By Vara
X, sebut saja namanya begitu, laki-laki Minang berusia
di atas 30, bercerita dengan sedih mengenai awal mula dia menjadi “hombreng“.
Saya diperkosa oleh beberapa bencong (hombreng yang “seperti perempuan”) di
kamar ganti kolam renang. Saya waktu itu masih SMP lanjutnya lagi. Ketika saya
sedang ganti baju, beberapa bencong, yang adalah laki-laki dewasa, memaksa
masuk ke dalam kamar ganti di mana dia sedang mengganti baju. Dua laki-laki
memegang tangannya agar dia tidak bisa bergerak. Seorang laki-laki mulai
melakukan oral sex kepadanya. Dia mencoba meronta tapi pegangan dua laki-laki
lainnya begitu kuat dibandingkan dengan tenaga seorang anak laki-laki yang
sedang berangkat remaja. Dia mengatakan, walaupun saya masih remaja, kemaluan
saya sudah terbilang “besar”. Setelah kemaluan saya tegak, laki-laki tersebut
dengan paksa memasukkan batang kelamin saya ke anusnya. Rasanya sakit sekali.
Kemudian dia memperkosa saya sementara kedua orang laki-laki lainnya memegang
tangan saya erat-erat agar saya tidak bisa bergerak. Dia kemudian berhenti
bercerita dan memandang ke arah kejauhan dengan sedih. Dia tidak menceritakan
apakah kedua laki-laki lainnya juga ikut memperkosanya.
Setelah kejadian itu, dia mendendam terhadap semua
“bencong“. Dia berusaha menggoda mereka dan berhubungan seks dengan mereka. Dia
mengaku bahwa dia memperlakukan pasangan-pasangan bencongnya dengan kasar,
sampai anusnya berdarah-darah. Petualangan itu dilakukannya setelah peristiwa
perkosaan yang menimpanya ketika dia masih duduk dibangku SMP. Dia mengaku
bahwa dia “membenci” para bencong. Dilain kesempatan dia mengkau selalu bangkit
gairahnya setiap dia melihat para bencong yang banyak berprofesi sebagai penari
latar di televisi ketika mereka menari meliuk-liuk dengan gerakan yang
“menonjolkan pantat”. Dia mengaku bahwa sampai sekarangpun dia acap kali
memperlakukan “kekasihnya”, seorang bencong, dengan kasar dan bahwa kekasihnya
itu juga sering digaulinya sampai anusnya berdarah-darah.
Tidak ada air mata yang keluar dari matanya, ketika
dia bercerita. Tentu dia sudah menghabiskan air matanya itu ketika dia baru
saja menjadi korban perkosaan pada saat dia masih belia. Akan tetapi terasa
bahwa bermacam-macam perasaan yang campur aduk seperti berperang dalam dirinya
sementara dia bercerita. Kesedihan, dendam, sesal dan lain-lain adalah perasaan
yang harus dideritanya sejak peristiwa itu. Sakit, itulah kesan yang dapat
ditangkap dari cara dia bercerita dan dari air mukanya. Kesakitan seorang bocah
yang sedang berangkat remaja yang menjadi korban perkosaan terhadap anak
laki-laki remaja (pederasty) yang
dilakukan oleh laki-laki dewasa yang merupakan kaum homosexual (dalam hal ini
bencong) yang tidak tahu apa yang harus dilakukan, yang tidak tahu kepada siapa
dia harus mengadu.
Dia bercerita lebih lanjut lagi mengenai artis
penyanyi terkenal yang sempat menjadi “kekasihnya”, Tentang pesta-pesta kaum
homosexual yang dihadirinya, tentang perilaku seksualnya yang tidak bisa setia
dengan satu pasangan, tentang kekasih bencongnya yang sering mengancam bunuh
diri, setiap kali dia berhubungan seks dengan pasangan bencongnya yang lain,
tentang ibunya yang berusaha menjodohkannya dengan seorang perempuan karena dia
“belum juga punya pasangan” walaupun sudah cukup umur. Orang Minang katanya,
cantik. Tapi saya tidak ada “selera”. Tentang Ibu kosnya yang memberlakukan
larangan bagi penghuni kos (yang hanya terdiri dari kaum laki-laki) untuk
menerima perempuan di rumah kosannya, karena tidak mau ada “perbuatan mesum”.
Si X ini dengan mesem-mesem bilang, yah peraturan itu “cocok” buat saya. Kan
tamu saya “laki-laki” semua. Tentang kawan-kawannya sesama orang Minang yang
juga homoseksual. Homoseksualitas di ranah Minang berkembang luas lewat surau,
tambahnya lagi. Ternyata dia banyak memiliki kawan-kawan Minang yang menjadi
homoseksual lewat proses “sosialisasi” di surau. Pernyataannya menarik dikaji,
karena selama ini fungsi “surau” di ranah Minangkabau sepertinya terlalu diagung-agungkan.
Surau di ranah Minang berfungsi sebagai tempat di mana “guru agama” mengajarkan
“ajaran agama” kepada anak laki-laki di bawah umur ataupun yang masih remaja.
Apakah “ajaran agama” itu termasuk kegiatan homoseksual oleh para guru agama
terhadap murid-muridnya, tampaknya perlu diteliti lebih lanjut. Menurut
keterangan X, ya.
G sebut saja namanya begitu adalah seorang pemuda asal
Gorontalo yang dikenal oleh masyarakat sebagai bencong. G menjadi bencong lewat
proses paedofili yang termasuk kedalam golongan pedofili homoseksual karena
dilakukan oleh laki-laki dewasa terhadap anak kecil laki-laki. Pelecehan
seksual yang dialami oleh G ini termasuk juga ke dalam incest karena dilakukan
oleh pamannya sendiri. Oleh pamannya, ia dan saudaranya yang juga laki-laki
menjadi pemuas nafsu pamannya yang homoseksual yang menyukai anak laki-laki
kecil. Ia bersama saudaranya ini diperintahahkan menghisap batang kemaluan
pamannya atau yang dikenal jgua sebagai oral sex.
G tidak menjelaskan berapa lama hal ini berlangsung,
tapi tampaknya cukup lama untuk mengubahnya menjadi seorang homoseksual atau
hombreng yang bersifat “pasif” yang dikenal sebagai bencong.
Raut muka daripada G ini terlihat aneh karena
menunjukkan jiwa yang sakit. Dan memang ia jelas menderita kelainan jiwa,
karena tidak pernah menerima perawatan kejiwaan atas kejadian pelecehan seksual
yang menimpanya ketika ia masih kecil dan masih hijau. Ia juga seringkali
mengalami depresi, pernah beberapa kali mencoba dan mengancam akan bunuh diri.
Dari pernyataan-pernyataannya, ia tampaknya menginginkan hidup normal seperti
sepasang kekasih yang bisa berkasih-kasihan dengan leluasa seperti layaknya
pasangan kekasih yang terdiri dari laki-laki dan perempuan lainnya. Ia juga
tidak bisa menerima kenyataan karena harus berbagi kekasih dengan banyak
laki-laki lainnya. Ya, ia memang harus berbagai kekasih dengan para
bencong-bencong lainnya, karena entah suatu sebab yang tidak begitu jelas,
kekasihnya ini berfungsi seperti “pejantan” bagi banyak bencong-bencong lainnya
dan kekasihnya inipun tidak bisa “setia”. Ia sering mengeluh, protes, dan
mengancam akan bunuh diri terhadap kekasihnya ini. Akan tetapi, di ruang
publik, si G inipun dengan agresifnya mencari calon-calon “korban”. Ia selalu
melayangkan matanya ke arah laki-laki yang membangkitkan gairahnya dan mencoba
bermain mata dengan mereka. Jadi, ia sendiripun sebenarnya tidak “setia” dengan
satu pasangan. Menurut kawan dari si G ini, memang dunia para homoseksual
(setidaknya laki-laki homoseksual) ini adalah dunia yang tidak mengena kata
“setia” dan “kesetiaan”.
Lebih lanjut lagi ia bercerita tentang protesnya
kepada kekasihnya karena kekasihnya ini tidak pernah mau melakukan oral sex
kepadanya, walaupun ia selalu melakukan oral sex kepada kekasihnya itu. Ia
mengatakan bahwa ia menyukai melakukan oral sex kepada laki-laki yang menjadi
pasangannya. Ini sebenarnya tidak aneh, karena itulah pengalaman seksual
pertama yang dialaminya sebagai akibat dari incest, pedofili yang dilakukan
pamannya kepadanya. Pengalaman seksual pertama meninggalkan bekas yang tidak
akan pernah hilang seumur hidup. Seorang laki-laki yang mengalamai pelecehan
seksual oleh laki-laki lainnya, tidak akan otomatis menjadi homoseksual,
apabila ia sudah mendapatkan pengalaman seksual dengan perempuan sebelumnya. Ia
akan mengalami sakit jiwa, akan tetapi apabila ia mendapatkan perawatan
kejiwaan, hal ini masih bisa ditolong. Lain halnya dengan laki-laki masih
kanak-kanak atau remaja yang belum pernah mengalami persentuhan dengan
perempuan, mereka umumnya otomatis akan menjadi homoseksual. Mereka juga akan
sakit jiwa. Jikapun mereka mendapatkan perawatan kejiwaan, maka hal itu hanya
akan meyembuhkan sakit jiwanya, tapi tidak kecenderungannya untuk menjadi
homoseksual. Karena itulah, para orang tua hendaknya menjaga agar pengalaman
seksual pertama bagi anak-anak mereka adalah suatu hal yang indah dan tidak
menimbulkan rasa sakit maupun rasa terhina yang ditimbulkan oleh pelecehan
seksual baik dalam bentuk incest (homoseksual ataupun heteroseksual), perkosaan,
pedofili (homoseksual maupun heteroseksual), pederasty, seks dengan pasangan
yang tidak diinginkan dan hal lainnya. Tanggung jawab orang tua tidak terbatas
hanya pada memberi makan, minum dan biaya pendidikan saja, akan tetapi dalam
menjaga kesejahteraan daripada kebutuhan seorang anak yang beranjak dewasa,
yaitu kebutuhan yang didorong oleh fungsi reproduksi manusia.
Si G menyatakan bahwa pasangannya adalah orang yang
keterlalulan karena tidak pernah mau melakukan oral sex kepadanya. Ia
mencontohkan seorang bintang film porno untuk kalangan homoseksual, yang tidak
cuma menerima oral sex akan tetapi juga melakukannya kepada pasangannya dalam
film. Ia juga menceritakan soal pesta-pesta homoseksual yang didatanginya, di
mana pasangan homoseksual bebas berasik-masuk. Ia bercerita juga tentang
kekasihnya seorang model ganteng yang menurutnya, “selalu ejakulasi prematur”.
Ia bercerita pula tentang posisi pada saat ia melakukan hubungan seks dengan
pasangannya yaitu kira-kira sebagai berikut: ia akan melakukan oral sex kepada
pasangannya, kemudian pasangannya ini akan memasukkan batang kelaminnya ke
anusnya, sementara pasangannya ini akan merangsang batang kelaminnya dengan
tangan dengan cara “dikocok”.
Menyimak ceritanya, membuat kita layak memikirkan
kenyataan betapa bebasnya orang-orang homoseksual di Indonesia melakukan
aktifitasnya juga yang berhubungan dengan pornografi dalam arti sebenarnya
tanpa ada halangan dari siapapun termasuk orang-orang Islam dengan brand-brand
tertentu yang begitu anti hubungan seksual (baca: hanya hubungan badan antara
laki-laki dan perempuan). Mereka ternyata, setelah ditelaah lebih lanjut, tidak
anti hubungan seksual, melainkan hanya anti tubuh perempuan dan fungsi
reproduksi perempuan serta satuan-satuan budaya yang memperlihatkan tubuh
perempuan. Hubungan homoseksual antara laki-laki dibiarkan sebebas-bebasnya.
Akan tetapi, budaya Indonesia yang berhubungan dengan tubuh perempuan dikebiri,
badan perempuan dibenci dan dilecehkan, walaupun para perempuan tersebut tidak
melakukan aktifitas seksual apa-apa. Perempuan, menurut mereka, harus dibungkus
rapat-rapat, sementara para homoseksual laki-laki yang dikenal sebagai bencong
dan hombreng dapat bebas sebebas-bebasnya, tanpa bungkus apa-apa, bahkan mereka
bisa bebas menunjukkan diri di ruang publik, menjadi mentri (seperti pada zaman
Suharto), atau para penari latar yang menggoyang-goyangkan pantatnya secara
erotis dengan tujuan, disengaja atau tidak, untuk menggoda para laki-laki
seperti yang diakui sendiri oleh si X, dalam “Anak-anak korban pedofili dan
pederasty-Bagian 1”. Sementara Julia Perez, Inul, Dewi Persik dan lainnya
dihujat, karena tubuh perempuannya. Apalagi yang lebih erotis bagi para
homoseksual selain pantat dari “para bencong” yang merupakan sasaran dari
batang kelamin dari “para pejantan homoseksual”? Apa yang dilakukan oleh MUI,
Hidayat Nur Wahid ataupun Yusril Ihza Mahendra yang merupakan para pembenci
tubuh perempuan dan hubungan badan yang alami dan normal antara laki-laki dan
perempuan? Selayaknyalah yang harus dilakukan oleh Yusril Ihza Mahendra dan
penguasa-pengausa Islam lainnya itu adalah menanggulangi oral sex, anal sex dan
hubungan badan daripada para homoseksual ini terlebih dahulu yang jelas-jelas
tidak alami, dengan cara-cara yang baik dan bukan dengan cara-cara fasis Islam
seperti yang dilakukan oleh kelompok-kelompok Islam terhadap tubuh perempuan
Indonesia, budaya Indonesia dan hubungan badan yang alami dan normal antara
laki-laki dan perempuan.
Diskriminasi antara laku homoseksual dan heteroseksual
di Indonesia ini banyak sekali contohnya dan bentuknya. Banyak mahasiswa yang
dipukuli massa samapai babak belur dan bengkak-bengkak wajahnya hanya karena
menerima pacar perempuannya di kos-kosannya. Ada pasangan yang digelandang dan
diarak dengan telanjang bulat di kampung, karena “tertangkap basah” sedang
bermesraan di kos-kosan masing-masing. Kos-kosan perempuan dibuat layaknya
penjara, dengan jeruji yang mengingatkan kepada penjara dan dengan jam masuk
dan jam keluar yang juga menyerupai penjara dengan ketentuan menerima tamu yang
lagi-lagi mengingatkan kita akan suatu penjara. Sementara kos-kosan laki-laki
bebas terbuka, bebas sebebas-bebasnya termasuk untuk menerima pelacur dan
laki-laki homoseksual. Laki-laki dan perempuan yang sudah akil-balik dilarang berciuman,
dilarang bersama-sama, padahal itu adalah sudah menjadi kebutuhan bagi orang
yang sudah memasuki tahapan reproduksi. Sementara laki-laki homoseksual bebas
hidup bersama, berasyik-masuk, berpesta seks, menonton film porno untuk kaum
homoseksual, menjadi pelacur untuk kalangan homoseksual, melakukan hubungan
seks yang sangat menyimpang dan aneh-aneh, saling kunjung mengunjungi dan
lainnya. Hal ini dikarenakan semua mata tertuju kepada tubuh perempuan,
bagaimana memenjarakan tubuh perempuan, menjaga agar laki-laki dan perempuan
tidak bersama-sama dan tidak bisa berkasih-kasihan, dan bersiap-siap
mempermalukan para pasangan laki-laki dan perempuan yang sebenarnya merupakan
hal yang alamiah dan normal.
Si G yang sebenarnya merupakan korban laku pedofili homoseksual
yang juga merupakan incest karena dilakukan oleh pamannya ini, tumbuh menjadi
pribadi yang depresif, yang memusuhi perempuan dan satu lagi, ia adalah
merupakan salah seorang homoseksual yang mewakili apa yang disebut sebagai
fundamentalisme homoseksual. Suatu pandangan yang menganggap bahwa
homoseksualitas adalah bentuk hubungan seksual “yang terbaik” dan layak
disebarluaskan. Fundamentalisme homoseksual ini biasanya diiringi dengan
ajaran-ajaran kebencian terhadap perempuan dan terhadap hubungan badan antara
laki-laki dan perempuan, pemujaan tokoh-tokoh homoseksual dan budaya-budaya
yang mengedepankan homoseksualias seperti Sparta, Samurai, kaum Sufi Islam,
Arab Saudi, Afghanistan ataupun Warok dan mengklaim bahwa kaum homoseksualitas
adalah kaum terpilih dan intelektual dengan tingkat intelektualitas yang
melebihi laki-laki heteroseksual yang hanya merupakan “laki-laki kebanyakan”.
Si G misalnya menyatakan bahwa, semua laki-laki adalah homoseksual dan bahwa
semua laki-laki lebih senang berhubungan seks dengan kaum laki-laki karena
perempuan harus menstruasi setiap bulannya, sementara laki-laki tidak alias
laki-laki selalu “siap sedia” untuk berhubungan seks. Pernyataan ini jelas
terlihat sebagai sebuah pernyataan fanatik akan kehomoseksualitasannya dan
menafikan bahwa lebih banyak laki-laki yang bahkan merasa jijik untuk menjadi
homoseksualitas dan tidak pernah membayangkan untuk menjadi seorang
homoseksual. Di Arab Saudi, memang banyak kasus-kasus para suami yang pergi ke
“para kekasih” mereka yang homoseksual atau bencong, ketika istri mereka sedang
haid. Dengan pernyataannya ini, si G tampaknya lupa bahwa ia sendiri menjadi
homoseksual karena peristiwa pelecehan seksual yang dialaminya sewaktu kecil.
Dan memang, banyak tokoh-tokoh fundamentalis homoseksual yang menjadi
homoseksual karena mengalami pelecehan seksual pada masa kanak-kanak yang
berupa pedofili/pederasty homoseksual. Ia mengatakan bahwa ia “lebih senang
berteman dengan perempuan” dan bahwa “perempuan adalah kawan setianya”. Tapi tampaknya
pernyataan ini tidak berdasar, melihat dari kebencian yang ditunjukkannya
kepada hal-hal yang berhubungan dengan fungsi reproduksi perempuan seperti
proses menstruasi dan bahwa semua laki-laki adalah homoseksual dan hanya
menyukai laki-laki. Ia juga sering memperlihatkan rasa persaingannya terhadap
kamu perempuan, karena sebagaiman kaum perempuan, ia adalah juga “pencinta
laki-laki” dan ia sering menyatakan bahwa ia lebih baik dari perempuan karena
ia laki-laki dan tidak harus menstruasi.
___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar