseksualnya lebih besar, tentu dia akan menjadi seorang
heteroseksual. Ini juga ditunjang oleh pengaruh-pengaruh yang ada di dalam
lingkungan hidup sehari-hari setiap individu.
Jika seorang pertama kali berhubungan
seks dengan sesama jenis dan menikmatinya, tentu dia akan berusaha mencari
kenikmatan itu secara berkelanjutan dan memperbesar persentase homoseksualitas
dalam dirinya.
Nilai-nilai dan norma budaya kita memang
masih sulit untuk menerima keberadaan homoseksualitas. Masih banyak pula kaum
gay yang tetap cenderung untuk berusaha kembali ke “jalan lurus” dan berusaha
berkencan dengan lawan jenis. Namun, banyak juga yang mendalami pikiran mereka
sendiri, dan mencoba untuk melakukan eksplorasi dengan dunia gay.
Teori ketiga ini lebih realistis karena
memang dalam diri semua orang, minimal terdapat rasa ketertarikan terhadap
sesama jenis, baik itu cuma dalam bentuk fisik dan fikiran, tapi juga bisa
lebih jauh ke arah seksual.
Kaum gay selalu dikonotasikan dengan
penganut seks bebas. Mungkin ada benarnya juga. Mengapa? Karena kaum gay lebih
gampang bertemu orang, dan tidak ada resiko kehamilan yang tidak perlu
dipertimbangkan jika mereka ingin berhubungan seks. Mereka juga tidak harus
memikirkan siklus masa subur seperti layaknya seorang perempuan.
Selain itu, karena norma-norma Timur
masih dijunjung tinggi oleh para wanita Indonesia, mereka masih menghargai
keperawanan dan berusaha untuk tidak bergubungan seks sebelum menikah, meski
banyak juga yang melanggar larangan tersebut. Pada kaum gay masalah-masalah di
atas tidak berlaku, sehingga mereka dengan mudah menemukan pasangan untuk
berhubungan seks tanpa mengenal waktu, batasan dan norma-norma sosial yang ada.
GAY CULTURE
Sebenarnya tidak ada yang spesifik
disebut sebagai kebudayaan, tapi ada kecendrungan global dari kaum gay yang
mempunyai jenis rutinitas, hobi, atau pun jalan pikiran yang sama di mana-mana.
Misalnya, bisa dipastikan hampir semua gay era 1990-an punya album lagu-lagu
Madonna, atau kini J-Lo, dan Lady Gaga.
Banyak selebriti yang dikaitkan sebagai
idola oleh kaum gay karena mereka menciptakan fantasi ataupun menyanyikan
lagu-lagu tentang pria idola mereka. Tidak ada kaum gay yang mau dikatakan
“kuper” sehingga mereka berusaha keras untuk menjadi kaum yang cukup konsumtif
dan hedonis.
Kaum gay boleh dibilang sebagai
trendsetter. Sebelum era keterbukaan kaum gay, mereka berusaha mengidentifikasi
kaum mereka dengan berbagai cara. Dulu mereka memakai cincin dijari kelingking.
Setelah banyak orang yang menggunakan cincin, mereka beralih ke anting yang
ditindik disebelah kanan. Tapi trend ini pun cepat berlalu karena banyak pria
heteroseksual juga mulai memakai anting. Para gay lalu beralih lebih suka
memakai T-shirt ketat yang memperlihatkan bentuk tubuh mereka. Atau mengenakan
celana Levis 501 yang terkenal itu, dan menyisipkan sapu tangan yang mencuat di
kantong belakang. Ini pun dengan cepat menjadi trend berbusana bagi sebagian
pria.
Akhirnya mereka menciptakan bahasa
mereka sendiri yang hanya bisa dimengerti oleh kaum gay, dan ini pun sudah
mulai menjadi “bahasa gaul” kaum muda. Deby Sahertian pun sampai menerbitkan
buku tentang bahasa kaum gay ini.
Uniknya bahasa kaum gay ini berkembang
jauh lebih pesat ketimbang bahasa atau istilah kaum gay di negara lain. Entah ini
terjadi karena struktur bahasa Indonesia yang lumayan fleksibel, atau mungkin
karena orang Indonesia saja yang memang kreatif menciptakan bahasa gaul baru
yang bisa menjadi bahasa sandi di kalangan eksklusif mereka.
Bentuk kebudayaan lain adalah menciptakan
segala sesuatu yang memang eksklusif ditujukan untuk kaum gay, seperti buku,
majalah atau situs tentang gay, sarta sarana-sarana hiburan malam yang
menggelar acara atau malam khusus untuk meraup keuntungan dari kalangan gay.
LEGALITAS KAUM GAY
Di negara-negara Barat, walaupun kaum
gay tidak dianggap memiliki penyimpangan seksual atau sejenis penyakit, masih
banyak yang tidak bisa menerima sebagai pasangan hidup yang sah. Di Amerika
Serikat sekali mpun, di mana kaum gay sudah diakui eksistensinya, masih sulit
untuk melakjukan pernikahan yang sah secara hukum.
Kalau bisa disebutkan, mungkin ada
sekitar kurang dari 10 negara di dunia ini yang mengakui pernikahan gay sah
secara hukum. Negara-negara tersebut antara lain: Belanda, Denmark, Swedia,
Norwegia, dan beberapa Negara bagian di Amerika Serikat dan Australia.
Di negara-negara lainnya, kaum gay masih
terus berjuang dan berdemontrasi dari hari ke hari untuk mendapatkan hak dan
kewajiban yang sama seperti layaknya pasangan suami-istri heteroseksual.
Perjuangan untuk mencari identitas diri
dan juga membela kaum gay pun tidak dengan mudah diperoleh. Pada tahun 1969,
terjadi insiden di sebuah bar bernama Stonewall di New York, Amerika Serikat.
Waktu itu polisi berusaha menutup tempat-tempat gay dan menangkap semua
pengunjung tempat-tempat tersebut. Cuma kali ini, kaum gay melawan dan
terjadilah perang yang cukup menggegerkan antara kaum gay dan polisi.
Itu tidak berakhir di situ saja.
Keesokkan harinya, kaum gay berparade di jalan dan menuntut hak mereka diakui
dan eksistensi mereka dihormati sebagaimana layaknya manusia biasa. Peristiwa
tersebut menjadi tonggak tersendiri dan disebut-sebut sebegai revolusi gay yang
pertama.
Di Indonesia sendiri, tidak ada hukum
yang jelas mengenai homoseksualitas. Satu-satunya hukum yang ada adalah, kita
tidak boleh berhubungan seks dengan orang yang berusia dibawah 17 tahun.
Walaupun demikian, selama ini masih
terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh pihak pemerintah untuk menutupi
eksistensi kaum gay. Namun karena tidak adanya dasar hukum yang jelas, membuat
kaum gay yang intelektual berusaha keras untuk membuka diri.
TIDAK ADA HAMBATAN BERKARIER
Semakin terbukanya kaum gay menanpilkan
jati dirinya, ditambah masyarakat umum sudah semakin menerimanya, peluang
berkarier bagi mereka pun tak lagi banyak menemui hambatan. Karier mereka tak
lagi mendominasi bidang profesi tertentu, sebagai penata rambut, perias wajah,
perancang busana, ahli boga serta profesi yang bersifat feminis lainnya.
Sebut saja Lukman, 25 tahun, yang
bekerja pada salah satu perusahaan multimedia. Sedangkan Johan, 23 tahun,
berkarier pada sebuah biro perjalanan. Bekerja pada sebuah konsultan manajemen,
merupakan peluang karier yang cukup bagus bagi Andreas, 33 tahun. Dan Wayan, 30
tahun, memilih bekerja di hotel. “Saya memilih terbuka, dan keterbukaan itu
justru menunjang karier saya,” Dimas Prasetya.
Seorang gay berprestasi bisa menduduki
jabatan manajer, general manajer, bahkan direktur di perusahaan multinasional.
Dan peluang karier pria penyuka sejenis ini juga terbuka di pemerintahan. Tak
menutup kemungkinan ia bisa menjadi diplomat, bahkan pejabat tinggi negara.
Ya, “virus” gay telah melanda kalangan
eksekutif. Keberadaan dan prestasi kaum gay yang tak kalah hebat dibanding pria
heteroseksual bisa jadi merupakan ancaman sekaligus menumbuhkan persaingan
dalam berkarier tanpa membedakan orientasi seksual mereka. Keberadaan kaum gay
memang patut diperhitungkan.
MENJADI GAY KARENA KARIER
Tampan dengan postur tubuh atletis dan
berpenampilan parlente, itulah Dedy Permana, manajer pemasaran di sebuah hotel
berbintang di Jakarta. Tapi siapa sangka kalau pria 36 tahun berdarah Manado
jawa ini ternyata seorang gay?
Awalnya, perilaku seksual Dedy sama
sekali tidak menyimpang seperti sekarang. Terbukti waktu duduk di bangku SMU
dan universitas, ia pernah tigakali kali pacaran dengan gadis seusianya. Adalah
profesinya ketika menjadi pramugara di sebuah kapal pesiar berbendera asing-lah
yang membuat perilaku seksual Dedy akhirnya menyimpang.
Selepas dari pendidikan di sebuah
akademi pariwisata di Bandung, Dedy memang melamar pekerjaan untuk menjadi
pramugara di sebuah kapal pesiar berbendera asing. Saat itu, keberuntungan
memang tengah berpihak pada pria yang gemar olah raga berkuda ini. Lamaran Dedy
diterima, dan ia pun langsung meninggalkan Indonesia untuk masa kontrak sekitar
satu tahun sebagai pramugara kapal pesiar.
Di sinilah perilaku seksual Dedy sebagai
gay berawal. Ternyata di kapal pesiar tersebut ada beberapa orang yang memang
memiliki perilaku gay. Bahkan di divisi Dedy, jumlahnya cukup banyak. Postur
Dedy yang tegap dan atletis, wajah handsome dan kulit kecoklatan tentu saja
jadi sasaran empuk bagi mereka. Salah satunya, pramugara senior
berkewarganegaraan Prancis yang selalu menggoda Dedy.
Mulanya Dedy biasa menolak. Tapi setelah
si bule melontarkan ancaman akan membatalkan kontrak Dedy jika tidak mau
memenuhi hasratnya, Dedy akhirnya pasrah. Anehnya, Dedy ternyata bisa menikmati
hubungan seksual ala gay ini.
Setelah itu, ia malah merasa ketagihan.
Dan pada akhirnya, bukan hanya dengan seniornya saja Dedy melakukan hubungan
seks gay, melainkan juga dengan sesama pramugara lain yang juga gay. Menurut
Dedy, bisa dibilang, hubungan sejenis salah satu menu pelampiasan hasrat
seksual bagi para pramugara, termasuk dirinya yang selalu berperan menjadi
‘top’, yaitu sebagai suami pada saat berhubungan seks anal, selama pelayaran
berlangsung.
Menjadi gay karena faktor lingkungan
kerja, itulah yang dialami Dedy. Tanpa disadari, ia memang memiliki bibit untuk
jadi seorang gay. Bahkan sekembalinya ke Indonesia tahun 2010, hasratnya untuk
mendekati wanita mulai redup. Hatinya lebih tertarik jika melihat pria yang
berwajah imut-imut dan berkulit bersih. Tapi ia tidak berani untuk memiliki
pacar sesama gay.
“Saya lebih memilih untuk tidak terikat
hanya dengan satu orang. Soalnya berbahaya. Sama halnya dengan lesbian, kaum
gay juga suka cemburu berlebihan pada pasangannya. Inilah yang saya hindari.
Lebih baik, kalau memang sama-sama mau, kita langsung ngeseks saja. Tapi
setelah itu nggak ada ikatan apa-apa,” katanya.
Hingga kini, Dedy selalu berusaha untuk
menutupi perilaku seksualnya yang menyimpang itu. Apalagi jika ia berada
dikantor dan di rumah. Untungnya, seperti diakui Dedy, komunitas gay dengan penampilan
gagah seperti dirinya memang tidak semencolok gay yang bergaya layaknya wanita.
Tak heran, jarang ada orang yang sadar
bahwa Dedy seorang gay. Bahkan, keluarga dan rekan kerjanya pun tidak
mengetahui hal tersebut. Di hadapan mereka, Dedy berperilaku layaknya pria
sejati. Baru di antara orang-orang yang senasib dengan dirinya, Dedy berani
menunjukkan identits yang sesungguhnya.
Sampai kapan ia akan menjadi gay, Dedy
sendiri tidak tahu. Yang pasti pihak keluarganya memang sudah mendesak agar ia
segera menikah, mengingat usianya yang sudah menginjak 37 tahun.
MANFAT HUBUNGAN G TO G
Suatu ketika, Alexander, harus mengurusi
satu kegiatan besar yang melibatkan beberpa tamu penting dari Indonesia. Salah
seorang staf Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di sebuah negara di Eropa
ini harus menyiapkan saran bermalam bagi rombongan tersebut. Namun karena satu
hal, hotel besar yang direncanakan sebagai tempat menginap tamu-tamu dari Tanah
Air itu tak bisa memenuhi semua pesanan
kamarnya.
Alexander harus memutar otak, sebab di
negara tersebut sulit mendapatkan kamar hotel dalam jumlah besar jika tanpa
melakukan reservasi lebih dahulu jauh hari sebelumnya. “Dalam keadaan panik
itu, tiba-tiba saya teringat seorang teman yang punya sebuah hotel,” pria penyuka
sesama jenis ini mengungkapkan. Sebagai sesama gay, sang teman pemilik hotel
selalu menyiapkan satu lantai (sekitar 30 kamar) untuk para gay jika suatu saat
membutuhkan kamar.
Alexander kemudian menyampaikan
kesulitannya pada sang teman, bahwa ia membutuhkan kamar dalam jumlah cukup
banyak untuk para tamu dari Indonesia. “Hanya dalam hitungan jam saya mendapat
jawaban, bahwa semua gay yang sudah memesan kamar di lantai itu dengan senang
hati memberikan buat saya. Maka tertolonglah saya berkat kebaikan mereka,”
tutur Alexander.
Keberhasilan Alexander mengatasi
kesulitan tersebut membuat atasannya bangga terhadapnya. Ia dianggap jago dalam
melobi. Dan dari pengalaman itulah karier Alexander secara perlahan terus
menanjak. Keberadaannya sebagai gay tak menjadi kendala baginya dalam meniti
dan meningkatkan karirnya sebagai diplomat.
Alexander merasakan perbedaan dalam
dirinya sejak masa kuliah. Hanya saja saat itu dia belum banyak bertemu dengan
komunitas sejenis. Ketika kariernya mulai menanjak dan mendapat tugas di salah
satu negara Eropa, ia mulai banyak bergaul dengan teman-teman diplomat yang
memiliki orientasi seksual sesama jenis.
Di negara tersebut, perilaku dan
komunitas gay cukup mendapat tempat. Di situ ia menjalin hubungan dengan kaum
sejenisnya lewat pertemuan-pertemuan diberbagai kafe yang khusus untuk kalangan
mereka, atau mengikuti kegiatan beberapa klub gay. Bergaul dalam komunitas
eksklusif itu itu bukan untuk hura-hura.
Banyak kemudahan atau manfaat yang bisa diperoleh Alexander yang
berkaitan dengan tugas-tugsnya. “Ada persolan yang agak rumit, hanya bisa
diselesaikan dengan cara G to G, antara sesama gay. Karena pejabatnya adalah
teman satu klub, saya bisa menyelesaikannya dengan mudah. Ini kekuatan G to G,”
katanya sambil tertawa.
Meskipun karier Alexander cukup bagus,
namun suara sumbang terhadap keberadaannya sebagai gay tetap saja ada. Ada saja
pembicaraan yang bernilai negatif. “Misalkan mereka selalu memperingatkan pada
tamu yang kita layani untuk berhati-hati terhadap saya. Padahal kalangan kami
ini bukan sembarangan. Kami tidak murahan dan sudah punya pilihan tetap. Kalau
yang kasar itu dari kelas-kelas bawah, artinya secara pendidikan dan materi
memang sangat kurang,” ungkapnya.
Kelas atas, menurut Alexander adalah
lingkungan gaul kalangan sejenis yang memang tidak murah. “Contohnya untuk ikut
sebagai anggota dalam sebuah klub khusus, bisa dikenakan biaya sekitar US$
1.000. Belum lagi soal gaya berlibur dan makan-makan yang selalu memakai
tempat-tempat spesial,” tuturnya.
Untuk menghindari suara-suara sumbang,
Alexander punya acara tersendiri. Ketika berada di Amerika, ia mulai mengatur
strategi untuk bersikap lebih wajar lagi. Ia lalu menikahi seorang wanita yang
tentunya mengerti betul tentang orientasi seksualnya. Dengan begitu, ia bisa
terbebas dari pembicaraan dan penilaian miring yang pastinya sangat
mempengaruhi keberadaan dan kesehariannya.
MENJADI GAY, SEBUAH TANTANGAN
Siti Ismawati, Psikolog
Ada beberapa alasan mengapa seseorang
menjadi gay atau homoseksual. Selain faktor genetika, alasan lain seperti
mengikuti trend dalam pergaulan dan gaya hidup
juga berpengaruh besar. Ketika seorang secara sengaja maupun tidak masuk
dalam lingkungan pergaulan kalangan gay, maka cepat atau lambat ia dapat saja
terpengaruh.
Awalnya mungkin sekedar toleransi, atau
tidak memikirkan hal lain kecuali networking belaka, yang kemudian menjadi
terikat dengan kalangan itu secara bisnis profesional. Dan karena intensitas
hubungan ini semakin sering, lalu tanpa terasa melibatkan emosi.
Yang lain barangkali alasan preference,
yang menjadi pilihan aktivitas seksual mereka. Dengan sesame pria bias jadi
lebih mendapatkan kenikmatan. Selain lebih bisa mengerti, hubungan seksual
sesama pria tentu tidak akan menimbulkan konsekwensi seperti kehamilan dan
semacamnya, karena tujuannya hanya untuk bersenang-senang. Dari saling
berbicara, berdekatan dan meraba-raba, sampai berani coba-coba melakukan sodomi
dalam pesta kaum gay seperti Mardi Grass dan sebagainya.
Menjadi gay merupakan sebuah tantangan,
karena akan menjadi seseorang yang berbeda, yang berarti eksklusif dan
minoritas. Let’s do something different, why not?
Era globalisasi yang semakin terbuka,
dan pengakuan hak asasi manusia yang salah kaprah, juga mempengaruhi adanya
komunitas ini semakin mencuat. Seperti penghargaan Nobel yang tidak hanya
berdasarkan pertemuan dan penyelidikan terhadap sesduatu masalah yang berkaitan
dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun, telah berkembang kepada masalah
kemanusiaan, sosial dan budaya yang justru banyak dikedepankan. Misalnya tokoh
Nelson Mandela (Afrika Selatan) yang mewakili kaum buruh dan sebagainya.
Mengenai komunitas kaum gay yang kini
kian marak dan semakin mencuat ini karena secara psikologis, biasanya kelompok
minoritas memang lebih cenderung membentuk komunitas yang solid memiliki
kekuatan untuk muncul dan diakui oleh masyarakat. Dukungan masyarakat yang ada
ini kemudian membentuk networking di antara komunitas mereka, dan bukan tidak
mungkin kalau kemudian menjangkit pada masyarakat di sekelilingnya.
“Virus” gay ini bisa dibilang akan mudah
menular pada rekan lain, karena memang sangat manusiawi ketika seseorang yang
kebetulan gay kemudian ingin mencoba melakukan aktivitas seksual dengan sesama
rekan kerjanya. Awalnya barangkali hanya jalan bersama, lalu saling ngobrol dan
berbagi cerita, curhat masalah pekerjaan, kehidupan pribadi hingga masalah
seksual. Sebagaimana sebuah proses aksi reaksi, yang kemudian berkembang dan
diekspresikan dalam bentuk hubungan secara khusus, bahkan intim.
Tak bisa dipungkiri bahwa di kota-kota
besar kini sudah semakin marak dngan komunits gay ini. Fasilitas, situasi dan
kondisi yang mendukung sangat memungkinkan untuk lebih terbukanya komunitas
ini. Apalagi dari segi psikologis masyarakatnya yang cenderung cuek dan bebas
bergaul, serta pihak pemerintah yang sepertinya belum memberikan semacam
kebijakan menyangkut kehidupan gay ini. Seperti aturan dalam masyarakat, dalam
jajaran posisi pemerintah, jabatan publik dan sebagainya.
Banyak para eksekutif yang lalu
mempromaklamirkan bahwa dirinya gay dengan tidak malu-malu lagi, bahkan
sebaliknya merasa bangga karena “berani tampil beda”, serta merasa gagah karena
telah mengikuti trend. Dan naifnya, komunitas gay ini lalu dianggap sebagai
nilai tambah dari golongan eksekutif tadi.
Komunitas gay yang minoritas ini
kemudian akan berpengaruh terhadap karier dan profesi mereka yang tampak seolah
menonjol dengan kesukaan dan keberhasilan. Karena secra psikologis, mereka ini
telah membentuk keterpaduan yang mau tidak amu langsung membuat keterkaitan
yang solid, sebagaimana posesifnya seorang gay dalam mempertahankan
komunitasnya tadi.
(Semua nama
pelaku dalam reportase ini telah disamarkan, kecuali nama kota dan nama
psikolog)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar