Masa kecil yang
tidak bahagia dan penyiksaan seksual yang aku alami telah mengubah diriku
mennjadi seorang pendendam. Targetku, siapa saja kaum gay yang tertarik padaku.
Ketika berusia 12 tahun aku ‘diperkosa’ seorang pria
homoseks berwajah seram di terminal tempatku berjualan koran. Dan kini, ketika
usiaku beranjak dewasa dengan modal wajah tampan aku berkelana di tengah-tengah
komunitas mereka. Tujuanku, mencari gay kaya dan menguras seluruh harta dan
‘perasaan halus’ mereka.
Suatu sore berkabut diawal bulan Desember 1993 aku
berjalan gontai sambil menenteng koran sore di Terminal Cicaheuem, Bandung.
Rinai hujan mulai turun yang akhirnya membawaku berteduh di sebuah pos keamanan
terminal. Tiba-tiba seorang pria berwajah seram ikut pula berteduh di sana.
Karena sudah terbiasa bergaul dengan dunia keras, aku tidak peduli dengan
wajahnya yang penuh codet. Aku berpikir, mungkin dia seorang preman terminal
yang takut dengan gerimis.
Setelah menyebut namanya – Bang Rony--, dia kemudian mengajakku mengobrol. Tentang
mengapa aku harus menjadi penjual koran dan berkeliaran di terminal. Padahal
menurutnya aku lebih pantas berada di rumah sambil membuka-buka buku untuk
persiapan belajar di sekolah esok hari. Dia juga mengaku kagum dengan tubuhku
yang bersih dan wajahku yang tampan dibanding penjaja koran lainnya. Sebaliknya
dia juga bercerita tentang dirinya yang sudah sejak lama ‘menclok’ dari satu
terminal ke teminal lain di kawasan Bandung untuk menyambung hidup. Pendeknya,
kami terlibat obrolan yang cukup mengasyikkan.
Tak dinyana, esok harinya aku kembali bertemu dengan
Bang Rony. Aku sendiri tidak peduli apakah itu nama dia sebenarnya atau bukan.
Sore itu dia kembali mengajakku ngobrol. Kali ini bukan di pos keamanan,
melainkan di dekat sebuah WC umum yang kebetulan sepi. Semerbak aroma kotoran
manusia tidak kami pedulikan. Aku tidak tahu mengapa aku begitu senang
berbincang dengannya, meski kadang aku bergidik melihat bekas-bekas luka di wajah
buruknya.
Di tengah perbincangan, tiba-tiba pria itu ingin
kencing dan entah mengapa aku jadi ikut ketularan. Biasalah, musim hujan.
Setelah selesai, tanpa pernah kuduga sebelumnya, Bang Rony menarik tubuhku dan
menciumi wajahku. Tentu saja aku sangat terkejut dengan apa yang dilakukannya.
Belum hilang debar dan ketakutanku, Bang Rony langsung
menarikku ke dalam kamar mandi yang semuanya sedang kosong. Aku tidak tahu
kemana perginya penjaga WC. Padahal dalam kondisi seperti itu bisa saja penjaga
itu memergoki perbuatan buruknya dan aku bisa selamat. Namun karena situasi
yang begitu sepi, aksi Bang Rony tak tertahankan. Tangan kasarnya membekap
mulut, sementara tangan yang lainnya mendekap tubuhku.
Posturnya yang besar tentu saja tidak sebanding dengan
tubuhku yang ringkih. Saat itulah dia mensodomi pantatku. Sementara dia
menghujamkan ‘senjatanya’ di bagian belakangku, tangannya yang satu lagi
membekap mulutku dengan kasar.
Hampir saja aku tidak bisa bernapas karenanya. Hampir
dua jam aku mendekam di WC yang berbau pengap itu. Karena menahan sakit yang
demikian pedih, air mataku pelan-pelan menetes. Berkali-kali aku mengambil air
untuk mencuci bagian belakang tubuhku yang sempat mengeluarkan darah.
Aku bahkan tidak memperdulikan teguran penjaga WC yang
menyuruhkan segera beranjak dari sana. Ketika senja menjelang barulah aku
sanggup melangkahkan kaki dengan tertatih-tatih pulang ke rumah. Namun, semua
peristiwa buruk yang terjadi sepuluh tahun silam itu hanya tinggal kenangan.
Kini tiada lain yang ingin kulakukan selain mencari
Bang Rony dan membunuhnya dengan darah berceceran dari tubuhnya seperti
bercecerannya darah dari tubuhku ketika dia meninggalkan aku di kamar mandi WC
umum Terminal Cicaheum, Bandung.
Sampai sekarang, saat aku sudah mandiri bahkan bisa
mengangkat derajat ekonomi keluarga, aku tidak tahu apakah Bang Rony betul
seorang gay. Bisa jadi dia hanya seorang penganut pedophilia yang gemar mencari
kepuasan di dalam diri anak-anak seperti aku dulu. Namun setelah aku mengerti,
ternyata gay pun mencari kepuasan dalam bentuk sama seperti yang pernah
dilakukan Bang Rony. Itu sebabnya aku sangat ingin membuat para gay tersiksa
dengan balas dendam yang akan kulakukan.
KING SIZE--Dan pertanyaan itu kulontarkan pada Beni,
pria pengidap kelainan seks yang sangat menginginkan aku menjadi kekasihnya.
Perjumpaan kami berawal secara kebetulan. Saat itu kami berjumpa di rumah makan cepat saji di
kawasan Jalan Thamrin. Dia tak tampak seperti gay. Tubuh atletisnya, membuat
siapa pun terkecoh. Belum lagi dia berasal dari keluarga kaya raya dan sekarang
memegang jabatan penting di sebuah perusahaan retail besar di Jakarta.
Aku memang tidak pernah bertanya dari mana keluarga
Beni memperoleh kekayaan demikian banyak. Namun yang jelas sejak awal jumpa dia
menceritakan, ayahnya memang seorang developer sukses dan memiliki beberapa
perusahaan retail. Dan kini Beni dengan satu orang adik perempuannya hanya
tinggal menangguk hasil dari kesuksesan orangtuanya.
Dibawa rasa ingin membalas dendam, akhirnya tawaran
Beni untuk tinggal bersama di apartemennya kukabulkan. Sambil terus berkutat
dengan pekerjaanku sebagai staf ekspor impor sebuah perusahaan sawmill di
daerah Jakarta Utara, aku tetap melayani Beni di ranjang seperti yang dia
inginkan.
Hingga pada akhirnya Beni mengaku belum puas hanya
sekedar ‘bergulat’. Dia ingin aku melakukannya dari tubuh belakangnya. Sambil
merengek meminta aku melakukan hal itu, Beni berjanji akan membelikan aku
sebuah sedan keluaran terbaru dan selanjutnya akan membelikan aku sebuah rumah di
kawasan mewah di Jakarta Barat.
Awalnya enggan, namun saat membayangkan kemewahan yang
akan kuraih, akhirnya aku menguatkan hati agar bisa melakukannya. Setelah
benar-benar siap, ternyata aku bisa juga bahkan berhasil mencapai puncak tanpa
memikirkan Beni yang menjerit-jerit saat dihujami senjataku yang kebetulan
memang king size. “Kamu memang benar-benar hebat,” ujar Beni seperti bangga
dengan apa yang sudah kulakukan padanya, padahal aku yakin dia belum
mendapatkan keinginannya.
Satu minggu kemudian aku dibawanya pergi ke show room
untuk memilih sedan apa yang kuinginkan. Dan satu bulan kemudian dia membawaku
mengurus surat-surat rumah yang semuanya atas namaku. Perasaanku sungguh
melonjak dengan apa yang dilakukan Beni. Dalam hati aku berpikir, karena
seluruh dokumen dua barang berharga itu sudah dalam genggamanku, nantinya
dengan mudah aku bisa menjual kembali semua yang sudah diberikannya.
Selanjutnya, good bye, Beni.
Aku akan kembali ke pangukuan Lia, calon istriku di
Bandung yang kupacari sejak kami duduk di bangku kuliah. Selama ini Lia hanya
tahu bahwa aku adalah seorang anak manis yang berhasil mengangkat derajat
keluarga. “Melihat kisah hidupmu yang pernah membantu orangtua dengan cara
berjualan Koran membuat aku semakin mengagumimu,” demikian satu kali Lia
memujiku. Kata-kata Lia yang lemah lembut seringkali membuatku ingin menangis
diam-diam bahwa sebenarnya kekasih yang dia kagumi tak lebih dari seorang
pendosa besar.
Ingin pula aku memendam perasaan dendam itu agar
nantinya Lia semakin mencintaiku, tetapi aku tak sanggup. Dalam setiap langkah
dan helaan napasku yang terbayang hanyalah bagaimana kejamnya Bang Rony
terhadap anak berusia 12 tahun yang belum tahu akan kejamnya dunia.
Dalam setiap tidurku yang seringkali terimpikan
hanyalah bagaimana sadisnya orang dewasa memperlakukan anak-anak tanpa
memikirkan dampak apa yang akan terjadi pada masa mendatang. Kembali, ingin aku
menumpahkan segala kepedihan dengan menangis, tetapi air mataku rasanya sudah
kering.
PRIA KANADA--Tepat empat bulan berhubungan dengan
Beni, apa yang menjadi harapanku akhirnya bisa terujud. Harta berlimpah sudah
kuperoleh dan harga diriku sebagai seorang lelaki bisa kuselamatkan. Aku bukan
gay seperti yang diperkirakan Beni selama ini. Apa yang kulakukan terhadapnya tidak
tempat tidur tidak lebih dari sekedar bentuk balas dendamku terhadap Bang Rony.
Bila kupikirkan lebih jauh lagi sebenarnya aku tidak tega, namun ini semua
sudah menjadi tekadku.
Cukupkah hanya sampai di sana? Ternyata tidak.
Perasaan dendam itu ternyata belum juga terbalaskan. Itu sebabnya aku kembali
berkelana mencari gay-gay kaya untuk kemudian menggaet harta dan perasaan
mereka seperti yang sudah kulakukan terhadap Beni.
Mungkin karena ketampanan wajahku, apa yang kuinginkan
dengan cepat terujud. Kini aku berjumpa dengan seorang gay asal Kanada bernama
Mark yang bekerja sebagai konsultan di sebuah perusahaan besar di bilangan
Sudirman, Jakarta.
Dan hanya dalam beberapa bulan aku kembali
meninggalkan Mark dalam rasa sakit hati yang dia rasakan. Aku tidak peduli, toh
aku sudah mendapat apa yang kuinginkan dalam bentuk deposito yang jumlahnya
bisa mencukupi hidupku, kelak. Sampai akhirnya aku tidak bisa beranjak dari
dendam itu.
Berkali-kali aku berjumpa dengan jenis gay yang
kuinginkan, berkali-kali pula aku berhasil menguras harta mereka dan
selanjutnya beristirahat di sebuah villa di Puncak dengan Lia. Mereguk
kenikmatan yang sebenarnya dengan wanita yang masih sanggup membuatku menjadi
pria sejati.
Hanya satu hal yang kini bermain-main dalam pikiranku
dan kadang-kadang juga membuatku khawatir. Apakah aku memang sudah menjadi gay
yang sebenarnya atau apakah aku sudah terjerumus ke lembah dunia yang lebih
sadis, yakni menjadi seorang biseks sejati.
*Dikisahkan Iwan di Bandung kepada Rayu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar