http://ruang-samping.blogspot.com/2008/08/kisah-ryan-yang-ngantor-di-toilet.html
IBU KOTA Jakarta, yang kata sebuah ungkapan usang
“lebih kejam dari ibu tiri” menyimpan banyak cerita menarik dan kadang bahkan
ajaib bin aneh. Salah satu cerita itu adalah perihal seorang lelaki, yang
namanya sebut saja, Ryan. Pria bernama Ryan ini bukan gay, tapi “profesi”nya
memang berhubungan dengan kelompok gay. Jam dinas Ryan tak tentu, fleksibel,
tergantung suasana hati, dan yang juga menarik ia selalu “ngantor” di
toilet-toilet mal.
Ryan, yang adalah “tulen lelaki” ini, punya
tongkrongan macho, tinggi besar, dengan rambut yang kerap dipotong model cepak.
Ia tak bisa dibilang ganteng memang, tapi lumayanlah. Nah, Ryan ini rajin
nongkrong di mal mencari mangsanya yang adalah para gay. Ia punya “radar” yang
canggih hingga segera bisa tahu kalau ketemu “lawan”. Kalau sudah begitu ia
akan mulai beraksi, misalnya, dengan mengajak “lawan”nya itu bermain mata.
Kalau pancingannya berhasil, Ryan akan menggiring
lawannya ke “kantor”nya yang di berada di toilet itu. Ia melanjutkan
pancingannya lebih provokatif lagi, sehingga gay korbannya akan menjadi tambah
berani mendekatinya. Misalnya, ia akan berpura-pura kencing, seraya membiarkan
anunya terlihat oleh si korban, sehingga sang gay menjadi tambah blingsatan :
mengintip “anu”nya Ryan, atau melakukan tindakan nekat lainnya.
Nah, pada momen “kritis” itulah Ryan sang tokoh kita
mulai beraksi. Mendadak saja ia berubah galak kepada gay lawannya, menunduhnya
telah berbuat cabul kepadanya, seraya mengancamnya akan melaporkannya kepada
pihak berwajib. Dan ujung-ujungnya ia akan memeras korbannya. Lha, korbannya,
yang sering ternyata berdompet tebal dan punya jabatan penting, mati kutunya.
Dari pada urusan jadi heboh, dan orang pada tahu dia gay, mendingan mandah saja
diperas.
Begitulah Ryan menjalankan “profesi”nya. Tapi tidak
selalu ia bernasib mujur. Pernah ia mendapat korban yang ternyata masih
memiliki hubungan keluarga dengan polisi. Habis ia dihajar berdarah-darah
ketika itu. Kapok? Oh tidak, namanya juga “profesi”, ia terus setia
melakoninya. Hanya untuk amannya, supaya tidak gampang dikenali, ia sering
terpaksa berpindah-pindah “kantor”. Kabarnya paling akhir ini ia “ngantor” di
sebuah mal di daerah Senen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar