Minggu, 23 Agustus 2015

KISAH DENDAM BISEKS MATRE



 Masa kecil yang tidak bahagia dan penyiksaan seksual yang aku alami telah mengubah diriku mennjadi seorang pendendam. Targetku, siapa saja kaum gay yang tertarik padaku.

Ketika berusia 12 tahun aku ‘diperkosa’ seorang pria homoseks berwajah seram di terminal tempatku berjualan koran. Dan kini, ketika usiaku beranjak dewasa dengan modal wajah tampan aku berkelana di tengah-tengah komunitas mereka. Tujuanku, mencari gay kaya dan menguras seluruh harta dan ‘perasaan halus’ mereka.

Suatu sore berkabut diawal bulan Desember 1993 aku berjalan gontai sambil menenteng koran sore di Terminal Cicaheuem, Bandung. Rinai hujan mulai turun yang akhirnya membawaku berteduh di sebuah pos keamanan terminal. Tiba-tiba seorang pria berwajah seram ikut pula berteduh di sana. Karena sudah terbiasa bergaul dengan dunia keras, aku tidak peduli dengan wajahnya yang penuh codet. Aku berpikir, mungkin dia seorang preman terminal yang takut dengan gerimis.

Setelah menyebut namanya – Bang Rony--,  dia kemudian mengajakku mengobrol. Tentang mengapa aku harus menjadi penjual koran dan berkeliaran di terminal. Padahal menurutnya aku lebih pantas berada di rumah sambil membuka-buka buku untuk persiapan belajar di sekolah esok hari. Dia juga mengaku kagum dengan tubuhku yang bersih dan wajahku yang tampan dibanding penjaja koran lainnya. Sebaliknya dia juga bercerita tentang dirinya yang sudah sejak lama ‘menclok’ dari satu terminal ke teminal lain di kawasan Bandung untuk menyambung hidup. Pendeknya, kami terlibat obrolan yang cukup mengasyikkan.

Tak dinyana, esok harinya aku kembali bertemu dengan Bang Rony. Aku sendiri tidak peduli apakah itu nama dia sebenarnya atau bukan. Sore itu dia kembali mengajakku ngobrol. Kali ini bukan di pos keamanan, melainkan di dekat sebuah WC umum yang kebetulan sepi. Semerbak aroma kotoran manusia tidak kami pedulikan. Aku tidak tahu mengapa aku begitu senang berbincang dengannya, meski kadang aku bergidik melihat bekas-bekas luka di wajah buruknya.

Di tengah perbincangan, tiba-tiba pria itu ingin kencing dan entah mengapa aku jadi ikut ketularan. Biasalah, musim hujan. Setelah selesai, tanpa pernah kuduga sebelumnya, Bang Rony menarik tubuhku dan menciumi wajahku. Tentu saja aku sangat terkejut dengan apa yang dilakukannya.

Belum hilang debar dan ketakutanku, Bang Rony langsung menarikku ke dalam kamar mandi yang semuanya sedang kosong. Aku tidak tahu kemana perginya penjaga WC. Padahal dalam kondisi seperti itu bisa saja penjaga itu memergoki perbuatan buruknya dan aku bisa selamat. Namun karena situasi yang begitu sepi, aksi Bang Rony tak tertahankan. Tangan kasarnya membekap mulut, sementara tangan yang lainnya mendekap tubuhku.

Posturnya yang besar tentu saja tidak sebanding dengan tubuhku yang ringkih. Saat itulah dia mensodomi pantatku. Sementara dia menghujamkan ‘senjatanya’ di bagian belakangku, tangannya yang satu lagi membekap mulutku dengan kasar.

Hampir saja aku tidak bisa bernapas karenanya. Hampir dua jam aku mendekam di WC yang berbau pengap itu. Karena menahan sakit yang demikian pedih, air mataku pelan-pelan menetes. Berkali-kali aku mengambil air untuk mencuci bagian belakang tubuhku yang sempat mengeluarkan darah.

Aku bahkan tidak memperdulikan teguran penjaga WC yang menyuruhkan segera beranjak dari sana. Ketika senja menjelang barulah aku sanggup melangkahkan kaki dengan tertatih-tatih pulang ke rumah. Namun, semua peristiwa buruk yang terjadi sepuluh tahun silam itu hanya tinggal kenangan.

Kini tiada lain yang ingin kulakukan selain mencari Bang Rony dan membunuhnya dengan darah berceceran dari tubuhnya seperti bercecerannya darah dari tubuhku ketika dia meninggalkan aku di kamar mandi WC umum Terminal Cicaheum, Bandung.

Sampai sekarang, saat aku sudah mandiri bahkan bisa mengangkat derajat ekonomi keluarga, aku tidak tahu apakah Bang Rony betul seorang gay. Bisa jadi dia hanya seorang penganut pedophilia yang gemar mencari kepuasan di dalam diri anak-anak seperti aku dulu. Namun setelah aku mengerti, ternyata gay pun mencari kepuasan dalam bentuk sama seperti yang pernah dilakukan Bang Rony. Itu sebabnya aku sangat ingin membuat para gay tersiksa dengan balas dendam yang akan kulakukan.

KING SIZE--Dan pertanyaan itu kulontarkan pada Beni, pria pengidap kelainan seks yang sangat menginginkan aku menjadi kekasihnya. Perjumpaan kami berawal secara kebetulan. Saat itu  kami berjumpa di rumah makan cepat saji di kawasan Jalan Thamrin. Dia tak tampak seperti gay. Tubuh atletisnya, membuat siapa pun terkecoh. Belum lagi dia berasal dari keluarga kaya raya dan sekarang memegang jabatan penting di sebuah perusahaan retail besar di Jakarta.
Aku memang tidak pernah bertanya dari mana keluarga Beni memperoleh kekayaan demikian banyak. Namun yang jelas sejak awal jumpa dia menceritakan, ayahnya memang seorang developer sukses dan memiliki beberapa perusahaan retail. Dan kini Beni dengan satu orang adik perempuannya hanya tinggal menangguk hasil dari kesuksesan orangtuanya.

Dibawa rasa ingin membalas dendam, akhirnya tawaran Beni untuk tinggal bersama di apartemennya kukabulkan. Sambil terus berkutat dengan pekerjaanku sebagai staf ekspor impor sebuah perusahaan sawmill di daerah Jakarta Utara, aku tetap melayani Beni di ranjang seperti yang dia inginkan.

Hingga pada akhirnya Beni mengaku belum puas hanya sekedar ‘bergulat’. Dia ingin aku melakukannya dari tubuh belakangnya. Sambil merengek meminta aku melakukan hal itu, Beni berjanji akan membelikan aku sebuah sedan keluaran terbaru dan selanjutnya akan membelikan aku sebuah rumah di kawasan mewah di Jakarta Barat.

Awalnya enggan, namun saat membayangkan kemewahan yang akan kuraih, akhirnya aku menguatkan hati agar bisa melakukannya. Setelah benar-benar siap, ternyata aku bisa juga bahkan berhasil mencapai puncak tanpa memikirkan Beni yang menjerit-jerit saat dihujami senjataku yang kebetulan memang king size. “Kamu memang benar-benar hebat,” ujar Beni seperti bangga dengan apa yang sudah kulakukan padanya, padahal aku yakin dia belum mendapatkan keinginannya.

Satu minggu kemudian aku dibawanya pergi ke show room untuk memilih sedan apa yang kuinginkan. Dan satu bulan kemudian dia membawaku mengurus surat-surat rumah yang semuanya atas namaku. Perasaanku sungguh melonjak dengan apa yang dilakukan Beni. Dalam hati aku berpikir, karena seluruh dokumen dua barang berharga itu sudah dalam genggamanku, nantinya dengan mudah aku bisa menjual kembali semua yang sudah diberikannya. Selanjutnya, good bye, Beni.

Aku akan kembali ke pangukuan Lia, calon istriku di Bandung yang kupacari sejak kami duduk di bangku kuliah. Selama ini Lia hanya tahu bahwa aku adalah seorang anak manis yang berhasil mengangkat derajat keluarga. “Melihat kisah hidupmu yang pernah membantu orangtua dengan cara berjualan Koran membuat aku semakin mengagumimu,” demikian satu kali Lia memujiku. Kata-kata Lia yang lemah lembut seringkali membuatku ingin menangis diam-diam bahwa sebenarnya kekasih yang dia kagumi tak lebih dari seorang pendosa besar.

Ingin pula aku memendam perasaan dendam itu agar nantinya Lia semakin mencintaiku, tetapi aku tak sanggup. Dalam setiap langkah dan helaan napasku yang terbayang hanyalah bagaimana kejamnya Bang Rony terhadap anak berusia 12 tahun yang belum tahu akan kejamnya dunia.

Dalam setiap tidurku yang seringkali terimpikan hanyalah bagaimana sadisnya orang dewasa memperlakukan anak-anak tanpa memikirkan dampak apa yang akan terjadi pada masa mendatang. Kembali, ingin aku menumpahkan segala kepedihan dengan menangis, tetapi air mataku rasanya sudah kering.

PRIA KANADA--Tepat empat bulan berhubungan dengan Beni, apa yang menjadi harapanku akhirnya bisa terujud. Harta berlimpah sudah kuperoleh dan harga diriku sebagai seorang lelaki bisa kuselamatkan. Aku bukan gay seperti yang diperkirakan Beni selama ini. Apa yang kulakukan terhadapnya tidak tempat tidur tidak lebih dari sekedar bentuk balas dendamku terhadap Bang Rony. Bila kupikirkan lebih jauh lagi sebenarnya aku tidak tega, namun ini semua sudah menjadi tekadku.
Cukupkah hanya sampai di sana? Ternyata tidak. Perasaan dendam itu ternyata belum juga terbalaskan. Itu sebabnya aku kembali berkelana mencari gay-gay kaya untuk kemudian menggaet harta dan perasaan mereka seperti yang sudah kulakukan terhadap Beni.

Mungkin karena ketampanan wajahku, apa yang kuinginkan dengan cepat terujud. Kini aku berjumpa dengan seorang gay asal Kanada bernama Mark yang bekerja sebagai konsultan di sebuah perusahaan besar di bilangan Sudirman, Jakarta.

Dan hanya dalam beberapa bulan aku kembali meninggalkan Mark dalam rasa sakit hati yang dia rasakan. Aku tidak peduli, toh aku sudah mendapat apa yang kuinginkan dalam bentuk deposito yang jumlahnya bisa mencukupi hidupku, kelak. Sampai akhirnya aku tidak bisa beranjak dari dendam itu.

Berkali-kali aku berjumpa dengan jenis gay yang kuinginkan, berkali-kali pula aku berhasil menguras harta mereka dan selanjutnya beristirahat di sebuah villa di Puncak dengan Lia. Mereguk kenikmatan yang sebenarnya dengan wanita yang masih sanggup membuatku menjadi pria sejati.

Hanya satu hal yang kini bermain-main dalam pikiranku dan kadang-kadang juga membuatku khawatir. Apakah aku memang sudah menjadi gay yang sebenarnya atau apakah aku sudah terjerumus ke lembah dunia yang lebih sadis, yakni menjadi seorang biseks sejati.

*Dikisahkan Iwan di Bandung kepada Rayu




Tidak ada komentar:

Posting Komentar