https://gaystoriesfromindonesia.wordpress.com/2013/03/15/my-true-story/
I. Awal
Bertemu
24 januari 2010. Hari itu
tepat pada hari Minggu, 4 hari setelah aku berulang tahun yang ke 16. Dimana
pada saat itu aku sedang menjalani ujian kenaikan sabuk karate. Setelah upacara
pembukaan, jogging, dan juga senam, ujianpun dimulai. Diawali dari sabuk
terendah, yaitu sabuk putih. Berhubung aku telah mencapai sabuk kuning,
terdapat waktu luang untuk beristirahat. Namun sebagian besar peserta ujian
menggunakan waktu tersebut untuk berlatih KATA (peragaan jurus). Termasuk di
dalamnya aku. Aku tidak ingin gagal dalam ujian ini. Walau SENPAI (pelatih) ku
menjamin aku pasti lulus karena berkemampuan di atas rata-rata. KATA yang harus
aku tampilkan sebagai pemegang sabuk kuning adalah KATA pertama, kedua, dan
ketiga. Namun, aku tetap berlatih KATA keempat yang sudah aku kuasai dan
notabene adalah KATA yang hanya digunakan oleh pemegang sabuk hijau ke atas.
Pada saat aku berlatih KATA keempat, datanglah seorang anak yang memakai sabuk
hijau meminta izin untuk latihan bersama. Akupun menerima tawarannya yang
menurutku sangat menguntungkan.
15 menit kemudian, para
pemegang sabuk kuning dipanggil untuk mengikuti ujian. Aku mendapatkan nomer
urut 5 yang berarti aku berada di barisan paling depan, pojok kiri. Huft, aku
jadi gugup. Walau aku gugup, aku tetap berusaha menunjukkan yang terbaik. 15
menitpun berlalu. Aku keluar ruangan sambil bernafas lega. Saat aku keluar
ruangan, aku berpapasan dengan para pemegang sabuk hijau. Dan aku melihat anak
yang latihan bersamaku berada diantara mereka. Dan akupun menyemangatinya.
Tubuhku mulai terasa capai
karena tadi aku sudah mati-matian mengeluarkan seluruh kemampuanku di depan
para tim penguji. Aku merasa lapar yang sangat menyiksa. Akhirnya kuputuskan
untuk membeli makanan di kantin. Ternyata disana sudah penuh oleh para
karate-ka bersabuk putih dan beberapa diantaranya bersabuk kuning. Karena
kecewa, aku berniat menggagalkan niatku untuk membeli makanan disana. Namun,
saat aku membalikkan badan, ada yang melemparkan kerikil ke arah kakiku.
Spontan aku membalikkan badanku. Aku menangkap pemandangan yang sama seperti
sebelum aku berbalik. Namun ada yang berbeda. Terdapat seorang anak kecil
bersabuk kuning yang kutaksir umurnya 7 tahun. Dia berwajah manis dan imut. Dia
tersenyum dan memanggilku. “mas, kok balik? Ndak mau makan tah?”, tanyanya.
“wah, rame dek. Bikin males. Mana masih harus ngantri. Pasti lamanya minta
ampun.”, jawabku sambil tersenyum. “hmmmm. Mas lapar banget deh kayanya. Nih,
punyaku. Makan aja dulu. Ntar aku pesen lagi. Eitt, tapi jangan lupa bayar ya
mas.”, kata anak itu sambil tersenyum. Aku bingung. Ingin menerima karena sudah
sangat lapar sekali. Namun tidak enak sama anak itu yang harus menunggu lebih
lama untuk makan. “mas! Kok malah bengong? Ini makanannya. Aku tadi udah
sarapan. Gak usah khawatir!”, ujarnya meyakinkanku untuk menerima makanan
darinya. Kemudian kuputuskan untuk menerimanya. Ada rejeki jangan ditolak. Ndak
ilok kata orang jawa. Setelah selesai makan aku berniat membayarnya. Namun
pemilik kantin menolak. Sudah dibayar katanya. “Hah?”, Aku bingung. Aku
bertanya pada pemilik kantin siapakah yang membayarkan makanan milikku ini.
Pemilik kantin menjelaskan bahwa makanan yang sudah aku makan itu sudah dibayar
oleh anak kecil yang tadi memberikan makanannya untukku. Aku kaget. Aku
bertanya apakah anak itu membeli makanan lagi dan apakah sudah membayarnya.
Pemilik kantin hanya menjawab dia membeli lagi dan sudah membayarnya. Aku
semakin tidak enak hati kepada anak itu. Aku harus mencarinya. Kemudian aku
berterima kasih pada pemiik kantin itu.
Aku setengah berlari mencari
anak kecil yang berbaik hati kepadaku tadi. 30 menit aku mencari. Namun tak
berbuah apa apa. Saat aku akan menyerah, ada yang menepuk punggungku. Ternyata
dia anak kecil yang tadi berlatih bersamaku. “mas, cari Dwiki yah?”, tanyanya.
“Dwiki?” tanyaku kebingungan. “iya. Yang tadi ngasih makanan ke mas.”, ujarnya
menjawab kebingunganku. “oh. Iya dek. Kok kamu tahu? Trus sekarang dia
kemana?”, tanyaku lagi. “wih wih! Sabar mas. Gak sabaran banget sih.”,
jawabnya. “ok ok! Sekarang jawab pertanyaanku yang pertama dulu. Baru yang
kedua!”, perintahku. “gini loh mas. Dwiki tuh satu ranting sama aku. Tadi pas
aku ketemu dia, dia lagi senyum sendiri. Aku kagetin dia. Nah pas aku tanya
kenapa senyum sendiri, dia cerita deh tentang mas. Hehe.”, ujarnya. “trus, dia
kemana sekarang?”, tanyaku lagi. Bukannya menjawab pertanyaanku malah dia
tertawa. Aku bingung. Dan kebingunganku bertambah saat sepasang tangan menutup
kedua mataku. “hayo! Tebak siapa?”, ujar seseorang yang menutup mataku. “hmmm.
Siapa ya?”, ujarku penuh pura-pura. Padahal aku tahu bahwa anak itu adalah
Dwiki, seorang anak kecil yang sangat baik hati. “ah, mas gak asik nih. Masa
nggak inget?”, Ujarnya sedikit ngambek. Aku lepas tangan itu tanpa berbalik.
“kamu Dwiki kan? Yang tadi udah ngasih mas makanan dan ngebayarin makanan
mas?”, Jawabku tanpa menoleh. Tak kusangka, ternyata ia memelukku dari
belakang. “hore! Mas masih inget sama aku.”, ujarnya kesenangan. Aku
terheran-heran diperlakukan seperti itu. “Dia sangat mengidolakan mas.”, ujar
anak yang tadi berlatih bersamaku. Aku berbalik dan balas memeluknya. Aku
merasakan kehangatan pelukan dari seorang adik yang telah lama tidak kurasakan
karena kembaranku telah wafat 6 tahun lalu. Tak terasa air mataku mengalir
membasahi pipiku dan pipinya. “mas, kok nangis?”, tanyanya. Aku kaget. Aku
hanya menjawab mataku kemasukan debu sambil menghapus air mataku. Alasan klasik
untuk menipu anak kecil. Akhirnya kami bersenda gurau hingga ada pengumuman
agar para karate-ka berkumpul di ruang
ujian.
Kami bertiga segera menuju
ruang ujian. Di ruang ujian kami diberi nasihat oleh para tim penguji dan
terdapat penampilan KATA oleh SENPAI Eva dan KUMITE (pertarungan) oleh
karate-ka bersabuk biru dan cokelat. Aku sangat ingin mencoba ber-KUMITE, namun
Karate-ka yang bersabuk kuning belum mendapatkan izin karena masih awam.
Walaupun bersabuk kuning, aku mampu mengalahkan sabuk biru senior. Karena kelebihanku adalah Kelincahan dan energiku
yang mudah kembali.
Setelah penampilan selesai,
kami semua melakukan upacara penutupan. Upacara itu adalah tanda bahwa kegiatan
ujian kenaikan sabuk karate pada hari itu. Dan kami, para karate-ka pulang
dengan rasa capai yang tiada taranya.
II. Pertemuan Kedua
11 April 2010. Hari Minggu
yang melelahkan. Hari itu aku sedang menjalani GASHUKU di Pantai Pasir Putih.
Seperti kegiatan sebelumnya. GASHUKU diawali upacara, jogging, dan juga senam.
Namun kali ini, senam didahulukan dan aku sekarang menggunakan sabuk hijau. Jogging
yang aku lakukan tidak hanya jogging biasa. Jogging yang aku lakukan adalah
jogging variasi. Dimana saat jogging, aku juga diharuskan melakukan latihan
fisik lainnya. Misalnya, merayap di bawah jembatan, scout jump, dan berlari di
dalam air. Jalur joggingpun lumayan jauh. Sekitar 1 kilometer lebih.
Saat jogging, aku bertemu
dengan 2 anak kecil yang bersamaku saat ujian kenaikan sabuk sebelumnya. Mereka
berdua mengikutiku seolah olah aku ini adalah induk mereka. Aku berpura pura
tidak melihat mereka dan terus berlari. Mereka tetap seperti itu. Kemudian aku
mendadak berhenti dan mengagetkan mereka berdua. “hayooo! Ngapain?”, ujarku.
“hehe. Cuma ngikutin mas kok. Gak boleh ya?”, ujar Dwiki sambil memasang mimik
ngambek. Aku tahu dia cuma pura-pura. Namun aku pura-pura menyesal. “udah donk,
Ki. Jangan ngambek gitu. Mas murdhani kan jadi sedih juga. Ntar kalau Dwiki
ngambek, mas Murdhani nangis deh.”, candaku. Kulihat perubahan ekspresi
wajahnya. Dia kembali ceria seperti sebelumnya. “ya udah. Dwiki nggak sedih
lagi. Yang penting mas Murdhani gak sedih lagi.”, ujarnya. “janji ya? Jangan di
ulangi lagi!”, tanyaku memastikan. “iya mas. Dwiki janji. Dwiki ndak bakalan
ngambek lagi.”, ujarnya seraya tangannya membentuk angka dua. Kemudian kami
kembali jogging sambil mengobrol hingga sampai di tempat latihan pertama.
III. Latihan Pertama
Latihan pertama adalah
latihan KIHON (gerakan dasar) dan KATA. Entah kenapa pada saat latihan kihon
aku tidak bisa berkonsentrasi. Mataku selalu melirik ke arah Dwiki. Entah
kenapa aku tak dapat mengalihkan mataku dari tubuhnya. Aku selalu memperhatikan
tiap gerakannya secara detail. Tangannya, kakinya, badannya, bahkan suaranyapun
tak luput dari perhatianku. Apakah mungkin aku sedang jatuh cinta pada seorang
anak kecil, yang pastinya belum tahu arti persahabatan, apalagi indahnya mencinta
dan dicinta? Tanpa disadari, gerakan tubuhku mulai melemah karena aku tak
berkonsentrasi lagi.
“woi, mur! Ngapain kamu?
Cengangas cengenges sendiri.”, teriak SENPAI Ikbal, pelatihku saat itu.
Teriakannya mampu membuat seekor Brontosaurus pingsan. Dan teriakan itu
dilakukan dengan jarak hanya sejengkal dari telingaku. Wuih, bisa dibayangkan
betapa terkejutnya aku saat itu. Dan lagi, teriakan itu membuat seluruh
karate-ka bersabuk hijau menoleh dan menatapku dengan perasaan heran dan iba.
Heran karena pada saat GASHUKU yang harusnya serius, bisa-bisanya aku melamun.
Dan iba karena mereka merasa teriakan tadi pasti membuat telingaku tuli selama
beberapa menit. Wajahku memerah seketika. Untungnya aku berada di barisan
paling belakang pojok kiri. Sehingga tidak terlalu malu kepada karate-ka yang
lainnya. SENPAI Ikbalpun merasa heran. Yang beliau tahu, aku adalah orang yang
pada saat latihan itu celometan namun serius dan penuh konsentrasi. Namun
sekarang aku menjadi pendiam dan tak berkonsentrasi lagi. Walau beliau
pelatihku di ranting, namun beliau tidak pilih kasih. Dia tegas akan menegur
siapapun yang tidak berkonsetrasi pada latihannya. Itulah alasan mengapa aku
pernah jatuh cinta pada beliau. Dan yang pasti beliau menolakku karena beliau
pria yang normal. Namun beliau bersikap seolah kejadian itu tidak pernah
terjadi. beliau tak mengurangi perhatiannya padaku, selaku muridnya, dan tidak
pernah sedikitpun berusaha menjauhiku.
“Mur, kamu keluar barisan dulu sana!”, perintahnya kepadaku. “SENPAI
Ida, tolong lanjutkan kembali latihannya! Saya akan mengurusnya sebentar.”,
ujar beliau pada SENPAI Ida. “kalian lanjutkan latihan bersama SENPAI Ida
dahulu!”, tambah beliau pada para karate-ka bersabuk hijau.
SENPAI Ikbal mendekatiku
yang bernaung dibawah pohon kelapa. Kepalaku tertunduk menahan malu yang
teramat sangat. “Murdhani, kamu kenapa tadi kok nggak konsentrasi? Ada masalah
atau jangan-jangan kamu jatuh cinta sama salah satu karate-ka yang disana?”,
tanya beliau kepadaku seraya menunjuk ke arah tempat aku latihan tadi.
Tebakannya sangat akurat. Beliau tersenyum padaku. Aku heran darimana beliau
bisa tahu isi hatiku. “sudahlah, nggak usah bingung gitu. Tubuh dan matamu yang
menjelaskan semuanya.”, ujarnya menjawab keherananku. “tapi kok……”. Ucapanku
terpotong oleh jari telunjuk yang menempel di bibirku. “ssttt. Nggak usah pake
teriak. Kamu pengen tahu kenapa saya tahu apa yang ada di pikiran dan hatimu
tadi? Iya, kan? Kita pindah dulu sebelum saya cerita.”, tanya beliau.
SENPAI Ikbal kembali ke
tempat latihan untuk meminta izin pada SENPAI Ida. “SENPAI, maaf mengganggu.
Sepertinya masalah Murdhani harus dibicarakan lebih tertutup. Karena itu sangat
rahasia baginya. Bolehkan saya mohon izin lebih lama untuk menyelesaikannya?”,
tanya beliau pada SENPAI Ida. Akhirnya SENPAI Ida mengizinkan.
SENPAI Ikbal mendekatiku
lagi dan mengajakku pindah menuju pantai yang sepi. Akupun mengikutinya dengan
patuh. Sampai di tempat tujuan, kami hanya diam seribu bahasa. Aku terlalu malu
untuk bertanya. Sedangkan beliau masih sibuk melempar batu ke laut. Kulihat dan
kuperhatikan wajahnya yang tampan itu. Umurnya masih 21 tahun. Hanya selisih
lima tahun dari umurku. “heh! Ngapain liatin wajahku kaya gitu? Cakep ya?”,
candanya mencairkan suasana yang kaku dan canggung ini. “aduh SENPAI, Ngagetin
mulu nih kerjaannya. Untung aku nggak punya penyakit jantung. Coba kalau punya,
pasti udah koit dari tadi. Hobi ya, ngagetin orang? Cakep sih cakep. Tapi
hobinya aneh.”, ujarku. “yey! Malah ngambek. Jangan ngambek donk, ntar aku
nangis nih.”, ujar beliau sambil tersenyum. “eh, itu kan? SENPAI tahu darimana
kata-kata itu?”, tanyaku. Beliau berusaha menahan tawanya agar tidak meledak.
Sepertinya beliau merasa aku sangat lucu saat itu. “emangnya aku badut apa,
diketawain? Bukannya jawab, malah gitu.”, sungutku. Kulihat beliau berusaha
meredam tawanya dan berhasil melakukannya. “kamu mau saya jawab yang mana dulu?
Yang tadi atau yang barusan?”, tanyanya. “yang tadi aja!”, jawabku pendek. Aku
masih merasa kesal pada beliau. Ngagetin, bikin malu, niru kata kataku,
ngetawain lagi. “ tubuh kamu terpusat pada satu tempat, mata kamu terlihat sayu
dan selalu memperhatikan satu orang, telinga kamu selalu berusaha mendengar
suara satu orang, dan yang terakhir adalah semua itu hanya kamu lakukan pada
beberapa hari sebelum kamu menyatakan cinta kepada saya.
Dari situlah saya tahu kamu
sedang jatuh cinta pada Dwiki.”, ujar beliau. “da.. da.. darimana SENPAI tahu
namanya?”, tanyaku terbata-bata. “tadi kamu kan tanya, darimana saya tahu kata
kata yang tadi? Iya, kan? Tadi waktu jogging, saya ada di depanmu. Waktu kamu
ngobrol sama Dwiki, saya dengerin. Jadi jangan heran kalau saya tahu kata kata
kamu dan juga nama anak itu. Dan sepertinya dialah yang akan menggantikan
posisi kembaran kamu, si dhana yang sudah wafat.”, terangnya padaku. Tebakannya
lagi lagi sangat akurat. “SENPAI, kenapa ya aku harus dilahirkan GAY? Dan
kenapa pula aku harus jatuh cinta pada anak kecil?’, tanyaku. “Murdhani, Allah
pasti memiliki tujuan mengapa kamu dilahirkan sebagai penyuka sesama jenis.
Suatu saat kamu pasti akan mengetahuinya. Dan saya mengerti mengapa kamu jatuh
cinta pada seorang anak kecil yang masih polos. Mungkin kamu tuh terlalu kecewa
karena dulu saya tidak membalas perasaan kamu. Jadi kamu takut untuk menyukai
seseorang yang lebih dewasa dibandingkan kamu”, terangnya. Aku rasa jawaban itu
adalah jawaban terlogis yang menjadi jawaban dari pertanyaanku. “SENPAI, apa
aku salah mencintai Dwiki? Apa yang harus aku lakukan? Aku nggak mungkin
ngerubah dia menjadi seperti aku.”, tanyaku sambil terisak. Beliau mendekapku
dan berkata, “kamu nggak salah. Kamu boleh terus mengejar cinta kamu. Tapi hati
hati dengan pilihanmu!”. Akhirnya aku menangis di bahunya sampai puas, karena
beliau juga sudah merelakan bahunya menjadi tempatku bersandar dan menangis.
Ternyata aku masih menyimpan rasa sayangku pada beliau. Namun aku tak mau
merusak hubungan yang telah berjalan baik antara guru dan muridnya.
IV. BERKENALAN LEBIH DEKAT
“Karena kalian sudah
berusaha sebaik mungkin, kalian boleh istirahat dan kembali ke tempat awal kita
berkumpul. Dan ingat, waktu istirahat kalian hanya 90 menit. Gunakan waktu
istirahat yang diberikan sebaik-baiknya! Setelah itu kalian harus kembali ke
tempat ini lagi! Mengerti?”, ujar SENPAI Ikbal pada kami, para pemegang sabuk
hijau. “OSU (Ya), Mengerti SENPAI.”, jawab kami serempak. Para pemegang sabuk
hijau pun segera berlari menuju tempat yang telah tentukan. Kami berlari
seperti sekelompok semut yang keluar dari sarangnya akibat runtuhnya sarang.
“Dwiki, ‘kambing’
(panggilanku pada sahabat Dwiki), tunggu dulu donk! Mas Murdhani kan capai.
Tega banget neh kalian.”, teriakku pada Dwiki dan sahabatnya. Mereka berhenti.
Namun, aku melihat sesuatu yang aneh pada wajah Dwiki. Raut wajahnya terlihat
kesal. “Kamu kenapa, Ki? Wajahnya kok ditekuk gitu. Jelek tau. Lagi pula gak
takut patah apa, wajah kok ditekuk terus?”, tanyaku sambil bergurau pada Dwiki
saat aku berhasil menyusulnya. “Tau ah. Mas Murdhani jahat. Masa Dwiki
dipanggil kambing.”, rajuknya. “Bukan Dwiki yang kambing. Tapi temen kamu tuh.
Tadi bukan Dwiki kambing. Tapi, Dwiki koma kambing, Gitu. Ah Dwiki gak asyik
neh. Dikit-dikit ngambek. Lupa sama janjinya yah?”, terangku padanya. “Eh, mas
tuh yang kambing” ujar sahabat Dwiki. “Owh! Gitu toh. Hehe. Maaf ya, Mas. Tadi
Dwiki salah paham. Tapi Mas Murdhani jangan pikir Dwiki lupa. Dwiki inget kok.
Tadi Cuma pengen ngetes mas aja. Hehe. Weeeekk.”, ujarnya sambil berlari dan
menjulurkan lidahnya ke arahku. Uh, sial. Aku ditipu mentah-mentah sama anak
kecil. Aku pun berteriak,“Eh, Awas ya Dwiki. Ntar kalau udah ketangkep, Mas
murdhani bakalan….”. “Bakalan apa hayo?”, teriaknya dari kejauhan. “Bakalan Mas
Murdhani makan. Biar Kenyang. Gak usah beli nasi lagi. Tapi, kalau Dwiki mas
makan, gak ada yang bayarin mas lagi donk. Hehe.”, jawabku. Tiba-tiba dia
berhenti dan segera menghampiriku. “Lho, kok balik. Mau Mas Murdhani makan
tah?”, candaku saat dia berhenti di depanku. Tiba-tiba dia menarik bajuku.
Alhasil aku harus menunduk agar aku tak jatuh dan bajuku tak robek. Tak
kusangka dan tak kuduga sebelumnya, Dwiki mencium pipiku di depan
teman-temannya. Mungkin wajahku seperti udang rebus pada saat itu. “Dwiki
sayang Mas Murdhani. Mas mau kan jadi mas-nya Dwiki?”, tanyanya. Ammh, uhh,
hmm. Hanya itu yang keluar dari mulutku saat itu. “Mas! Ditanyain malah
bengong. Tuh Dwiki udah nungguin jawabannya.”, ujar sahabatnya. “Emang harus
sekarang ya?”, tanyaku bodoh. “enggak mas. Tahun depan aja. Emangnya kapan
lagi? Kaya orang ditembak cewek aja sampe bingung gitu.”, ujar si ‘kambing’
dengan nada kesal. “Emhh. Gimana ya, Ki? Mas Murdhani sih mau. Tapi Mas
Murdhani ndak yakin. Takutnya nanti Dwiki berubah pikiran di tengah jalan.”,
jawabku. “Mas Murdhani kurang yakin sama Dwiki? Mas! Dwiki tuh sayang banget
sama mas. Sejak aku melihat mas di ujian kemarin.”, terangnya. “Apa buktinya
kalau Dwiki memang bener-bener sayang Mas Murdhani?”, tanyaku. “Mas Murdhani
pengen bukti?”, dia balik bertanya. Kuanggukkan kepalanya tanda meng-iyakan.
Tiba-tiba dia mencium bibirku sekilas. Aku kaget bukan main. Dia nekat,
pikirku. Akhirnya kuterima permintaan kekerabatannya. Ceeiileeeehhh. Kaya di
Facebook aja.
V. GETTING CLOSER
Waktu istirahat yang
seharusnya kugunakan untuk makan bersama (gratis) dengan teman serantingku
malah kugunakan makan bersama (bayar) bersama Dwiki dan sahabatnya. Untungnya
aku sudah meminta izin pada ketua rantingku. Agar mereka tidak bingung
mencariku.
“Ki, kenapa sih Dwiki pengen
Mas Murdhani jadi kakaknya Dwiki? Apa Dwiki dak punya kakak?”, tanyaku. “Dwiki
sih sudah punya kakak cewek. Pengen punya kakak cowok. Kakak Dwiki tuh orangnya
kasar dan pemarah. Kalau Mas Murdhani kan enggak. Hehe.”, jawabnya. Hmmm, dia
belum tahu siapa aku sebenarnya, ujarku dalam hati. Lalu kami melanjutkan makan
tanpa berbicara sepatah katapun.
“Eh, Ki. Orang tua Dwiki
kemana? Kok ndak kelihatan dari tadi?”, tanyaku padanya saat kami duduk berdua
di pantai. “Sudah pulang. Nanti jam 12.15 sudah kesini lagi kok.”, jawabnya. “Ki,
berenang yuk! Mau gak?”, tanyaku. “Ayo mas. Mumpung masih ada waktu istirahat
satu jam.”, ujarnya sambil menarik tanganku. “Eit. Tunggu dulu Ki. Nggak mau
ganti baju dulu tah? Ntar kalau latihan lagi pake baju basah dimarahhin gimana?
Ganti baju dulu yuk!”, ajakku. “O iya mas. Aku sampai lupa. Hehe. Makasih sudah
ngingetin ya mas. Yuk ganti baju dulu.”, ujarnya. Kamipun mengganti pakaian
kami.
“Ki, kita ke tengah yuk!”,
ajakku. “Ah, nggak ah mas. Aku takut. Disana kan dalem. Ntar kalau Dwiki
tenggelam gimana?”, ujarnya. “Kan ada Mas Murdhani.”, rayuku. “Yaudah deh. Tapi
ntar jagain Dwiki ya, mas!”, pintanya. Aku hanya menganggukkan kepala tanda
setuju. Akhrnya kami sampai di tempat yang lumayan dalam. Tinggi airnya sebatas
bahu Dwiki. Kami mulai berenang berkejaran. Saat aku mengejarnya, Dwiki
menyiramkan air yang lumayan banyak. Alhasil, mataku perih dan hidungku
kemasukan air. Aku berhenti mengejarnya dan mengucek mataku yang perih. Melihat
itu, Dwiki panik dan segera menghampiriku. “Mas. Mas gak apa apa kan?”,
tanyanya. Ide usilku muai muncul. Aku berpura-pura pingsan. Aku berusaha
menenggelamkan diri. Dwiki langsung berusaha menahan badanku yang jauh lebih
besar dari badannya. “Dhuar.”, teriakku. Dia kaget bukan main. Tiba-tiba dia
memukul perutku. “Eh, kenapa mukul, Ki?”, tanyaku keheranan. “Habis, Mas
Murdhani ngerjain Dwiki.”, jawabnya. “Hehe, becanda Ki.”, belaku. Tiba-tiba dia
pergi. Kulihat ada sebuah perahu yang ditambatkan, talinya mengendur, yang
menyebabkan perahu itu agak terbawa ombak sekitar dua meter. Dan mundurnya
mengarah ke arah Dwiki. Langsung aku berenang secepatnya untuk mangejarnya.
Saat aku sampai, ternyata perahu itu hampir membentur badannya. Dia tak
melihatnya karena dia selalu menunduk. Kutarik badannya. Namun, kayu penyeimbang
kapal itu mengenai tanganku. Tanganku lecet dan terasa perih karena terendam
air laut. “Mas, mas gak apa-apa kan?”, tanyanya. “Ya. Gak apa-apa kok. Cuma
lecet aja. Makanya, kalau jalan lihat ke depan.”, nasihatku dengan lemah
lembut. “Ya mas. Maafin Dwiki ya. Mas jadi lecet gara-gara Dwiki.”, sesalnya.
“Ya udah. Kepinggir yuk.”, ajakku. “Tunggu dulu mas! Dwiki mau tanya sesuatu.”,
ujarnya. “Dwiki mau tanya apa?”, tanyaku sambil membelai rambutnya. “Mas
Murdhani sayang gak sama Dwiki?”, tanyanya. “Ya Mas Murdhani sayang lah. Masa
Mas Murdhani gak mau sayang sama Dwiki. Dwiki kan adiknya Mas Murdhani
sekarang.”, jawabku sambil menowel pipinya. Tiba-tiba Dwiki memelukku. Walaupun
kaget, kucoba untuk bersikap wajar. Kubalas pelukannya dengan erat. “Ya udah
dunk mas. Dwiki gak bisa nafas nih. Seret banget pelukannya. Kaya yang gak mau
kehilangan Dwiki aja”, tegurnya.
Memang aku gak mau
kehilangan kamu, ujarku dalam hati. Kulonggarkan pelukanku padanya. “EHEM”,
sebuah suara berdehem yang cukup mengagetkanku. Akupun menoleh ke belakang
tanpa melepaskan pelukanku. “Kalau mau mesra-mesraan jangan disini dunk.”,
tegur SENPAI Ikbal. “Idih. Siapa juga yang mesra-mesraan?”, kilahku. “Itu. Dari
tadi ngapain kamu meluk dia?” tanya beliau. “Gak ngapa-ngapain kok. Jangan
suudzan dulu dunk!”, kilahku seraya melepaskan pelukanku. “Oh, jadi kamu nggak
ngerasa kalau kejadian tadi tuh mirip sama kejadian delapan tahun lalu?
Kejadian antara kamu dan kembaran kamu, si Dhana?”, tanyan beliau. Pikiranku
melayang mundur ke delapan tahun yang lalu. Saat dimana aku menyelamatkan Dhana
yang sangat ceroboh dari tabrakan sepeda motor yang akan menabrakya dengan
kecepatan tinggi. Dan penyelamatan itu mengakibatkan tanganku lecet karena
terserempet dan terjatuh mengenai aspal. Dan saat berada di dalam kamar, Dhana
bertanya apakah aku menyayanginya. Persis seperti kejadian yang baru kualami.
Oh iya. Aku pernah menceritakan kejadian itu pada beliau. Dan mungkin sudah
dari tadi beliau di sini dan melihat semua kejadian ini. Tak tersa aku mulai
menitikkan air mata. “Woi, ditanya jawab dunk!”, teriak SENPAI Ikbal. “Maaf,
PAI. Aku tak ingin membicarakannya saat ini.”, ujarku. Tiba-tiba beliau menepuk
pundakku dan menyuruhku agar aku menjadi laki-laki yang tegar, tidak terhantui
masa lalu, dan agar aku menjaga Dwiki sebaik-baiknya. Satu lagi alasan yang
menyebabkan aku tetap ingin menyayanginya sebagai sahabat dan guruku. Sifat
bijaksananya. Aku sungguh bangga akan itu. “Ya udah. Ayo balik. Sebentar lagi
latihannya mulai lagi lho.”, ajak beliau. Akupun mulai berjalan mengikutinya
sambil menarik tangan Dwiki.
“Mas, Dhana itu siapa? Trus,
sekarang dia dimana? Kejadian apa yang dimaksud sama SENPAI Ikbal?”, tanya
Dwiki saat kita berganti pakaian di toilet. Ku cium pipinya dengan lembut.
Kemudian aku menceritakan tentang siapa Dhana. Dimana dia sekarang. Namun aku
hanya menceritakan yang pantas didengarnya saat dia bertanya apa hubunganku
dengan Dhana hingga membuat aku meneteskan air mata dan tidak mau mengingatnya
lagi.
“Ayo cepetan, mas. Ntar kita
ketinggalan yang lain lho.”, ajak Dwiki padaku. “Iya iya. Sabar sedikit kenapa.
Mas Murdhani kan masih pakai sabuk.”, ujarku. “Sambil jalan kan bisa.”,
ujarnya. Aku pun berjalan sambil memasang sabukku. Tak terasa kami sudah sampai
di tempat latihan pertama. Sesampai di sana kami langsung berbaris. Dwiki
berbaris tepat disebelahku. Saat semua telah berkumpul, kami disuruh pindah
tempat ke rah timur kira-kira 100 meter. Di sana kami merasa lebih nyaman.
Selain karena ada pohon kelapa yang menaungi, di situ tidak beralaskan pasir
panas melainkan tanah berumput yang sejuk. Para pelatih tiap kelompok pun di
tukar. Yang melatih kami saat itu adalah SENPAI Eva. Beliau adalah SENPAI
termuda di sini. Masih bersekolah Beliau masih kelas XI pada saat itu. Dan
beliau mampu menguasai KATA dan KUMITE dengan baik. Saat latihan kedua ini,
kami semua di ajari bagaimana menjadi pemain KATA yang baik dan benar. Awalnya,
kami diajari trik bermain KATA. Kemudian kami disuruh mempraktekkannya.
Kamipun mulai
mempraktekannya. Mulai dari KATA pertama sampai yang keempat. Namun pada KATA
ketiga terjadi kendala. Beberapa di antara kami tidak hafal. Itu menyebabkan
SENPAI Eva mulai marah. “HEH, KALAU GAK HAFAL PAKE SABUK PUTIH AJA. UDAH SABUK
IJO NGGAK HAFAL KATA TIGA. YANG NGGAK HAFAL SIAPA? NGACUNG!”, teriak beliau.
Sekitar 30 persen dari kami mengacungkan jarinya. Dan mereka yang tidak hafal
diletakkan di barisan paling depan. Merekapun dipaksa menghafalkan KATA ketiga
tanpa bantuan pemegang sabuk hijau yang lain dalam 15 menit. Dan SENPAI Eva
memperbolehkan yang lain beristirahat sejenak. Untunglah mereka cepat hafal.
Sehingga tidak membuat SENPAI Eva makin marah. Akhirnya kami melanjutkan
latihan sampai selesai tanpa ada masalah. Karena kami selesai lebih cepat,
masih tersisa waktu sekitar 45 menit untuk latihan. SENPAI Eva menawarkan kami
untuk belajar KATA kelima. Kamipun menerima tawaran itu. Kapan lagi belajar
KATA selain di sini dan di ranting. Walaupun akan dipelajari di ranting, itupun
akan dipelajari saat kami telah memakai sabuk biru. Kamipun belajar dengan
sungguh-sungguh. Namun sifatt celometanku kumat lagi. “Celometan terus. Untung
gerakan kamu bagus. Kalau nggak, udah saya makan kamu.”, tegur SENPAI Eva. Dan
akupun meminta maaf kepada beliau. Malu sih. Tapi seneng juga. Soalnya tadi
ditegur plus dipuji.
“Karena latihan sudah
selesai, kalian kembali ke tempat awal untuk upacara penutup. Mengerti?”, ujar
SENPAI Eva. “OSU. Mengerti.”, jawab kami serempak. Kemudian kugandeng tangan
Dwiki dan mengajaknya untuk segera kembali ke tempat awal. Diperjalanan
kembali, kami bertemu si ‘kambing’. “Idih. Mesra banget jalannya, sambil
gandeng-gandengan gitu.”, ejeknya. “Iri ya? Kamu kan gak punya kakak.”, balas
Dwiki sambil meng-eratkan pelukannya pada tanganku. Aku hanya tertawa melihat
tingkah mereka yang konyol.
Akhirnya kamipun sampai di
tempat awal. Kamipun berbaris mengikuti perintah para SENPAI. Setelah barisan
kami rapi, para SENPAI menyuruh kami yang berada di pantai untuk mundur sampai
badan kami tertutu air sebatas pusar. Kemudian upacara dimulai. Kami
mengikutinya dengan khidmad. Setelah selesai para SENPAI dan SENSEI berjalan
menuju arah kami. Dan kamipun disiram air laut. Otomatis kami berlari menjauhi
mereka menuju ke laut. Dan kami semua bermain disitu. Mereka juga berkata jika
ada yang ingin pulang, diperbolehkan karena GASHUKU sudah selesai. Hanya
beberapa dari kami yang langsung pulang. Mungkin mereka takut kemalaman karena
waktu sudah menunjukkan pukul 15.00. Sisanya tetap bermain air bersama para
SENPAI dan SENSEI. Kami bermain seperti sahabat. Bukan seperti murid dan
gurunya. Saat matahari sudah mulai turun, kami semua berganti pakaian dan
bergegas pulang. Sebelum aku pulang, aku mencari Dwiki. Namun aku tak
menemukannya. Namun aku bertenu si ‘kambing’ dan aku menanyakan apaka dia
melihat Dwiki. “Dwiki sudah pulang, mas. Tadi dijemput orang tuanya. Nih, dari
Dwiki buat mas. Jangan dihilangin, katanya.”, ujar si ‘kambing’ seraya
memberikan sebuah kalung rantai yang berliontinkan love. Dan ketika kubuka
liontin itu, terdapat ukiran huruf inisial nama kami berdua. M dan D. Akupun
mengucapkan terima kasih padanya. Aku mau jad kakaknya tapi nggak tau umur,
rumah, dan sekolahnya. Dasar bodoh, pikirku. Akupun pulang dengan perasaan
gembira.
VI. PERTEMUAN
KEMBALI YANG TAK TERDUGA
Hari ini tanggal 16 Oktober
2010. Enam bulan sejak pertemuan terakhirku dengan Dwiki. Sekarang aku sudah
menduduki kelas XI IPA 7. Hari sabtu pagi yang mengesalkan. Guru killer, mapel
susah, pulang siang lagi. Huft, untunglah saat jam ke 3, guru mapel Bahasa
Indonesiaku yang aneh nggak datang. Karena aku malas untuk bermain, kuputuskan
untuk pergi ke kantin dan ber-sms ria dengan temanku di seluruh pelosok
negeriku tercinta. Tiba-tiba, kuteringat seseorang. Tak kusadari, ternyata aku melamun.
Melamunkan seseorang yang kurindukan. Dwiki, di mana sekarang kamu? Mas
Murdhani kangen sema Dwiki, lamunku. Saat aku sedang asyik melamun dan
mengingat pengalaman indah bersama Dwiki, tiba-tiba. “Woi, jangan ngelamun
terus. Ntar kesambet tau rasa loe. Ngelamun kaya orang gila. Senyum-senyum
sendiri. Ada apa nih? Apa temanku yang satu ini lagi kasmaran ya?”,teriak Bani
sambil menggodaku. Bani Adam. Sahabat
sekaligus rivalku sejak aku masih di sekolah dasar. Tubuhnya tinggi besar dan
otaknya sangat encer. Tak heran kami sering bertemu di aneka macam lomba. Mulai
dari siswa teladan, olympiade, dan karya ilmiah. “Aduh Bani. Ngagetin aja
kerjaannya. Lagi asyik-asyiknya nih. Malah dipotong. Gak asyik lagi deh.”,
sungutku. “Eh, bentar. Kamu lagi jatuh cinta ya? F I L gitu?”, tanyanya. “F I L?
Apa tuh?”, tanyaku keheranan. “Ya. F I L. Falling In Love. Sama siapa, Mur?”,
tanyanya lagi. “Hehe. Kamu tau aja, Ban. Iya nih. Aku lagi kasmaran. Tapi, Ban.
Eemmmh. Kamu jangan cerita sama siapa-siapa ya! Soalnya aku malu.”, pintaku.
“Kenapa harus malu?”, tanyanya lagi. “Sini aku bisikin!”, ujarku. Akupun
mengatakan bahwa aku jatuh cinta pada seorang anak yang masih bersekolah di
sekolah dasar. Karena dia tahu aku ‘sakit’, maka akupun tak malu menceritakan
bahwa anak itu laki-laki. Tiba-tiba Bani tertawa keras. “Apa, Mur? SD? Nggak
salah tuh kamu. Sukanya brondong gitu.”, ujarnya sambil menahan tawa. “Biarin.
Dia kan brownies. Browndong muanies. Gak kaya kamu pahit.”, elakku. Haha, kami
pun tertawa lepas.
Ngomong-ngomong tentang SD,
Aku sudah lama tak berkunjung. Biasanya seminggu sekali aku pasti ke sana. Kini
sudah 10 bulan sejak terakhir kali aku berkunjung. Kira-kira kapan ya aku bisa
berkunjung lagi. Waktu pulang di sekolahku lebih lama dibandingkan dengan di
SD-ku. Tak terasa sudah waktunya istirahat.
Namun saat bunyi bel istirahat, aku merasakan sesuatu yang aneh. Belnya terlalu
panjang. Kemudian ada pengumuman kalau para siswa dipulangkan lebih awal karena
ada rapat. Hore. Akhirnya aku bisa berkunjung ke SD-ku lagi, pikirku. Aku pun
bergegas untuk pulang dan berkunjung ke Sekolahku dulu. Kurasakan rindu yang
membuncah semakin meluap. Dan akupun yakin akan segera terobati saat aku tiba
di sekolah dasarku.
“Assalamualaikum.”, ucapku
saat memasuki ruang guru sekolah dasarku. “Waalaikumsalam warahmatullah.”,
jawab guruku serempak. Akupun segera bersalaman dengan semua guru disana. “Mat,
kok lama gak kesini?”, tanya Bu Ida, my
english teacher. “Udah lupa ya sama SD-nya?”, goda guruku yang lain. “Boh, ndak
bu. Cuma lagi sibuk aja.”, jawabku. “Iya. Sibuk pacaran.”, goda Pak Badri,
arabiah ustadz. “Sapa cewekna lun? (siapa ceweknya dulu?)”, goda Bu Oda, guru
Bahasa Maduraku. Aku hanya garuk-garuk kepala. Ternyata semuanya tidak berubah.
Selalu ramah. “Ndak bu. Saya sudah lama jomblo. Lagi males pacaran. Hehehe.”,
kilahku. “Tadek se e katerroe apa Mur? Se einceng wa? (nggak ada yang di sukai
apa Mur? Yang di incar gitu?)”, goda Bu Oda lagi. “Nggak lah bu. Lagi males mau
pacaran neh.”, kilahku lagi. “Oh iya, bu. Guru yang lainnya mana? Kok ndak
kelihatan?”, tanyaku. “Lagi ngajar. Samperin gih!”, ujar Bu Ida kepadaku. “Oh.
Thank you so much maam.”, ucapku pada beliau. “You’re welcome, son.”, balasnya.
Akupun mulai singgah dari kelas lantai bawah ke lantai atas untuk bertemu para
guru yang telah memberiku ilmu selama enam tahun. Tepat di kelas terakhir,
kelas terpojok lantai atas, aku masuk menunggu ulangan harian kelas itu
berakhir. “Kelas 4a.”, kubaca tulisan di atas pintu kelas tersebut. Akupun
menunggu di serambi kelas itu. Aku dan teman seangkatanku adalah murid pertama
yang menggunakan kelas itu. Namun dulu kelas yang ada di tingkat atas hanya
kelas pojok itu. Aku kembali mengingat kisahku di sekolah ini. Mempunyai teman
yang baik, rupawan, dan pandai. Aku kembali teringat Almarhum Bustanul Arifin,
teman, shabat, bahkan saudara terbaik yang aku pernah miliki. Selain baik,
rupawan, dan pandai melukis, dia juga sangatlah alim. Layaknya seorang kyai
cilik. Sayang dia harus meninggal di usia yang masih tergolong muda. Terngiang
kembali nasihatnya padaku. Jangan lupa shalat dan hormatilah orang tuamu.
Kembali aku meneteskan air mata.
Terlintas kenangan
bersamanya. Saat bermain, shalat bersama, belajar, bersaing, dan yang membuatku
sesak adalah kenangan saat dia memelukku dan mengucapkan selamat atas
keberhasilanku menyabet piala gubernur di acara olympiade matematika dulu.
Tiba-tiba ada yang menjulurkan tissue padaku. “Sudahlah, jangan menangisi orang
yang
sudah wafat. Kasihan
arwahnya pasti sedih melihat kamu seperti ini. Nih, seka air mata sama ingus
kamu!”, ujar Bu Nia. Guruku yang satu ini sangatlah perhatian kepada muridnya.
“Ayik (panggilan akrab Arif) sudah tenang di sana. Jangan kamu buat dia menjadi
sedih!”, nasihat beliau. Beliau tidak pernah berubah. Selalu tahu apa yang
kupikirkan. “Sudah dulu ya. Bu Nia mau ngajar di kelas bawah dulu. Jangan
cengeng. Kamu cowok. Oke?”, ucap beliau memberi semangat kepadaku. “Rebes bu.”,
jawabku dengan semangat 45.
Akupun berjalan ke pojok
serambi yang menghadap ke jalan raya. Aku termenung melihat banyak perubahan
sejak aku meninggalkan sekolah ini untuk mengejar ilmu di jenjang yang lebih
tinggi. Tiba-tiba kurasakan sepasang tangan mungil memeluk pinggangku dari
belakang. Terlintas bayangan wajah Dwiki di pikiranku. Namun ku tepis bayangan
itu karena tak mungkin Dwiki bersekolah disini. Lagi pula dari kelas satu
sampai tiga tidak kulihat Dwiki di sana. Namun pelukan ini mirip dengan pelukan
yang pertama kali aku rasakan dari dia. Apakah mungkin ini benar benar Dwiki?,
pikirku. Akupun menoleh dan kulihat sesosok anak kecil yang memelukku sambil
menundukkan wajahnya. Seolah-olah ingin berkata, hayo tebak, siapa aku. Aku pun
makin penasaran dengan wajah anak ini. Saat aku telah benar benar memalikkan
badan, kulihat dia meraih tanganku dan meletakkan tanganku di pipinya dan
akhirnya aku dapat melihat dengan jelas siapa anak kecil itu. Walau aku tak
percaya dan sedikit terkejut mengetahuinya. Dia Dwiki. Seorang anak kecil yang
aku sukai. Spontan akupun memeluknya dengan erat. Karena aku tersiksa. Tersiksa
karena rinduku padanya baru tersalurkan setelah enam bulan menunggu. Tiba tiba
aku mendengar isakan tangis. Setelah kulirik, ternyata Dwiki menangis. “Dwiki
kenapa nangis lagi? Kan udah janji sama Mas Murdhani nggak mau nangis lagi?”,
tanyaku padanya. “Dwiki nangis gara gara Mas Murdhani tau. Mas Murdhani
jahat.”, jawabnya. “Lho kok gara gara Mas Murdhani? Memangnya Mas Murdhani
punya salah apa sama Dwiki?”, tanyaku keheranan. “Mas Murdhani udah jarang
kesini lagi. Padahal setiap hari Dwiki pulang belakangan cuma buat nunggu Mas
Murdhani. Tapi Mas Murdhani gak pernah kesini lagi. Dwiki kangen sama Mas
Murdhani tau.”, terangnya. Kuhapus air matanya saat itu juga dengan tissu yang
tadi kupakai untuk menghapus air mataku.
Setelah dia berhenti
menangis, aku mulai menjelaskan mengapa sudah 10 bulan aku tidak kesini lagi.
Semua karena tugas sekolah yang terlalu banyak dan waktu pulangku yang lebih
siang. Akupun bercerita bahwa baru kali ini aku tahu bahwa dia bersekolah
disini. Untungnya dia mau mengerti. “Mas, masih nyimpen kalung yang Dwiki kasih
gak?”, tanyanya. “Masih kok. Malah setiap hari Mas Murdhani bawa. Nih!”, ujarku
sambil mengeluarkan kalung yang berliontin perak dari balik pakaianku. Dia
terlihat senang sekali. Diapun mengajak aku duduk berselonjor di sana. Dia duduk
dia atas pahaku. Dia mengeluarkan kalung yang sama dari balik pakaiannya.
“Hehe. Ternyata kita sehati ya, Ki?”, godaku. Dia hanya tersenyum simpul
kepadaku. Kemudian kutanyakan kelasnya dimana. Karena dari tadi aku tak
melihatnya di kelas yang aku kunjungi. Ternyata di kelas 4a. Kelas yang tadi
belum sempat aku masuki karena sedang ulangan harian. Ternyata tebakanku
sewaktu awal bertemu dengannya salah total. Ternyata saat awal bertemu, dia
sudah berumur 9 tahun dan duduk di kelas 3 sekolah dasar. Ternyata dia memiliki
wajah yang kata orang baby face. “Ehem. Jangan pacaran terus, mas! Sama anak
kecil lagi.”, tegur seorang anak kecil yang kini ku ketahui adalah teman
sekelas Dwiki. “Apaan sih kamu? Aku sama Mas Murdhani gak pacaran kok. Tanya
aja sama Mas Murdhani!”, kilah Dwiki. Aku hanya garuk garuk kepala mendengar
obrolan anak kecil ini. Sebenarnya aku sangat senang diolok olok sebagai pacar
Dwiki. Karena menjadi pacar Dwiki adalah keinginan terbesarku. “Mas Murdhani
pacaran kan sama Dwiki?”, tanya anak itu lagi. “Nggak lah dek.”, jawabku. “Tapi
kenapa tadi peluk-pelukan gitu? Trus sama sama nangis. Punya kalung yang sama
lagi.”, tanyanya tanpa bernafas. “Dwiki tu adeknya Mas Murdhani. Sudah hampir
satu tahun ndak ketemu.”, jawabku dengan sabar. “ohhh. Gitu toh. Yaudah yuk.”,
ujarnya sambil mengajak teman temannya pergi ke kantin. “Eh, mas. Mulai
sekarang Mas Murdhani harus ke sini setiap pulang sekolah!”, pinta Dwiki. “Ya.
Tapi kalau Mas Murdhani gak bisa gimana?”, tanyaku. “Ya Mas Murdhani SMS Dwiki aja.
Sini HPnya, biar tak simpankan nomer HPnya Dwiki.”, ujarnya. Akupun memberikan
HPku padanya. Dan dia menyimpan nomer HPnya di HPku. Kemudian bel masuk
berbunyi. Diapun segera kembali ke kelasnya.
Dua rasa rinduku terobati
sudah. Aku menunggu waktu shalat dhuhur sambil membeli makanan di warung
langgananku saat aku masih bersekolah di sini. Dan penjualnyapun masih tetap
mengingatku. Beliau terlihat mulai beruban. Namun masih terpancar aura
kesabaran yang sangat terang dari wajahnya. Tepat setelah selesai meyantap
makananku terdengar suara adzan dari masjid yang berada di lingkungan
sekolahku. Para siswa-siswi SD-ku mulai keluar kelas untuk melaksanakan shalat
dhuhur berjamaah. Akupun segera menyusul setelah membayar makananku. Akupun
segera berwudlu di tempat para siswa berwudlu. Tempat ini juga sudah berubah.
Di tempat ini jugalah aku memiliki kenangan bersama Almarhum Arif. Dulu, aku
selalu mengerjainya. Kuambil kopiahnya dan kuletakkan di tempat yang tinggi
karena dia bertubuh pendek. Dan setelah itu dia pasti akan meminta aku
mengambilkannya dengan lemah lembut tanpa ada sedikitpun amarah. Kalau sudah
begitu aku pasti akan mengembalikannya karena aku tak tega. Setelah selesai
berwudlu akupun segera menuju tempat dimana dulu aku selalu shalat dhuha dan
dhuhur berjamaah. Entah karena keberuntungan atau apa, kelas 4 selalu shalat di
tempat yang sama. Akhirnya aku duduk di sebelah Dwiki. Dan kamipun menunaikan
rukun Islam yang ke dua. Yaitu melaksanakan shalat. Setelah selesai berdzikir,
aku segera turun dari masjid dan kuputuskan untuk pulang walaupun SD-ku masih
belum pulang. Namun, saat aku akan menghidupkan sepeda motorku, tangan Dwiki
mencegahku untuk menghidupkannya. “Jangan pulang dulu, mas. Tungguin Dwiki
sampai pulang ya!”, pintanya. Ku hembuskan udara dari paru-paruku dengan
sedikit mendengus. Namun aku tak kuasa menolak permintaannya. Akupun
menganggukkan kepalaku. Kami berdua segera menuju kelasnya untuk mengambil uang
saku Dwiki yang diletakkan di dalam tasnya. Kami pun mulai bercerita tentang orang
yang pernah kami sukai sambil membeli makanan ringan di koperasi SD-ku. Aku dan
dia menceritakan semua orang yang aku dan dia sukai. Namun tentu saja aku tak
menceritakan tentang aku yang menyukainya. Lama kami bercerita hingga bel
masukpun berbunyi. Akhirnya dia masuk kelas dan aku hanya duduk menunggu hingga
dia pulang. 40 menit kemudian semua siswa keluar kelas karena bel pulang telah
berbunyi. Dwiki langsung menghampiri aku yang menunggunya. “Hehe. Lama
nunggunya ya mas?”, tanyanya. “Gak kok. Cuma kaki mas udah berakar.”, ujarku.
“Kamu mau langsung pulang atau gimana?”, tanyaku. “Aku boleh minta anter gak,
mas? Soalnya ayahku lagi di kantornya.”, tanyanya. “Boleh. Tapi ada
syaratnya.”, ujarku. “Apa, mas?”, tanyanya lagi. “Minta nomer HP kamu sama kamu
harus cium pipi Mas Murdhani. Gimana, masih mau?”, ujarku. “Iya dah. Catet nih
nomer HP Dwiki!”, ujarnya samil menyodorkan HPnya. Kucatat nomer Hpnya di Hpku.
“Trus. Syarat yang kedua gimana?”, tanyaku. “Dwiki janji Hari Selasa ya, mas.”,
ujarnya.akupun menyetujuinya. Akhirnya ku antarkan dia ke kantor ayahnya.
VII FIRST
KISS
Ku tepati janjiku pada Dwiki
untuk selalu menemaninya menunggu ayahnya sepulang sekolah di SD-ku. Kegiatan
itu kulakukan setiap hari masuk sekolah kecuali Hari Jum’at, karena pada hari
itu aku harus segera pulang untuk melaksanakan shalat jum’at. Aku selalu lupa
menagih janjinya untuk mencium pipiku saat bertemu dengannya karena terlalu
asyik mengobrol. Aku selalu ingat setelah sampai di rumah. Ku coba menyetel alarm
pengingat pada HPku agar besok tak lupa.
Hari itu Hari Sabtu yang
cerah. “Ki, mau kemana?”, tanyaku saat dia berdiri dari tempat duduk kami. “Mau
ke kelas dulu. Ada yang ketinggalan.”, terangnya. “Ya udah. Bareng aja yuk.”,
ajakku. “Oke. Makasih udah mau nemenin Dwiki ya mas.”, ujarnya. Saat sampai di
kelasnya dia mengambil buku tulisnya yang tertinggal di kolong mejanya. Ku
dekati dia. Kemudian aku berusaha menyamakan tinggi tubuhku dengannya. Aku
berdiri menggunakan lutut. Dia masih belum menyadari aku berada tepat di
belakangnya. Kuperhatikan tubuhnya. Ternyata dia sangat mirip dengan almarhum
Dhana, kembaranku. Tanpa sadar kupeluk tubuhnya dari belakang. Kurasakan dia
terkejut. Namun dia membiarkan aku memeluknya dari belakang. “Dhan, apa kamu benar-benar
ada di dalam tubuhnya?”, ujarku lirih. Kemudian kurasakan tangannya memegang
tanganku dengan lembut. “Sudahlah mas. Jangan ingat kembaran Mas Murdhani lagi.
Kan sekarang sudah ada Dwiki.”, ujarnya. Ada yang gak bisa kamu berikan seperti
apa yang dia pernah beri kepadaku, ujarku dalam hati. “Kenapa? Kayanya mas
masih ragu sama Dwiki.”, ujarnya sambil membalikkan badannya. Alhasil kami
berpelukan berhadapan. Tiba-tiba dia mencium pipiku. Aku yang terkejut, reflek
menarik tanganku mengelus bekas ciumannya. Kurasakan wajahku memerah dan
memanas. Akupun tertunduk malu.
Tiba-tiba tangan kirinya
bergelayut di leherku dan tangan kanannya diletakkan di dadaku. Kutatap matanya
yang sayu. Tanganku kuletakkan di lehernya dan di punggungnya. Tanpa disadari,
kami berdua saling menarik badan yang satu dan yang lainnya. Dia mulai sedikit
memiringkan. Aku pun demikian. Kulihat dia memejamkan matanya. Kemudian akupun
melakukan hal yang sama. Kurasakan lembutnya bibirnya menyentuh bibirku.
Awalnya hanya ciuman tanpa ada ‘bumbu’, alias saling menempelkan bibir saja.
Kumabil inisiatif untuk memberi ‘bumbu’ pada first kiss ini. Kutarik kepalaku
menjauhinya. Kemudian kudekatkan lagi sambil sedikit membuka mulutku. Diapun
menirukan apa yang aku lakukan. Kami berciuman dengan ‘bumbu’ pertama sekitar
30 detik. Kemudian aku ingin menambah ‘bumbu’nya. Aku mulai menghisap bibirnya
yang mungil dan lembut itu. Dia agak mendesah seperti menikmati ciumanku.
Merasa diberi jalan. Akupun mulai menggigit kecil bibirnya. Dia semakin
mendesah. Namun tertahan. Aku baru ingat kalau pintu belum ditutup. Kutarik
badanku menjauhinya. Kulihat ada ekspresi kecewa di wajahnya. “Tunggu. Mas mau
nutup pintu dulu. Dwiki mau kita ketahuan seperti tadi? Nggak kan?”, ujarku.
Kemudian kututup pintu kelas itu dan ku kunci pintu itu. Aku berbalik menuju ke
arahnya. Namun aku melihatnya sudah berpindah tempat. Dia duduk bersender di
bawah papan tulis yang bersih. Kemudian aku duduk berselonjor di sebelahnya.
Aku ingin melanjutkan kejadian barusan. Namun aku malu untuk mengatakannya.
Lagi pula posisi kami kurang pas untuk berciuman. Tiba-tiba dia berdiri dan
duduk di atas pahaku. Kemudian dia menggeser badannya mendekatiku. Kurasakan
kemaluannya menyentuh kemaluanku. Spontan darahku berdesir kencang. Kurasakan
kemaluannya telah berdiri tegak. Kudorong pantatnya ke kemaluanku. Ku gesekkan
kemaluanku ke kemaluannya. Dia kembali mendesah tertahan. Begitu pula aku. Aku
melihatnya menggigit bibir bawahnya. Aku au dia sangat menikmatinya. Karena
akupun merasakan hal yang sama. Kudekatkan bibirku ke bibirnya sambil terus
menggesek kemaluan kami yang masih dibungkus celana. Kumulai dari awal lagi. Ku
tutup rapat bibirku. Begitupun dia.
Kemudian kubuka perlahan.
Dia mulai menirukan apa yang aku lakukan. Aku mulai menghisap dan menggigit
kecil bibirnya. Terdengar desahan yang agak tertahan. Mendengarnya membuatku
semakin bernafsu padanya. Ku ambil inisiatf untuk menambah bumbu keempat. Yaitu
memasukkan lidah ke dalam mulutnya. Dia mencoba melakukannya juga. Alhasil lidah
kami saling beradu. Itu membuatku semakin semangat memasukkan lidahku ke dalam
mulutnya. Terakhir, kurasakan dia mengulum lidahku. Aku kaget namun sanagt
senang. Akupun berusaha mengimbanginya kukulum dan kuhisap bibir dan lidahnya
itu. Kami melakukannya selama 1 jam penuh. Aku pun kaget mengapa aku bisa
seperti itu. Sebenarnya aku ingin meakukan suatu hal yang lebih jauh. Namun aku
sadar ini bukan tempat yang cocok. Ku akhiri first kiss ini dengan menciumnya
lagi. “Dwiki udah pernah ciuman ya?”, tanyaku. “Nggak kok. Baru sama Mas
Murdhani aja.”, jawabnya. “Tapi kok udah pinter? Belajar dari siapa?”, tanyaku
lagi. “Ndak tau ya, mas. Insting mungkin. Kan Dwiki belajar dari Mas Murdani
tadi. Hehehe.”, jawabnya. “Tapi yang terakhir kan Dwiki yang ngajarin Mas
Murdhani.”, ujarku. “iya mas. Dwiki tahu kok maksud mas. Yang terakhir itu
dwiki pernah lihat teman Dwiki gitu. Terus dia ngasih tau caranya. Terus Dwiki
Cuma pengen ngelakuin itu sama Mas Murdhani. Soalnya Dwiki sayang sama Mas
Murdhani”, ujarnya. Wih wih. Baru kelas 4 SD saja udah tau gitu. Dulu aku mah
gak tahu apa-apa waktu seumuran dia, pikirku. “Ya udah Nan. Keluar yuk. Takut
ayahmu datang. Trus bingung nyariin kamu.”, ajakku. “Ya udah yuk.” Katanya.
Kamipun keluar sambil bersenda gurau. Seperti tidak pernah terjadi apa-apa di
antara kami. Dan kamipun sering melakukannya saat aku menemaninya. Minimal
seminggu sekali aku mengulangi kejadian itu. Dan Dwiki dengan senang hati
melayaniku. Terkadang dia yang mengajakku. Namun aku masih tidak berani untuk
melakukan hal yang lebih jauh. Walau nggak ada pernyataan yang real, tapi aku
sudah menganggapnya adik sekaligus pacar. Seperti hubungan antara aku dan
Dhana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar