Jakarta - Semakin malam, suasana di sekitar Lapangan
Banteng, Jakarta Pusat, semakin ramai.
Sejumlah pria muda berdiri di pinggir jalan. Sesekali mereka melambaikan tangan
kepada pengemudi yang melintas.
Pria muda-pria muda yang ngeceng di pinggir jalan itu,
sebagian besar adalah para gigolo yang siap diajak kencan. Para pelanggan
umumnya adalah kalangan gay atau kaum biseksual.
Salah satu pria yang meramaikan kehidupan malam di
Lapangan Banteng itu mengaku bernama Budy Franki. Ia terlihat sedang duduk di
halte pemberhentian bus. Beberapa kali ia berbincang-bincang dengan pengemudi
mobil yang menghampirinya. Namun tidak ada satu pun yang deal.
Akhirnya pria berkulit putih dengan rambut tersisir
rapi ini kembali menunggu. Bagi pria
kelahiran Kalimantan 26 tahun lalu itu, kondisi seperti itu sudah biasa
dilakoninya.
Dengan memainkan sebatang rokok, pria ini melemparkan
senyum. Setelah berbasa-basi sedikit, akhirnya Budy Franki masuk ke dalam mobil.
Pria ini tanpa banyak bicara langsung memperkenalkan diri dan memberitahukan
tarifnya.
"Bagaimana kalau Rp 300 ribu untuk short time?
Kalau tidak setuju, silakan berputar dan turunkan saya di tempat semula atau di
Hotel Borobudur," katanya.
Di dalam mobil, ia kemudian menunjukkan lokasi-lokasi
yang jadi tempat langganan untuk berkencan penjaja seks Lapangan Banteng.
Umumnya hotel-hotel tersebut berada di Jalan Gunung Sahari, Jalan Taman
Sari dan Jalan Pecenongan. Soalnya
ketiga lokasi tersebut dekat dengan tempat mangkal. Sehingga mereka tidak
kejauhan untuk mejeng lagi setelah kencan.
Budy Franki mengaku ia menjadi gigolo atau mulai
melacurkan diri sejak 8 bulan lalu. "Semua berawal dari seorang teman
kuliah yang telah menjadi gigolo. Ia biasa nongkrong di Petamburan dan Cempaka
Putih," jelasnya.
Para gigolo ini harus mau melayani siapa saja yang
berani membayar mereka untuk berkencan. Konsumen mereka bisa perempuan atau
laki-laki.
Ciri lama dari seorang gigolo adalah menggunakan
cincin di jari kelingking dan anting di telinga sebelah kiri. Ciri itu kini
sudah tidak digunakan lagi. Begitupun dengan sapu tangan di saku kemeja.
Ciri-ciri itu mereka anggap sekarang sudah basi dan
jadul. Sebab saat ini mereka punya cara tersendiri untuk mencari
"mangsa". Baik itu berupa lirikan atau tanda-tanda khusus yang lazim
dikenal bagi kalangan mereka.
Hal yang sama juga dilakukan gigolo yang telah menjadi
simpanan seorang pria tengah baya, sebut saja Eko. Pria ini memutuskan menjadi
brondong seorang pria beristri untuk menutupi kebutuhan hidupnya. Menurut Eko gadun-nya (pria dewasa yang
memelihara gay) itu adalah seorang pejabat di Kantor Gubernur Lampung. Gadun
yang berusia 56 tahun ini hanya 4 kali dalam sebulan datang ke Jakarta untuk
minta dilayani.
Seorang germo gigolo, Bobby Sridevi Bollywood,
menyatakan, pria muda terjerumus menjadi gigolo sebagian besar disebabkan
karena masalah ekonomi dan kelainan seks sejak lahir.
"Mungkin hanya 30 % saja yang bersedia melakukan
pekerjaan ini karena disebabkan balas dendam atau sakit hati," terang
Bobby kepada detikcom.
Bobby yang sering mendapatkan order dari selebritis
untuk membuat event striptease pria atau kaum gay itu mengaku, ia menjadi gay
karena kodrat. Ia tidak menyesali kondisinya tersebut. Bahkan dengan menjadi
gay, Bobby merasa bisa mandiri dan membantu keluarganya.
Untuk mencari anak buahnya, Bobby tidak terlalu sulit
karena mayoritas para calon kucing ( sebutan bagi PSK yang bisa melayani pria
dan wanita ) atau calon gigolo ini yang datang kepada Bobby.
Menjalankan bisnis pelayanan seks seperti itu, menurut
Bobby gampang-gampang susah. Karena bisnis ini dilandaskan kepada kepercayaan.
Untuk event striptease dengan 3 pria berbadan atletis
Bobby memasang tarif Rp 3 juta. Sementara, gay dari selebritis dipatok dengan
harga Rp 10 juta. "Untuk paket
dengan selebritis pria minimal Rp10 juta, " urai Bobby.
Menurut Bobby, banyak selebritis yang melakukan
pekerjaan sampingan seperti ini karena terseret kehidupan glamour. Bobby
menambahkan para selebritis ini umumnya sadar mereka sebenarnya tidak mampu
untuk mengkuti kehidupan kaum jet set ala Hollywood.
"Jangan dianggap kalau sudah jadi artis, uang
mereka banyak. Yang ada utang mereka yang banyak," tegas Bobby seraya
menambahkan artis-artis di Indonesia banyak yang menolak disebut gay karena
takut berpengaruh terhadap ordernya.
(ron/ddg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar