http://dewarajasa.blogspot.com/2013/03/saat-itu-aku-dan-firman-berada-di.html
December 25 (Hari Natal )
Aku dan BF-ku, Firman, serta teman kuliahnya, Joy yang
sama sama jadi instruktur Fitnes, berangkat ke Patong Beach, di Phuket di
bagian selatan Thailand selama 5 hari untuk libur, bersantai dan having fun.
Kami tiba masih agak pagi, tepat pada hari Natal,
tanggal 25 desember dan langsung menuju Club One Seven, sebuah hotel tepat
dipinggir pantai Patong yang sudah aku pesan sebelumnya. Pihak Hotel sudah
mengaturkan penjemputan dari airport ke hotel, kami tiba.
Setelah check-in, Firman mengedipkan mata kearah Joy
supaya tidak diganggu lalu menarik aku masuk.
Didalam kamar Firman berkata: “Saya kangen…!” dan langsung ‘menerkamku’,
lalu dia menyalurkan keinginan yang dia bilang ’sudah ditahan dari semalam’
(malam sebelumnya kami memang sibuk nge-pak barang dan langsung tidur). Tubuhku tersambung sempurna jadi satu dengan
tubuh telanjang Firman lalu “Ooooooohhhh…..!”, dia menggiringku selama 1 jam
lebih dengan permainan cintanya yang menggetarkan bathinku, dan pada puncaknya
dia limpahkan sari pati kejantanan tubuh remajanya untuk menyatukan jiwa dan
raganya kedalam tubuhku dan bercampur bersama aliran darahku.
Baru sekitar jam 10 pagi, kami keluar dan menyewa 2
buah motor untuk berkeliling Phuket bertiga. Kami senang sekali hari itu
sehingga aku nekat mau mencoba mengendari motor, padahal sudah belasan tahun
aku tidak menaiki motor) dan ternyata 2 kali aku menambrak tong sampah dan
pohon sampai motor itu baret baret. Aku bilang biarlah kita bayar saja ongkos
kerusakan itu dan meneruskan perjalanan siang itu untuk menjelajahi Phuket dan
makan siang. Siang harinya, aku menemui
Daniel (manager hotel) untuk memesankan speed-boat untuk tour singkat ke pulau
Phi Phi di sebrang Phuket. Tempat yang indah dengan pantai yang memikat.
Malam harinya kami makan diluar. Kami memilih restoran
seafood dan kulihat Firman lahap menyantap udang dan kepiting!. Setelah itu
kami mampir disebuah disco terbuka di pinggir pantai, bersenang senang dan
dansa bertiga, cowok sama cowok, satu tinggi kurus, berkulit agak putih (aku)
dan 2 pemuda tinggi kekar, berkulit sawo matang (Firman dan Joy), tapi tidak
masalah, karena masyarakat Thailand amat toleran, termasuk pergaulan sejenis,
selama tidak dilakukan ditempat umum.
Beberapa pria bule gay yang ada disitu jelas jelas
memberi perhatian istimewa pada Firman dan Joy yang malam itu nekat berdansa
bertelanjang dada. Firman dan Joy adalah dua pemuda yang sama sama tampan,
mereka aktif ikut olah raga sebagai
binaragawan di kampus dan mereka bekerja paruh waktu sebagai instruktur
fitness. Mereka berdua adalah para pemuda yang amat sexy dan Firman terlihat
sangat tampan malam itu.
Joy sepertinya masih menikmati suasana disko itu, tapi
saat Firman mengedipkan mata lagi sambil merangkul bahuku, Joy balas
mengedipkan mata tanda dia mengerti keinginan Firman.. Akhinrya sedikit lewat
tengah malam kami kembali ke kamar untuk tidur karena aku merasa sangat capai
dan lelah (tapi well…, Firman langsung mendorongku ke kasur: ”Saya lagi
kepengen....” lalu dia mengajakku bercinta dulu, yang amat lama dan melelahkan,
tentu karena seafood yang Firman santap dan membakar darah mudanya. Kucoba mengimbangi
untuk menyenangkan dia).
----------------------------------------------
Firman kuliah sambil bekerja di Jakarta. Keluarganya
tinggal di sebuah desa kecil dekat Kuningan-Cirebon, diperbatasan antara Jawa
Barat dengan Jawa Tengah, yang disebut Cimanggu. Keluarga Firman tidak pernah
tahu kalau dia punya pacar sesama lelaki. Mereka tidak tahu bahwa kami tinggal
bersama, bahkan sudah hidup serumah selama 1½ tahun.
Sejak lahir sampai lulus SD Firman tinggal bersama
orang tuanya; kemudian pada usia 12 tahun dia mulai tinggal di Pondok Pesantren
selama 6 tahun, untuk sekolah Tsanawiyah, setingkatan SMP sampai dia lulus
pendidikan setingkatan SMU. Sebagai seorang Santri, Firman tentu tidak mungkin
memberi tahu keluarganya bahwa dia sekarang tinggal serumah dengan sesama pria.
Aku sendiri seorang ’undercover’ selama 22 tahun awal pertama dari hidupku,
sehingga aku dapat mengerti situasi yang dihadapi Firman.
Aku sebenarnya sudah cukup lama membicarakan keinginan
untuk menemui keluarga Firman; bahkan Firman sudah setuju membuat rencana dan
jadwal untuk mengunjungi mereka. Tapi beberapa hari yang lalu Firman
menyampaikan 3 kata penting kepadaku: ”Saya belum siap“.
Aku sebenarnya bisa membuat keributan dan berkata,
“Kamu tidak mencintai aku!“, atau kata kata bodoh lainnya, tapi aku sungguh
sungguh mengerti perasaan Firman. Sebagai pemuda belia berusia 20 tahun, dia
pasti sangat tertekan oleh dua kehidupan yang dia jalani bersama aku saat ini.
Selama 12 tahun bersama orang tuanya dan 6 tahun
sebagai santri di Pondok Pesantren, orang tua Frman, saudara saudaranya dan
para tetangga di desanya sangat membanggakan Firman dan masih ’menunggu’ Firman
sampai ”jadi orang terpandang” di kota. Firman khawatir kalau mereka tahu dia
punya pacar lelaki, mereka akan berubah pikiran. Tahu sendiri, remaja dari desa
kecil pergi ke ibu kota dan ”dimanfaatkan oleh ____________ (isi sendiri deh).
Aku membiarkan Firman tahu kekecewaanku , tapi aku juga sangat mencintai dia
dan tidak bermaksud menekan untuk membuat keputusan. Aku yakn, pada saatnya
siap, dia akan memberi tahu aku.
Batal pergi ke Cirebon, akhirnya aku memutuskan untuk
mengajak Firman pergi berlibur merayakan tahun baru di Thailand, ke Phuket!.
Phuket adalah sebuah pulau di selatan Thailand yang merupakan daerah tujuan wisata
populer yang didatangi oleh wisatawan dari berbagai negara di dunia untuk
berlibur. Firman mengajak seorang sahabatnya: Joy. Aku juga menyukai dia. Joy
bukan pemuda gay dan sama sekali belum/tidak pernah melakukan hubungan sejenis
dengan laki laki manapun. Joy seorang pria straight tapi terbuka menerima
hubungan sahabatnya Firman dengan aku. Joy orang yang periang, banyak bercanda,
sering membuat aku tertawa dan sangat sopan.
Aku yang pertama menawarkan Firman untuk mengajak Joy.
Joy pasti mengerti kalau aku juga ingin berduaan dengan Firman selama beberapa
jam setiap harinya. Joy sangat pengertian dan ”easy going” dan aku yakin dia
tidak akan tersinggung. Firman berterima
kasih atas ideku mengajak Joy dan akhirnya kami akan berangkat bertiga keesokan
harinya, tepat pada hari Natal, tanggal 25 Desember 2005. Kami rencana akan
tinggal di Phuket 4 hari lalu pindah ke Bangkok, tinggal dengan Oom Alex,
seorang pamanku yang punya sebuah apartemen disana.
-------------------------------------------------------
December 26th ( Sehari setelah hari Natal)
Masih amat pagi sekali, Firman membangunkan aku dan
mengajak mandi air panas berdua (ada ada saja!) tapi dikamar mandi dia mencumbu
aku, dan ya, aku tahu akhirnya Firman menyeret aku ke tempat tidur dan menggumuliku:
“Tirak…, aku mau lagi…” (”Tirak” adalah ungkapan bahasa Thailand untuk
”Sayangku”), lalu dia minta bercinta lagi
(aku sudah 2 tahun kenal Firman sejak dia baru masuk kuliah pada usia 19
tahun dan sudah 1½ tahun hidup serumah
dengan dia, sehingga aku mengerti dan bisa menerima setiap kali pemuda 20 tahun
yang berdarah panas ini “ngotot” dan tak peduli waktu minta dilayani. Lagipula
aku ada disitu untuk kesenangan dia kok).
Jam 8
Pagi itu, Firman baru selesai “ngerjain” aku dan aku
masih berbaring telanjang dirangkul Firman sambil menyusupkan wajahku kedalam
ketiaknya, saat kurasakan goyangan gempa!. Goncangannya AGAK RINGAN dan aku
tidak memperdulikannya, Firman juga cuek, lalu aku ke kamar mandi dan segera
menyuruh Firman mandi karena aku ingat sudah menyewa speed-boat jam 10.00 untuk
tour ke pulau Phi Phi.
Aku pergi duluan untuk sarapan di balkok coffee shop
dengan pemandangan langsung ke taman, kolam renang dan ke arah pantai. Saat
itulah aku menerima SMS dari Oom Alex di Bangkok. Dia tanya apakah aku tahu ada
gempa bumi skala 8.5 Richter di lepas pantai utara Sumatera?. Aku berhenti
makan dan buru buru cek internet (meja reception cuma turun tangga satu lantai,
di bagian basement, dibawah restoran). Aku
membaca berita mengenai gempa seperti yang kurasakan waktu di kamar,
WOW!, 8,5 skala Richter, itu gempa yang besar!. Kemudian aku kembali ke Coffee
shop untuk meneruskan sarapan.
Nah, pada saat kembali ke balkon coffee shop, kulihat
banyak sekali tamu tamu hotel yang lain sedang berdiri dipingging jalan. Hotel
kami terpisah oleh jalan dari pinggir pantai. Dan saat kuperhatikan, aku
melihat pemandangan yang sangat aneh!. Lautan seperti menghilang!. Garis
pantainya mundur jauh sampai 1 kilometer. Seperti lautan sedang surut, tapi
SANGAT SANGAT SURUT. Kulihat beberapa orang Thailand malah berlarian kearah
pasir pantai yang biasanya terrendam air laut dan mengambil ikan ikan yang
bergeletakan di pantai yang sudah kering. Ada juga beberapa pasang turis bule
di kursi kursi sedang berdiri memperhatikan kejadian aneh tersebut.
Dan tiba tiba entah dari mana!, air laut kembali!.
Datang dari jauh dengan cepat dan berombak besar!. Saat itulah aku menyadari
apa yang akan terjadi!.
Aku berlari kekamar sambil berteriak teriak
membangunkan Firman dan Joy yang masih ada dikamar masing masing. Hotel kami
berlantai 5 dan kamar yang kami tempati berada di ground floor, lantai bawah.
Joy ada dikamarnya sendiri, sudah mandi dan ternyata sedang memandang ombak
besar yang datang dari kejauhan, lalu dia mengikutiku. Aku masuk ke kamar
Firman yang sedang duduk di WC dan pintunya dikunci dari dalam.
Pintu itu terbuat dari kaca buram dan Joy menggedor
pintu sambil berteriak teriak pada Firman, menyuruh keluar. Eh!, Firman malah berteriak balik karena
merasa ketenangannya di WC terganggu!. Joy memang tukang bercanda dan sering
iseng mengganggu orang sehingga Firman menduga Joy sedang bercanda. Aku segera menyuruh Joy mengambil barang2
yang bisa diambil sedangkan aku memaksa Firman segera membersihakan diri dan
keluar lalu kudorong dia naik kelantai atas. Pada saat itu air laut sudah
mencapai halaman depan hotel dan kolam renang!. Bagian basement dan ruang
reception sudah terendam air!, dan menuju arah kamar kami.
Aku berteriak pada Firman untuk mengambil tas dia dan
lari keatas. “Ada apa?” tanyanya dengan kebingungan. Aku berteriak lagi:
“Naik!, naik keatas ada banjir!”. Firman menyambar tas dan dompet dan aku
segera mengikuti dari belakang. Dia naik satu lantai tapi aku mendorong dia:
“Terus naik!, naik lagi keatas!”. Dia menuruti aku!. Dia terkejut dan terlihat
schok tapi belum sepenuhnya mengerti apa yang sedang terjadi. Pada saat itu air
laut sudah 1 meter tingginya ditempat kamar kami dan terus naik cepat, makin
tinggi.
Kami sampai di lantai 4 dan melihat dari balkon apa
yang sedang terjadi. Sepanjang jalan
kiri kaman tidak ada apapun yang terlihat kecuali pucuk pucuk pohon cemara dan
air.., air..., air...!. Motor dan mobil mobil mengambang. Kami melihat air laut terus bertambah.
Tidak!, ombak itu BUKAN 10 METER tingginya, mungkin cuma 3-4 meter tapi tak
berhenti dan terus menerjang disepanjang pantai Phuket.
Kami mendengar suara atap seng yang restoran sebelah
yang rubuh. Kami melihat banyak kapal kapal speed-boat terjebak didalam
gulungan ombak dan terdorong jauh ke daratan. Dan mendadak ombak baru datang
lagi, dan masuk lebih jauh kearah daratan. Ombak yang pertama dan kedua adalah
yang TERBESAR. Setiap kali ombak mundur
kembali, dia menyeret semua benda, barang, dan mahluk hidup kearah laut, lalu
akan segera diikuti oleh gulungan ombak yang berikutnya, dan kembali ke arah
lautan dan terus menerus, tanpa henti.
Sekitar 1½ jam kami terjebak di balkon lantai 4 dan
gulungan ombak mulai melemah dan makin jarang. Setiap kali kami berniat untuk
mengambil barang barang lain atau berlari kearah jembatan dibagian perbukitan,
mendadak ombak datang tanpa terduga. Kami melihat ada 4 orang yang terjebak
dietempat yang “agak aman” di hotel sebelah, tapi mereka berusaha lari ke
jembatan, dan ternyata ombak datang menerjang dan menyeret mereka kelaut.
Kami menunggu sampai air menyurut dan setelah 15 menit
kami berlari kearah jembatan di perbukitan. Firman tidak memakai sepatu yang
terbawa ombak. Aku menemukan sepasang sepatu milik di kamar orang lain yang
kosong dilantai 4 ini dan “mencuri” sepatu itu untuk Firman. Ya!, betul secara
teknis, aku memang “mencuri” sepatu itu dan aku bersalah! . Jalanan dipenuhi
oleh pecahan kaca dan kekasihku membutuhkan sepatu!, masalahnya selesai!.
Kami berlari sekitar 1 kilometer ke arah jembatan
ditempat yang lebih tinggi. Beberapa kali kami berhenti dan melihat kebelakang
kearah air yang sesekali masih datang. Seorang polisi yang terlihat panik,
beberapa kali berteriak menyuruh kami terus berlari. Sesampainya di jembatan
kami bertemu dengan Daniel, manajer hotel yang memberi petunjuk arah pada kami.
Dia berusaha mencatat nama nama tamu dan karyawan yang selamat dari becana itu.
Dia tidak menemukan asisten manager dan beberapa karyawan dia yang mungkin
terjebak di basement. Daniel menyarankan kami agar naik lebih tinggi ke sebuah
hotel: Baan Yee Dee, dia bilang kita akan berkumpul disana.
Aku mulai berjalan naik diikuti Firman dan Joy, tapi
tak lama kemudian mereka sudah menyusulku sehingga Firman menggandeng tanganku
dan harus memapahku naik makin keatas sampai ke puncak bukit, puncak yang
PALING TINGGI. Dari situ kami bisa melihat kebawah, ke pantai Patong Beach and
memperhatikan seluruh kejadian yang dramatis itu.
Hotel Baan Yee Dee ternyata sudah penuh orang. Kelihatannya semua orang dari daerah pantai
datang ke hotel ini. Karyawan hotel membagikan air minum kepada kami dan
menunjukan jalan kearah buffet breakfast, meja sarapan yang sudah mereka
persiapkan. Semua itu mereka sediakan gratis!, tanpa bayaran. Kami SANGAT
menghargai kebaikan mereka!. Joy bilang dia tidak lapar, tapi Firman memaksa
dia karena belum tentu mereka bisa mendapatkan makanan lagi setelah ini
sehingga Joy mau makan sedikit kentang dan buah buahan.
Beberapa orang Thailand datang ke hotel dengan nasi
dan lauk pauk dari rumah mereka dan membagikan pada orang orang yang berada di
lobby hotel. Aku terharu melihat mereka
begitu tanpa pamrih membatu orang yang sedang membutuhkan. Orang orang Thailand
memang sangat bijak, baik dan penuh hormat, tanpa perhitungan, dan sangat
sopan!, paling tidak, begitulah yang selama ini aku alami dan temui.
Saat kami masih makan, Joy berkata: “Sekarang kamu
tidak usah mengganti kerusakan motor yang kamu tabrak!”. Firman dan aku melihat
kearah Joy dan meledak tertawa!, maksudku kami benar2 tergelak gelak tertawa
seperti orang kesurupan!.. Ya, ampun masih sempat dia bercanda!. Orang orang
disekitar memandang kami dan mungkin berfikir kami sudah gila gara gara musibah
ini. Tapi itulah pereda-stress paling sempurna!. Joy memang punya cara yang
lucu dalam bercanda!.
Aku men-cek HP dan eh!, ternyata DTAC (provider HP di
Thailand) ada sinyal, sehingga aku buru buru mengirim SMS kepada Oom Alex di
Bangkok dan keluargaku di Bandung lalu menyampaikan bahwa aku selamat dan baik
baik saja. Mamah menjawab dan menyuruh kami segera pulang ke Jakarta.
--------------------------------
Keluargaku tahu aku berlibur di Phuket, tapi mereka
tidak pernah tahu hubungan-khususku dengan Firman. Aku pertama mengenalnya saat
dia baru masuk kuliah sebagai mahasiswa baru yang nyambi kerja paruh-waktu
sebagai instruktur Fitness tempat aku berlatih.
Usia Firman saat itu baru 18-19 tahun, masih sangat muda belia dibanding
aku yang sudah merayakan ulang tahun yang ke-24.
Entah karena tak berpengalaman atau terlampau lugu,
Firman menerima persahabatan dan ajakanku untuk jalan berdua, makan makan,
nonton atau pergi clubbing ke berbagai Café, bahkan akhirnya mau kuajak
menginap dirumahku di Jakarta. Akhirnya
Firman mungkin sadar alasan kedekatanku
kepada dirinya sehingga pada malam-pertama itu dia tak menolak jamahan
tanganku dan mau mengimbangi keinginanku.
Terus terang, aku merasa bersalah karena menjerat
seorang pemuda berumur 19 tahun yang masih polos untuk melakukan hubungan seks
yang mungkin baru pertama dia lakukan semumur hidupnya, baik dengan wanita
apalagi dengan aku yang sama sama berjenis kelamin lelaki.
Aku tak pernah menanyakan, apakah itu pengalaman seks
pertama dia, dengan pria atau wanita.
Yang jelas, Firman gemetar dan dia
terlihat canggung seolah olah, sama sekali tak tahu apa yang harus dilakukan
dalam hubungan seperti itu, tapi malam itu Firman menyerahkan semua yang dia
miliki untukku.
.
Aku sungguh tak menduga!, walau masih sangat muda
belia, Firman punya kelebihan ukuran dan tenaga yang tak dimiliki oleh laki
laki lain dan ternyata dia terlahir sebagai seorang pejantan yang amat
tangguh..Dan mungkin itulah yang membuatku menyerah sampai bertekuk lutut pada
malam pertama dan aku langsung lengket pada Firman.
6 bulan setelah itu Firman setuju saat kuajak untuk
hidup besamaku lalu tinggal serumah, dan melakukan hubungan seperti suami istri
setiap malam.
--------------------------------------
Kami bersitirahat disitu sekitar 1 jam atau lebih dan
setelah itu Firman mengajak aku dan Joy untuk ikut bersama beberapa turis bule
yang berani, keluar dari hotel dan turun kebawah, untuk malihat keadaan dan
mencoba membantu semampu kami. Disitu kami dengar bahwa Pulau Phi Phi yang
tadinya akan kami kunjungi, diterpa ombak yang lebih dahsyat.
Saat kami berjalan turun, aku lihat orang orang masih
berlarian kearah bukit. Orang orang yang
naik motor, berjalan di jalur yang salah dan semuanya kearah yang sama.
Situasinya tak terkendali dan sangat panic. Aku tidak tahu kenapa mereka begitu
panik. Mungkin karena barusan ada kabar bahwa akan ada terjangan ombak susulan.
Aku bilang pada Firman sebaiknya kita kembali ke atas tapi Firman bilang:
“Tidak apa apa!, jangan takut!, AKU AKAN MENJAGA KAMU” lalu dia bilang lagi
“KAMU TERLALU KHAWATIR!”. Wah!, kata
kata dia yang terakhir menonjok ke ulu hatiku!.
Selama ini Firman memang sering bilang bahwa aku
sering terlalu khawatir, dan katanya dia kuanggap tidak pedulian. Tapi kali ini ternyata Firman betul!, TIDAK
terjadi ombak susulan. Aku cuma terlalu khawatir.
Berjalan dalam genggaman tangan Firman, yang terlihat
didepan mata kami adalah musibah manusia yang amat dahsyat dan mencekam!. Tubuh
manusia berseerakan dalam keadaan menggenaskan, rumah, hotel, mobil, motor dan
bangunan hancur diterpa gelombang. Entaah berapa banyak manusia dan mahluk
hidup lainnya yang terseret ombak dan ternggelam di lautan. Teriakan minta
tolong dan jeritan kesakitan orang orang yang terluka membuat kami bingung
siapa yang harus didahulukan. Tapi dalam situasi itu, kebangsaan, agama, derajat
dan warna kulit, bersatu padu membantu orang orang yang membutuhkan.
Tidak terasa, entah berapa lama kami membantu
mengangkat orang orang yang terluka kedalam ambulans atau kendaraan apapun yang
tersedia, memberi minum pada yang kehausan. Rasa capai dan lelah, tersedot oleh
kengerian yang harus dialami orang orang lain. Kami lebih sehat, kami lebih
kuat dan kami lebih mampu membantu mereka. Hanya itu yang dapat kami lakukan.
Kami tidak dapat meredakan kesedihan dan tangisan orang orang yang kehilangan.
Tangis pilu, jeritan, rintihan dan doa terus bergaung
disekitar kami. Rasanya semua yang kami lakukan tidak ada hasilnya karena masih
begitu banyak orang yang membutuhkan bantuan dan terus berdatangan sedangkan
tenaga kami mulai terkuras sampai akhirnya sekitar jam 19.00 aku bilang pada
Firman untuk beristirahat terlebih dahulu, lalu pergi ke hotel Nipa Villa yang
juga terletak di perbukitan dan berbaring dekat sofa di lobby, langsung
tertidur pulas. Sementara Firman dan Joy masih dibawah bersama orang orang lain
yang sedang membantu semampu mereka.
-------------------------------------------
Entah berapa lama aku terlelap tidur sampai akhirnya
Firman membangunkan aku: ”Tirak..., bangun..., kamu harus lihat ini”. Aku
bangun dan melihat jumlah orang, motor, mobil meningkat secara drastis.
Ambulans datang silih beganti mengangkut orang orang yang terluka dan jenazah
yang meninggal. Astaga!, ternyata kejadian ini amat monumental dan tak akan
mampu ditangani oleh kami bertiga, atau penduduk Phuket saja, atau bahkan oleh
negara Thailand sendiri. Bantuan seluruh dunia diperlukan.
Saat itu terfikir untuk segera pulang tapi semua
pesawat dari Bangkok penuh dan hanya ada satu tempat dipesawat..
Firman dan Joy mau ditinggal dan merasa tenaga mereka
dibutuhkan. Kedua mahasiswa idealis yang sering berlatih naik turun gunung dan
olah raga arus-liar itu terpanggil!.
Tapi Firman menyuruhku pulang duluan ke tanah air. Aku
menolak!. Tak mungkin pulang sendiri dan
meninggalkan Firman.
Bencana ini bukan hanya gempa atau Tsunami, tetapi
kekuarangan bahan makanan dan minuman bersih, ditambah penyakit kolera,
disentri, diare dan bahkan malaria, mulai merajalela, mencari mangsa. Aku
mengkhawatirkan Firman dan Joy.
Firman meraih bahuku: ”Aku justru khawatir terjadi
sesuatu pada kamu disini, aku takut kehilangan kamu, aku menyayangi kamu” katanya terdengar begitu dewasa padahal dia
berumur jauh lebih muda dariku. Lalu dia
berkata lagi: ”Pulanglah.. !, aku dan Joy akan menyusul pulang setelah tahun
baru”
---------------------------------------
27 Desember
Sepanjang hari ini, kami pergi ke rumah sakit yang
berjarak cuma 1 kilometer meter dari pantai, tapi terletak sekitar 700 meter
diatas bukit curam yang tinggi. Kami membantu mengangkat para korban dari
ambulans kedalam rumah sakit. Dengan
pengetahuan P2K seadanya, kami bertiga mencoba membantu para korban selamat
yang terluka dan menyerahkan pada para dokter untuk ditangani lebih lanjut.
Kami melupakan makan pagi dan hanya sempat makan siang
sedikit yang disediakan oleh masyarakat Thailand di Phuket lalu kami kembali
bekerja sampai malam hari tiba dan kami beruntung bisa mandi dari sumur jernih
dibelakang rumah sakit. Membersihkan tubuh dan pakaian dari kotoran dan noda
darah.
Setelah mendapat jatah sepotong Roti, kami bertiga
meringkuk di pojok teras dan ingin segera berisirahat. Tak ada keinginan
bicara, bahkan Joy yang biasanya cerita, tak terdengar bercanda. Tragedi yang
amat masive ini membuat kami membisu.
Aku merapatkan badanku ke Firman dan berlindung
didadanya yang bidang sambil menyembunyikan wajahku didalam ketiaknya!.
Dekapannya yang kokoh dan aroma keringat di ketiak Firman yang berbau khas,
tercium pekat di hidungku, membuatku tergiur oleh kelaki lakian Firman. Aku
membuka kancing kancing kemeja Firman dan menyusupkan tanganku ke dadanya yang
agak berbulu.
Firman tahu persis gelagat sikapku yang seperti itu,
dan biasanya dia akan menuruti keinginanku, tapi dia justru menahan tanganku:
”Tirak...., jangan malam ini sayang...!”
Ya!, betapa bodohnya aku!, betapa rendahnya!. Kenapa
ditengah kesengsaraan manusia yang sedahsyat ini aku masih menginginkan
kelelakian Firman?. Aku sungguh merasa tak bermoral...!. Aku sangat malu.
-----------------------------
Memang begitulah!. Aku memang sudah terlanjur jadi
sangat ketergantungan oleh kejantanan Firman, sepeti malam ini. Keterlaluan!,
aku bisa sampai lupa diri seperti ini!.
Hidup serumah dengan Firman ternyata membawa
konsekwensi tersendiri bagiku karena sebagai seorang laki laki remaja berumur
20 tahun yang jantan dan sehat sempurna Firman perlu menyalurkan kebutuhan
biologisnya secara rutin, sehingga sasarannya, aku yang harus melayani darah
mudanya, bahkan sampai 2-3 kali setiap harinya.
Sehari hari kami menjalani kehidupan biasa yang wajar
seperti pria normal lainnya; dan diluaran Firman tetap bersikap sopan dan
menghormatiku sebagai orang yang lebih dewasa, akan tetapi dibalik pintu rumah
yang tertutup, sikapnya berubah bagai seekor harimau buas yang siap menerkam
mangsa yang tak berdaya dan mencabik cabik tubuhku dengan taringnya yang besar.
Secara fisik, tubuhku mungkin sudah tidak sempurna
sebagai lelaki sejati akibat terlampau sering ”dipakai” oleh Firman, dan aku
jadi sangat ketergantungan oleh kejantanan dirinya. Tapi aku rela, pasrah dan bahagia karena
merasa dibutuhkan oleh laki laki yang kupuja. Dan Firman bukan pemuda egois!,
karena dia selalu memastikan agar aku juga mendapatkan kesenangan dan kepuasan
bathin yang dia berikan. Manakala tubuhku mulai menggelepar gelepar bagai
seekor ikan yang sekarat dan terlonjak dalam puncak klimaks, barulah giliran
dia menyempurnakan proses persenggamaannya dan memuntahkan benih benih manusia
kedalam tubuhku.
Tapi bukan hanya seks yang kami lakukan, kami juga
saling mengisi, membantu, menyemangati dan menjalani kehidupan yang senyata
nyatanya. Aku mencintai Firman karena dia seorang muslim yang saleh, tak
sekalipun dia meninggalkan sholat 5 waktu yang selalu diakhiri dengan sujud
taubat. Dia berumur 5 tahun jauh lebih muda dariku, tapi aku tetap menganggap
dan menghormati dia sebagai seorang manusia dewasa. Tak sekalipun aku pernah
atau ingin berpaling dari dia. Aku mencintai dia setulusnya dan ingin hidup
bersama dia.
-----------------------------------
Akhirnya tanggal 28 Desember aku memutuskan, OK, sudah
waktunya aku pulang. Aku pulang lewat Phang Nga, ke Bangkok dan terbang ke
Jakarta.
Entah apa yang menungguku disana!.
Siapa tahu ada yang bisa kubantu disana, di negriku
sendiri!.
Kutinggalkan Firman dan Joy berdua.
Belum 1 jam penerbangan di pesawat, bayangan wajah
Firman tak pernah lepas dari pikiranku. Senyum dan gelak tawanya menemani
perjalananku, membuatku menggigil. Ya...!, hubunganku dengan Firman sudah
terlampau jauh dan terlampau dalam.
---------------------------------------
Tapi hari ini, 4 Januari 2005, sudah 6 hari
kutinggalkan Firman!.
Malam tahun baru sudah lewat 4 hari dan belum ada
kabar berita dari Firman.
Hubungan komunikasi sama sekali terputus.
Siang hari, aku memang mudah melupakan bayangan Firman
karena aku sendiri sibuk melibatkan diri bersama kelompok yayasan yang
melakukan pengiriman bantuan bagi para korban di Aceh.
Tapi malam hari aku kembali merindukan Firman.
Firman bilang dia akan kembali setelah malam tahun
baru.
Kenapa dia belum menghubungi aku...?, kapan dia pulang...?,
Kemana Firman-ku.....,Tirak-ku...!.