Malam itu hujan turun di Bandung. Aku masih sibuk
membuat laporan kegiatan Pekan Muharram kemarin. Karena komputerku rusak jadi
aku mau tak mau harus bermalam di sekretariat rohis. Jam sudah menunjukkan
pukul sepuluh saat pintu sekre dibuka oleh seseorang. Sesosok tubuh agak basah
di pundak nampak di ambang pintu.
"Eh, ki. Lembur?" Tanya ikhwan tinggi besar
itu.
"Ya nih Mas Faiz. Bikin laporan acara
kemarin." Mas Faiz, ketua bidang humas di rohis kampusku itu masih sibuk
membereskan rambutnya yang basah berantakan.
Mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi itu beda dua tahun
denganku. Ia baru saja diangkat jadi Ketua bidang.
"Oh, ngomong-ngomong afwan ana numpang neduh ya
akh. Baru pulang dari warnet eh malah kehujanan waktu mau ke kostan,"
jawabnya sambil membuka kemeja kotak-kotaknya sehingga ia hanya mengenakan kaos
oblong putih yang agak kecil dan pas dengan badannya.Kemudian ia melangkah
menuju lemari penyimpanan alat-alat sholat inventaris sekre.
"Ya gak apa-apa. enak malah ada yang
nemenin," jawabku sambil tetap memperhatikan lelaki berjanggut tipis itu
dari sudut mataku. Ia mengambil sarung dari lemari kemudian pergi ke luar,
kurasa ke toilet. Tak lama kemudian ia kembali lagi sudah memakai sarung dan
menjinjing celananya yang basah. Lantas ia mengambil sajadah dan sholat Isya.
Kiblat tepat searah denganku menghadap. Sehingga dari
belakang aku bisa melihat jelas postur Kakak tingkatku itu. Tubuhnya well-built
karena aktif berlatih karate. Kebetulan sarung yang dikenakan Mas Faiz berwarna
putih. Jadi ketika ia sedang rukuk atau sujud dapat kupastikan dibalik
sarungnya itu ia hanya mengenakan celana dalam saja. Kulihat jelas dari garis
yang dibentuk oleh tepian celana dalamnya. Yang juga menunjukkan begitu besar
pantatnya itu.
Ah, jujur sejak aku pertama melihatnya aku langsung
'suka' padanya. Walaupun aku tahu ini aneh. Kukira rasa suka itu hanya sebatas
rasa kagum saja karena melihatnya begitu hebat mengisi sebuah acara di
fakultas. Wibawa dan pembawaannya yang tegas namun tetap sopan. Tapi
lama-kelamaan rasa sukaku itu berubah menjadi lebih dari itu. Semuanya berawal
dari mimpiku waktu lalu. Aku bermimpi bersetubuh dengannya hingga ketika aku
bangun kudapatkan celanaku basah oleh air mani. Mimpi itu selalu membayangiku
dan semakin jelas saat Mas Faiz benar-benar ada di depanku.
"Masih lama Ki?" Suara bariton Mas Faiz
menyadarkanku.
"Masih kayaknya mau sekalian nginep di sini.
Lagipula besok enggak ada kuliah pagi," jawabku sambil menatap wajah teduh
Mas Faiz. Alis tebalnya semakin membuat tatapan mata itu begitu tajam namun
lembut. Rahangnya yang tegas dihiasi jenggotnya yang tipis. Bibirnya tipis dan
merah muda, kurasa karena terjaga dari rokok dan minuman keras.
"Oh bagus, sekalian ana juga mau numpang nginep
di sini. Kayaknya hujan masih lama redanya," ujarnya sambil menepuk
pundakku.
"Denger-denger Mas Faiz mau nikah ya?"
Kulihat sekilas wajah Mas Faiz kaget. "Beritanya udah nyebar lho Mas. Mas
Faiz kemarin habis dari Cirebon karena baru khitbah-an kan ya?"
"Wah udah nyebar ya?" Mas Faiz tersenyum
yang otomatis memamerkan lesung pipitnya. "Ya nih insha Allah, minta
do'anya aja semoga dilancarkan."
"Amiin. Wah ngomong-ngomong banyak yang bakal
patah hati nih," ujarku sambil terus mengetik.
"Ah bisa aja," ada semu merah muncul di
pipinya. "Ana tidur duluan ya. Capek, tadi di jalan enggak sempet
tidur." Mas Faiz melangkah kembali ke tempatnya sholat tadi lalu berbaring
di atas sajadah yang ia pakai saat sholat. Tanpa sajadah pun tempat itu sudah
hangat karena sudah dilapisi karpet tebal.
Aku melanjutkan mengetik laporan hingga jari-jariku
terhenti karena mendengar sesuatu.
"Ah...," tiba-tiba Mas Faiz mendesah pelan.
Matanya masih terpejam. Kurasa ia mengigau."Dik Sri, ayo Dik..." Ah
ia sedang mengigau tentang calon istrinya. Mbak Sri Puspita, pasti ketua bidang
keputrian itu yang barusan dipanggil Dik Sri oleh Mas Faiz. Kabarnya memang
kakak tingkatku itu yang dilamar Mas Faiz.
Kini perhatianku tertuju kepada sesuatu yang lain.
Sarung Mas Faiz tersingkap saat ia menggaruk pahanya dan kulihat rambut halus
tumbuh lebat di betisnya yang putih. Jantungku berdegup kencang saat sarungnya
kembali tersingkap lebih atas dan memperlihatkan pahanya yang tak kalah putih
dan tak kalah rimbun dengan rambut-rambut halus.
Perlahan aku melangkah mencari sudut yang tepat
sehingga aku bisa melihat celana dalamnya. Selama beberapa menit posisi kaki
Mas Faiz yang terbuka memberikanku kesempatan melihat daerah yang sulit
biasanya kulihat. Tentu saja, ia sangat menjaga auratnya. Bahkan melihatnya
telanjang dada atau pakai celana pendek saja tidak mungkin.
Mas Faiz meluruskan kakinya kembali. Ada sedikit rasa
kecewa namun rasa kecewa itu sirna ketika kumelihat tonjolan di daerah
kemaluannya. Rupanya ia sedang bermimpi indah bersama Dik Sri-nya. Ah kukira ia
tidak akan berpikir macam-macam seperti itu tapi ternyata....
"Ah..," Mas Faiz kembali mendesah dan
tonjolan perkakasnya semakin membesar.
Aku semakin mendekati Mas Faiz. Kaosnya tersingkap dan
kulihat bulu-bulu halus menghitam dari pusarnya menuju perutnya yang putih dan
six pack.
Khawatir tak mendapat kesempatan ke dua, kuraih
handphone ku lalu ku ambil gambar Mas Faiz dengan pose luar biasanya itu.
Meski gemetaran kuberanikan diri menggerakan tanganku
mencoba meraba paha Mas Faiz. Kurasakan pahanya yang keras dan hangat. Pahanya
begitu massive karena terlatih. Kuusap-usap perlahan dan tonjolan perkakasnya
semakin besar. Kusingkap sarungnya sehingga dapat kulihat semakin jelas
tonjolan perkakasnya itu terbelenggu oleh celana dalam putihnya, mendesak untuk
keluar. Tak lupa, kembali kuambil gambarnya.
Rambut-rambut halus memenuhi pahanya yang putih dan
semakin menghitam di tepian celana dalamnya. Kuraba perkakasnya dan ... ah
begitu besar, keras, dan hangat... Ah Mas Faiz, maafkan aku. Bukannya aku
lancang tapi aku tak bisa menahan diri.
"Ah..," Mas Faiz mendesah begitu kuusap perkakasnya
yang semakin menegang dan tentu semakin keras dan hangat kurasakan. Tak lama
setelah itu kurasakan ada cairan lengket dan basah yang menempel di ujung
jariku, precum. Kurasa mimpinya begitu dahsyat. Kakak tingkatku ini sepertinya
sudah tidak sabar untuk menikahi Teh Sri dan merasakan nikmatnya malam pertama.
Namun begitu tahu ukuran dan bentuk perkakas Mas Faiz seperti itu aku jadi
kasihan sama Mbak Sri. Gadis pendiam itu pasti akan merasa kesakitan yang luar
biasa saat perkakas Mas Faiz-nya masuk menembus selaput keperawanannya.
Kuraba pula putingnya yang menonjol kehitaman dibalik
kaos tipisnya. Namun itu pun tak lama karena ia menelungkupkan badannya. Kini
kubisa melihat bokongnya yang besar dan semok. Membongkah membuat belahan yang
nyata di balik celana dalamnya. Kuusap-usap dan karena tak ada respon maka
kucoba meremas-remasnya. Ragu, kuhentikan gerakanku.
Seteah beberapa kali ku ambil foto Mas Faiz aku
berniat kembali duduk di belakang komputer. Namun, saat kuberanjak hendak
kembali ke belakang komputer tiba-tiba kudengar Mas Faiz memanggilku.
"Riki,," Aku lantas membalikan badan dan
dengan rasa bersalah bercampur malu aku menghampiri Mas Faiz dan meminta maaf.
"Mas afwan, saya tadi khilaf..." tanpa
diduga tiba-tiba Mas Faiz memelukku dan menindihku. "Mas Faiz?"
"Tidak apa-apa Ki. Mas Faiz paham dengan apa yang
Riki rasakan. Mas Faiz juga pernah merasakan rasa yang sama pada Kang
Rijal." Mas Faiz menyebut mantan ketua rohisku yang sekaligus tetangga
kostanku. "Tapi Mas Faiz tidak seberani kamu dan tidak seberuntung
kamu." Tatapannya yang tajam seperti meyakinkanku bahwa segalanya
baik-baik saja.
"Kau mau ini, Ki? Mas Faiz mengenggam tanganku
dan mengarahkan pada perkakasnya yang tegang. Aku kaget. 'Gak usah malu, Ki.
Ayo, jangan malu-malu. Kamu pasti pingin memegangnya lagi kan?"
Aku menatap mata elang itu yang berubah menjadi begitu
teduh. "Mas?" Aku mayakinkan dan ia menjawabnya dengan sebuah
anggukan dan..kecupan tepat di bibirku. Karena kaget aku hanya diam saja.
"Koq malah bengong?" Kemudian ia mengecup
bibirku dan tanpa ragu kubalas kecupan itu dengan lumatan dan hisapan. Bibirnya
yang tipis sempurna ku kecup. Lantas bibirku pindah ke janggut tipisnya,
telinganya, dan lehernya yang membuat Mas Faiz mendesah.
Mendengar desahan Mas Faiz aku semakin semangat. Ku
turun mengecupi putingnya dari balik kaos putihnya, semakin turun dan tepat di
depan mataku perkakas Mas Faiz menonjol. Ku tatap wajah Mas Faiz dan ia
membalas dengan anggukan dan senyuman tanggungnya yang hangat.
Mas Faiz...
Kukecupi perkakasnya yang semakin mengeras itu. Karena
tak tega melihat perkakas besarnya ingin bebas keluar dari celana dalam ketat
Mas Faiz, kubuka celana dalam Mas Faiz dan...
Sebilah perkakas besar dengan ujungnya yang mirip
kuncup jamur menunjuk lurus tepat di depan hidungku. Aroma khas langsung
menyapa hidungku. Ternyata perkakas Mas Faiz lebih besar dari yang kubayangkan.
Lebih panjang, besar, keras, dan ternyata hanya sedikit rambut saja yang tumbuh
di sana. Kupikir Mas Faiz rajin mencukuri rambut di daerah kemaluan dan
ketiaknya sesuai dengan sunnah kanjeng Rasul.
Tanpa menunggu persetujuan Mas Faiz langsung saja
kulumat perkakas dan buah jakarnya yang menggantung besar sekali itu. Otot
bawah Mas Faiz, termasuk pantat dan pahanya, menegang saat kuhisap ujung perkakasnya.
"Ohh..." desah Mas Faiz sambil mencengkram
kepalaku seakan tak ingin perkakasnya lepas dari jilatan lidahku.
Sambil kuhisap perkakasnya yang semakin
membesar--ternyata perkakasnya tadi belum sampai pada ukuran maksimalnya, jadi
penasaran bisa sebesar apa batang kejantannya ini?--ku remas-remas bongkahan
pantatnya yang besar. Jari telunjukku menyelusup di antara bongkahan pantatnya,
mencari lubang anusnya. Ah, kudapatkan juga titik itu, hangat dan sempit.
“Ahh, Ki...” kulihat ekspresi wajah Mas Faiz yang tak
pernah kulihat sebelumnya. Matanya terpejam dan beberapa kali ia harus mengigit
bibir bawahnya untuk menahan diri agar tidak berteriak karena kegelian.
Aku semakin semangat menghisap dan membiarkan perkakas
besar itu keluar masuk mulutku. Semakin cepat dan seiring dengan desahan nafas
Mas Faiz yang memburu dan cengkaraman tangannya. Tiba-tiba seluruh badannya
menegang dan cengkraman tangannya semakin kuat.
“Ki!” Mas Faiz setengah berteriak dan saat itu juga
kurasakan cairan kental dan hangat muncrat di dalam mulutku. Mas Faiz langsung
duduk terkulai dan mungkin karena lemas atau apa ia tersungkur. Aku sempat
kasihan melihat Mas Faiz kecapekan seperti itu namun begitu melihat pantatnya
yang besar langsung saja kududuk di belakang pantat Mas Faiz.
“Ki, mau apa lagi kamu Ki?”
Tak kuhiraukan pertanyaan Mas Faiz. Langsung
kuremas-remas pantat itu sehingga kubisa melihat lubang anusnya yang kemerahan
terjepit di antara bongkahan pantatnya. Kujilati lubang yang hangat itu.
“Ah...Ki,” Mas Faiz mendesah namun kurasa ini desahan
kenikmatan.
Setelah beberapa kali kujilati, kumasukan jari
tengahku. Mas Faiz sempat mengeluh kesakitan karena lubang anusnya memang masih
sempit. Namun lama-kelamaan nampaknya lubangnya itu beradapatasi dengan jari
tengahku. Setelah kudiamkan beberapa lama, kumasuk dan keluarkan jari tengahku
perlahana-lahan dan Mas Faiz pun mendesah. Setelah kukira lubang itu sudah
cukup terbiasa, kubuka resleting celanaku dan kukeluarkan perkakasku yang sudah
tegang dari tadi.
“Ki!”
Lagi-lagi aku tak menghiraukan Mas Faiz lagipula Mas
Faiz tak bisa berbuat apa-apa.
“Ah!” Mas Faiz setengah berteriak saat perkakasku
sedikit demi sedikit masuk ke lubang anus Mas Faiz yang sempit.
“Maaf Mas, tapi ini salah Mas juga. Tadi Mas yang
mulai,” bisikku di telinganya sambil memasuk dan keluarkan perkakasku dari
lubang anus Mas Faiz yang kini sudah tidak perjaka. Mas Faiz tidak menjawab.
Kuubah posisi tubuh Mas Faiz. Kini kubisa melihat
ekspresi wajahnya dengan jelas. Dan selagi perkakasku sibuk menyodok lubang
anus Mas Faiz kubisa mengecupi selruh tubuh Mas Faiz yang basah oleh keringat
dan bercampur dengan aroma parfum non-alkoholnya. Ketika kupegang-pegang perkakasnya
yang sudah agak mengerut tiba-tiba perkakasnya kembali menegang. Ah, sudah lama
nampaknya Mas Faiz tidak mimpi basah--karena kupikir Mas Faiz tidak pernah
melakukan onani atau masturbasi. Dengan semangat kukocok perkakas Mas Faiz dan
hampir bebarengan kurasakan perkakasku siap untuk menembang. Lantas kutarik perkakasku
dan kubiarkan cairan spermaku muncrat di atas perut six pack Mas Faiz. Tak lama
setelah itu, crat! Cairan putih hangat muncrat di wajahku. Ah Mas Faiz..
Aku kelelahan dan membiarkan tubuhku berbaring lemas
di atas tubuh Mas Faiz. Nafas kami sama-sama memburu. Setelah dirasa cukup
mengumpulkan tenaga kami membersihkan diri karena hari sudah hampir pagi.
“Kapan-kapan kita nginep lagi di sekre ya?” Tanya Mas
Faiz sambil tersenyum saat kami sampai di depan kostan ku.
Aku mengangguk, "ya, dan mungkin enggak cuma
berdua." Mas Faiz nampak bingung. "Kang Rijal pasti seneng kalau di
ajak juga." Mas Faiz makin bingung tapi kubiarkan saja ia berdiri dengan
wajah bingung sedangkan aku masuk ke dalam kostanku.
Keterangan:
Ana: Saya
Antum: Kamu
Akhi/Akh: Panggilan persaudaraan untuk laki-laki
Afwan: Maaf
Khitbah: Melamar
Ikhwan: Lelaki
Tidak ada komentar:
Posting Komentar