Saya dulu punya seorang teman baik, namanya Toni. Kami
sudah berteman sejak SMP. Sepintas, hubungan kami terlihat seperti hubungan
kakak-adik. Persahabatan indah di antara kami harus berakhir ketika Toni
melakukan sebuah kesalahan yang tak terlupakan. Hal itu terjadi ketika kami
baru saja tamat SMU. Kegembiraan kami diluapkan dengan acara kemping pribadi, hanya
ada Toni dan saya. Semula, semua berjalan dengan baik dan menyenangkan; saya
amat menikmati perjalanan kempingku bersamanya. Tapi tiba-tiba Toni berubah
menjadi seseorang yang sama sekali tak kukenali.
Semua bermula pada malam kedua acara kemping kami. Api
unggun yang kami pasang masih berkobar-kobar, mengusir hewan malam yang mungkin
dapat mengancam keselamatan kami. Berhubung malam itu agak mendung dan dingin,
kami memutuskan untuk berdiam diri di dalam kemah, sambil menunggu waktu untuk
tidur.
Kami telah berada di dalam kantung tidur kami
masing-masing. Dan untuk melewatkan malam, kami berbincang-bincang tentang
banyak hal. Seharusnya saya sudah curiga sejak semula, namun tak pernah
terbayang sebelumnya kalau sahabat baikku itu akan tega melakukan hal terkutuk
itu..
"Kamu masih belum naksir cewek?" tanya Toni
tiba-tiba.
"Belum, tuh. Gak ada yang gue suka, sih,"
jawabku sambil lalu.
"Jangan-jangan loe homo," katanya smabil
tertawa lepas.
"Sialan loe," jawabku, tertawa juga.
"Bukan lagi. Saya 100% straight. Gua cuma belum
siap aja. Miara pacar sama mahalnya seperti miara istri."
"Gue juga belum siap punya pacar cewek,"
jawabnya.
"Siapa yang nanya," tawaku.
Tiba-tiba, Toni bangun dan dudduk sambil memandangiku
lekat-lekat. Padangannya terasa aneh dan sangat tajam, saya sampai merasa salah
tingkah.
"Loe pernah liat film porno homo?" tanyanya
tiba-tiba.
Pertanyaannya sangat aneh dan tak nyambung dengan
topik pacaran yangs edang kami bahas. Tapi kujawab juga.
"Belum. Emang kenapa? Loe udah pernah liat?"
tanyaku.
"Udah," jawabnya tanpa malu.
"Gile banget," sahutku, terduduk di kantung
tidurku.
"Trus gimana? Maksud gue, loe bisa terangsang
liat cowok homoan?" tanyaku terkejut.
"Bisa. Loe mesti liat filmnya," katanya
bangga.
"Cowoknya ganteng sekali, badannya juga oke, Dan
pas dingentotin, erangan cowok terdengar lebih merangsang. Gue sampe ngecret
lima kali pas liat tuh film."
"Gawat loe, bisa jadi homo beneran loe,"
saya merespon.
"Dan gue jadi pengen nyobain. Keliatannya enak
sekali," jawabnya tiba-tiba.
"Lobang pantat cowok lebih ketat dan lebih sip
dibanding memek. Para cowok homo itu nampak amat menikmati hubungan homoseks
mereka," lanjutnya.
"Ah, loe mulai ngaco. Udah, ah, Gue ngantuk.
Pengen bobok nih," alasanku, membaringkan badanku.
Saya bingung sekali kenapa tiba-tiba Toni mengatakan
hal-hal yang tak amsuk akal. Padahal sebelumnya dia tak pernah begitu.
Kubaringkan badanku menghadap arah yang berlawanan; saya merasa malas memandang
mukanya. Untuk beberapa saat, Toni terdiam. Kukira dia akhirnya memutuskan
untuk tidur, tapi saya salah!
Saya tak tahu berapa lama waktu telah berlalu, tapi
tiba-tiba saya merasa seseorang memelukku erat-erat dari belakang. Dengan
panik, saya mencoba untuk melepaskan diri tapi tiba-tiba orang itu menempelkan
sehelai saputangan basah di hidungku. Dia sedang mencoba untuk membiusku! Namun
sulit sekali untuk tidak menghirupnya, apalagi dalam keadaan panik. Dan begitu
saya menghirupnya, kontan tubuhku terasa sangat ringan dan tak berdaya. Setelah
yakin bahwa saya lemas, orang itu pun membalikkan badanku agar saya menghadap
wajahnya. Astaga, dia Toni! Mataku berkaca-kaca, saya ingin bertanya, 'Kenapa
kau lakukan semua ini padaku, Toni?'. Namun otot mulutku tak dapat kugerakkan,
kaku semua. Kudengar Toni berkata.
"Maafin gue. Gue terpaksa melakukannya. Selama
ini, gue telah telanjur jatuh cinta ama loe. Gue pengen loe menjadi pacar gue.
Gue pengen memiliki loe."
Dan dengan itu, Toni memaksakan sebuah ciuman padaku.
Saya berusaha untuk melawannya, tapi apa dayaku. Perasaan mual menguasaiku,
ingin rasanya saya muntah. Namun, Toni terus menciumku. Lidahnya memaksa masuk
dan bermain-main di dalam mulutku. Kurasakan air liurnya menetes masuk dan
berbaur denganku.
"Gue sayang ama loe, gue cinta loe," katanya
di sela-sela ciumannya. Tangannya yang kuat meraba-raba wajahku dan turun ke
pinggang.
Begitu sampai di sana, tangannya menyelip masuk dan
berusaha untuk membuka resleting celana jeanku. Toni ingin menelanjangiku! Rasa
panik melanda diriku, saya tahu apa yang dia inginkan. Dia ingin bersetubuh
denganku seperti adegan film gay porno yang sering dia tonton. Apa yang dapat
kulakukan? Dengan pasrah, saya hanya dapat membiarkan Toni melepas celana
jeansku dengan leluasa. Hal yang sama dilakukannya pada celana dalam putihku.
Perkakasku yang masih lemas menyembul keluar dan
berbaring di sisi pahaku, seakan memohon untuk tidak diusik. Tapi Toni memang
seorang binatang. Perkakasku langsung digenggam dan dikocok-kocok. Saya harus
mengakui bahwa kocokannya terasa nikmat, tapi saya kembali mengingatkan diriku
bahwa saya sedang diperkosa. Namun perkakas punya pikirannya sendiri. Tanpa
bisa dikendalikan, perkakasku mulai berdiri. Dan Toni langsung menyedotnya!
Saya tak mengira dia akan senekad itu. Hisapannya sungguh enak dan bertenaga,
saya sampai kelojotan dibuatnya. Berhubung mulutku kaku, saya hanya dapat
mengeluarkan bunyi napas saja.
"Hhoohh.. Hhoosshh.. Hhoohh.. Hhoohh.." Tapi
sebagian diriku masih berjuang untuk melawan kenikmatan terlarang itu.
Tiba-tiba Toni melepaskan sedotannya, dan berdiri.
Tanpa malu sedikit pun, Toni menelanjangi tubuhnya tepat di hadapanku. Toni
memang bertubuh tegap dan berdada bidang, berkat fitness. Dan wajahnya memang
tampan. Perkakasnya menjulang tinggi di hadapanku, berdenyut-denyut. Nampak
kepala perkakasnya berkilauan, basah dengan precum. Dia terangsang sekali
melihatku terbaring tak berdaya, hampir telanjang. Menuntaskan pekerjaannya,
kaosku pun dilepaskan secara paksa. Kini saya telah benar-benar telanjang. Toni
berkata lagi.
"Loe bikin gue terangsang banget, liat nih palkon
(kepala perkakas) gue, basah ama precum. Gue pengen bercinta ama loe."
Perkakasnya yang sudah basah dengan precum
dipukul-pukulkan ke wajahku, seolah ingin memperkenalkanku dengan perkakasnya
terlebih dahulu sebelum dia memuali penetrasi. Seakan saya hanya seonggok
daging, Toni siap menyodomiku. Berlutut di depan kakiku, diangkatnya kedua
kakiku tinggi-tinggi. Anusku yang berkedut-kedut pun terekspos.
Toni memandangnya dengan mata penuh nafsu birahi,
lidahnya menjilati bibir atasnya. Kemudian, kakiku diletakkan di atas kedua
bahunya yang bidang. Astaga, dia bahkan tak mau repot-repot memakai kondom!
Saya takut sekali, tapi tak ada yang dapat menolongku. Mulutku tak dapat
kugerakkan, begitu pula dengan anggota tubuhku yang lain. Dan tak ada seorang pun
yang berada di sekitar wilayah kemah kami. Sudah takdirku untuk diperkosa oleh
sahabat baikku sendiri!
Tanpa ampun, Toni menghujamkan perkakas bajanya tepat
ke dalam lubang anusku yang masih perjaka.
AAARRGGHH..!!" teriakku dalam hati.
Hilang sudah keperjakaanku. Sungguh sakit sekali
rasanya. Lubang anusku yang ketat seakan sobek diterjang perkakas sebesar perkakas
Toni. Toni mengerang saat perkakasnya sudah terbenam seluruhnya.
"AARRGGHH..!!" Ditatapnya mataku sambil
berkata.
"Lobang loe enak sekali. Akhirnya, loe milik gue.
Oohh.. Ngentot.. Aahh.. Gue lagi ngentotin loe.. Aarrghh.."
Hancur hatiku mendengarnya berkata seperti itu.
Sungguh tak kusangka Toni bakal setega itu terhadapku. Saat dia menarik perkakasnya
mundur, saya kembali mengerang dalam hati dan hanya mampu mengeluarkan desahan
napas kesakitan.
"Oohh.. Hhohh.." Tiba-tiba, Toni kembali
mendorong perkakasnya masuk.
"AAARGHH!!"
Tarik lagi, dorong lagi, tarik, dorong, tarik.. Toni
mulai menyodomiku dengan ritme tetap. Semakin lama, gerakannya semakin cepat.
Gerakan otot pinggulnya beserta perkakasnya seperti mesin pemompa, yang terus
memompa pantatku tanpa ampun dan tanpa rasa kasihan. Nafsu telah membutakan
matanya. Air mataku mengalir dengan deras. Sebagian dikarenakan oleh rasa sakit
yang amat teramat sangat, dan sisanya karena rasa sakit hati. Toni telah
merenggut sebagian hidupku. Saya tak lagi utuh.
"ARGH! UGH! ARGH!" erang Toni terus menerus
seirama dengan sodokan perkakasnya.
Saya tak tahu sudah berapa lama dia memperkosaku, tapi
dia memang tahan banting. Tiba-tiba perkakasnya mendorong sesuatu di dalam
tubuhku. Kontan, perkakasku yang masih belepotan ludah Toni bangkit dari
tidurnya dan berdiri ngaceng bak tiang bendera. Gelombang nikmat menyerang
tubuhku seolah-olah saya sedang mengalami orgasme.
"Astaga, apa itu? Kenapa saya terangsang? Tidak
mungkin!" pikirku. Namun kembali Toni mengenai bagian organ dalamku itu,
dan gelombang kenikmatan kedua mendera diriku. Saya sedang dipaksa untuk
menikmati perkosaan homo!
Wajah Toni berseri-seri melihat perkakasku tegang.
Langsung saja perkakasku dipegang-pegang. Kembali dia mulai mencoli perkakasku.
Dengan tekad penuh, dia ingin membuatku ngecret sebagai tanda bahwa saya
miliknya. Walaupun saya mencoba melawan, namun gelombang kenikmatannya semakin
bertambah besar. Dan pelan-pelan sodokan perkakas Toni memang terasa nikmat
sekali. Begitu pula dengan kehangatan tangannya yang sedang membungkus perkakasku.
"Astaga, saya tertular kehomoan-nya??" Namun
saya tak kuasa menahannya. Benteng pertahananku runtuh. Saya membiarkan
kenikmatan itu menjalari dan menguasai tubuhku.
Toni mempererat genggamannya pada perkakasku, wajahnya
menyeringai kesakitan. Napasnya memburu-buru, dan tiba-tiba..
"AARRGGHH..!!"
CRROTT!! CCROOTT!! CCROOTT!! Toni ngecret!! Pejuhnya
ditembakkan sembarangan di dalam anusku, membanjiri bagian dalam perutku.
Terasa sekali rasa panas yang membakar perutu. Andai pria bisa hamil, saya
pasti sudah hamil sekarang! Namun mendadak saya pun merasa bahwa saya akan
segera mencapai klimaks-ku. Pejuhku memaksa naik dan akhirnya tersembur keluar
lewat lubang perkakasku.
CCROOT!! CROOTT!! CCRROOTT!! Berhubung saya tak dapat
bersuara, maka hanya desahan napasku yang terdengar.
"Hhohh!! Hhoohh!! Hhoohh!! Hhoohh!!" Tubuh
kami terguncang-guncang, mengejang-ngejang seperti orang kesakitan. Kenikmatan
orgasme menguasai kami berdua. Bahkan saya pun tunduk.
"AARRGGHH..!! AARRGGHH!! UUGGHH!!" erang
Toni, terus menghentak-hentakkan pinggulnya. Dan akhirnya semuanya berakhir.
Toni mengeluarkan perkakasnya dan terasa pejuhnya
mengalir keluar dari lubang pantatku yang menganga lebar. Bercak darah dan
kotoranku mengotori perkakasnya yang mulai mengempis. Dengan sehelai tissue,
Toni sibuk membersihkan kemaluannya, sementara saya hanya terbaring di situ,
menatap langit-langit kemah kami dengan pandangan kosong. Dapat kurasakan
pejuhnya menyebar ke dalam perutku. Tubuhku mulai menyerap benih-benihnya itu.
Keesokkan paginya, tubuhku mulai dapat kugerakkan,
meskipun agak terasa sakit dan lemas. Toni masih berusaha untuk merayuku dan
ingin kembali berhubungan homoseks denganku, namun kutolak dengan tegas. Entah
kenapa, Toni tak lagi menggunakan obat bius yang dicurinya dari lemari obat
ayahnya. Ayah Toni memang seorang dokter, jadi mudah bagi Toni untuk mencuri
obat bius.
Kami bertengkar hebat. Saya memakinya karena telah
tega memperkosaku sedangkan dia membela diri bahwa dia melakukannya atas dasar
cinta. Hubungan kami berakhir sampai di situ. Belakangan kudengar bahwa dia
pindah ke luar kota sendirian. Mungkin dia malu denganku dan merasa bersalah.
Dalam hatiku, saya amat sedih kehilangannya. Saya mungkin telah memaafkannya,
tapi kesalahnnya tak dapat kulupakan seumur hidupku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar