Senin, 17 Agustus 2015

Tsunami Cinta di Phuket

http://dewarajasa.blogspot.com/2013/03/saat-itu-aku-dan-firman-berada-di.html

December 25 (Hari Natal )

Aku dan BF-ku, Firman, serta teman kuliahnya, Joy yang sama sama jadi instruktur Fitnes, berangkat ke Patong Beach, di Phuket di bagian selatan Thailand selama 5 hari untuk libur, bersantai dan having fun.

Kami tiba masih agak pagi, tepat pada hari Natal, tanggal 25 desember dan langsung menuju Club One Seven, sebuah hotel tepat dipinggir pantai Patong yang sudah aku pesan sebelumnya. Pihak Hotel sudah mengaturkan penjemputan dari airport ke hotel, kami tiba.

Setelah check-in, Firman mengedipkan mata kearah Joy supaya tidak diganggu lalu menarik aku masuk.  Didalam kamar Firman berkata: “Saya kangen…!” dan langsung ‘menerkamku’, lalu dia menyalurkan keinginan yang dia bilang ’sudah ditahan dari semalam’ (malam sebelumnya kami memang sibuk nge-pak barang dan langsung tidur).  Tubuhku tersambung sempurna jadi satu dengan tubuh telanjang Firman lalu “Ooooooohhhh…..!”, dia menggiringku selama 1 jam lebih dengan permainan cintanya yang menggetarkan bathinku, dan pada puncaknya dia limpahkan sari pati kejantanan tubuh remajanya untuk menyatukan jiwa dan raganya kedalam tubuhku dan bercampur bersama aliran darahku.

Baru sekitar jam 10 pagi, kami keluar dan menyewa 2 buah motor untuk berkeliling Phuket bertiga. Kami senang sekali hari itu sehingga aku nekat mau mencoba mengendari motor, padahal sudah belasan tahun aku tidak menaiki motor) dan ternyata 2 kali aku menambrak tong sampah dan pohon sampai motor itu baret baret. Aku bilang biarlah kita bayar saja ongkos kerusakan itu dan meneruskan perjalanan siang itu untuk menjelajahi Phuket dan makan siang.   Siang harinya, aku menemui Daniel (manager hotel) untuk memesankan speed-boat untuk tour singkat ke pulau Phi Phi di sebrang Phuket. Tempat yang indah dengan pantai yang memikat.

Malam harinya kami makan diluar. Kami memilih restoran seafood dan kulihat Firman lahap menyantap udang dan kepiting!. Setelah itu kami mampir disebuah disco terbuka di pinggir pantai, bersenang senang dan dansa bertiga, cowok sama cowok, satu tinggi kurus, berkulit agak putih (aku) dan 2 pemuda tinggi kekar, berkulit sawo matang (Firman dan Joy), tapi tidak masalah, karena masyarakat Thailand amat toleran, termasuk pergaulan sejenis, selama tidak dilakukan ditempat umum.

Beberapa pria bule gay yang ada disitu jelas jelas memberi perhatian istimewa pada Firman dan Joy yang malam itu nekat berdansa bertelanjang dada. Firman dan Joy adalah dua pemuda yang sama sama tampan, mereka aktif  ikut olah raga sebagai binaragawan di kampus dan mereka bekerja paruh waktu sebagai instruktur fitness. Mereka berdua adalah para pemuda yang amat sexy dan Firman terlihat sangat tampan malam itu.

Joy sepertinya masih menikmati suasana disko itu, tapi saat Firman mengedipkan mata lagi sambil merangkul bahuku, Joy balas mengedipkan mata tanda dia mengerti keinginan Firman.. Akhinrya sedikit lewat tengah malam kami kembali ke kamar untuk tidur karena aku merasa sangat capai dan lelah (tapi well…, Firman langsung mendorongku ke kasur: ”Saya lagi kepengen....” lalu dia mengajakku bercinta dulu, yang amat lama dan melelahkan, tentu karena seafood yang Firman santap dan membakar darah mudanya. Kucoba mengimbangi untuk menyenangkan dia).

----------------------------------------------

Firman kuliah sambil bekerja di Jakarta. Keluarganya tinggal di sebuah desa kecil dekat Kuningan-Cirebon, diperbatasan antara Jawa Barat dengan Jawa Tengah, yang disebut Cimanggu. Keluarga Firman tidak pernah tahu kalau dia punya pacar sesama lelaki. Mereka tidak tahu bahwa kami tinggal bersama, bahkan sudah hidup serumah selama 1½ tahun.

Sejak lahir sampai lulus SD Firman tinggal bersama orang tuanya; kemudian pada usia 12 tahun dia mulai tinggal di Pondok Pesantren selama 6 tahun, untuk sekolah Tsanawiyah, setingkatan SMP sampai dia lulus pendidikan setingkatan SMU. Sebagai seorang Santri, Firman tentu tidak mungkin memberi tahu keluarganya bahwa dia sekarang tinggal serumah dengan sesama pria. Aku sendiri seorang ’undercover’ selama 22 tahun awal pertama dari hidupku, sehingga aku dapat mengerti situasi yang dihadapi Firman.

Aku sebenarnya sudah cukup lama membicarakan keinginan untuk menemui keluarga Firman; bahkan Firman sudah setuju membuat rencana dan jadwal untuk mengunjungi mereka. Tapi beberapa hari yang lalu Firman menyampaikan 3 kata penting kepadaku: ”Saya belum siap“.

Aku sebenarnya bisa membuat keributan dan berkata, “Kamu tidak mencintai aku!“, atau kata kata bodoh lainnya, tapi aku sungguh sungguh mengerti perasaan Firman. Sebagai pemuda belia berusia 20 tahun, dia pasti sangat tertekan oleh dua kehidupan yang dia jalani bersama aku saat ini.

Selama 12 tahun bersama orang tuanya dan 6 tahun sebagai santri di Pondok Pesantren, orang tua Frman, saudara saudaranya dan para tetangga di desanya sangat membanggakan Firman dan masih ’menunggu’ Firman sampai ”jadi orang terpandang” di kota. Firman khawatir kalau mereka tahu dia punya pacar lelaki, mereka akan berubah pikiran. Tahu sendiri, remaja dari desa kecil pergi ke ibu kota dan ”dimanfaatkan oleh ____________ (isi sendiri deh). Aku membiarkan Firman tahu kekecewaanku , tapi aku juga sangat mencintai dia dan tidak bermaksud menekan untuk membuat keputusan. Aku yakn, pada saatnya siap, dia akan memberi tahu aku.

Batal pergi ke Cirebon, akhirnya aku memutuskan untuk mengajak Firman pergi berlibur merayakan tahun baru di Thailand, ke Phuket!. Phuket adalah sebuah pulau di selatan Thailand yang merupakan daerah tujuan wisata populer yang didatangi oleh wisatawan dari berbagai negara di dunia untuk berlibur. Firman mengajak seorang sahabatnya: Joy. Aku juga menyukai dia. Joy bukan pemuda gay dan sama sekali belum/tidak pernah melakukan hubungan sejenis dengan laki laki manapun. Joy seorang pria straight tapi terbuka menerima hubungan sahabatnya Firman dengan aku. Joy orang yang periang, banyak bercanda, sering membuat aku tertawa dan sangat sopan.

Aku yang pertama menawarkan Firman untuk mengajak Joy. Joy pasti mengerti kalau aku juga ingin berduaan dengan Firman selama beberapa jam setiap harinya. Joy sangat pengertian dan ”easy going” dan aku yakin dia tidak akan tersinggung.  Firman berterima kasih atas ideku mengajak Joy dan akhirnya kami akan berangkat bertiga keesokan harinya, tepat pada hari Natal, tanggal 25 Desember 2005. Kami rencana akan tinggal di Phuket 4 hari lalu pindah ke Bangkok, tinggal dengan Oom Alex, seorang pamanku yang punya sebuah apartemen disana.

-------------------------------------------------------

December 26th ( Sehari setelah hari Natal)

Masih amat pagi sekali, Firman membangunkan aku dan mengajak mandi air panas berdua (ada ada saja!) tapi dikamar mandi dia mencumbu aku, dan ya, aku tahu akhirnya Firman menyeret aku ke tempat tidur dan menggumuliku: “Tirak…, aku mau lagi…” (”Tirak” adalah ungkapan bahasa Thailand untuk ”Sayangku”), lalu dia minta bercinta lagi  (aku sudah 2 tahun kenal Firman sejak dia baru masuk kuliah pada usia 19 tahun dan sudah 1½  tahun hidup serumah dengan dia, sehingga aku mengerti dan bisa menerima setiap kali pemuda 20 tahun yang berdarah panas ini “ngotot” dan tak peduli waktu minta dilayani. Lagipula aku ada disitu untuk kesenangan dia kok).

Jam 8
Pagi itu, Firman baru selesai “ngerjain” aku dan aku masih berbaring telanjang dirangkul Firman sambil menyusupkan wajahku kedalam ketiaknya, saat kurasakan goyangan gempa!. Goncangannya AGAK RINGAN dan aku tidak memperdulikannya, Firman juga cuek, lalu aku ke kamar mandi dan segera menyuruh Firman mandi karena aku ingat sudah menyewa speed-boat jam 10.00 untuk tour ke pulau Phi Phi.

Aku pergi duluan untuk sarapan di balkok coffee shop dengan pemandangan langsung ke taman, kolam renang dan ke arah pantai. Saat itulah aku menerima SMS dari Oom Alex di Bangkok. Dia tanya apakah aku tahu ada gempa bumi skala 8.5 Richter di lepas pantai utara Sumatera?. Aku berhenti makan dan buru buru cek internet (meja reception cuma turun tangga satu lantai, di bagian basement, dibawah restoran). Aku  membaca berita mengenai gempa seperti yang kurasakan waktu di kamar, WOW!, 8,5 skala Richter, itu gempa yang besar!. Kemudian aku kembali ke Coffee shop untuk meneruskan sarapan.

Nah, pada saat kembali ke balkon coffee shop, kulihat banyak sekali tamu tamu hotel yang lain sedang berdiri dipingging jalan. Hotel kami terpisah oleh jalan dari pinggir pantai. Dan saat kuperhatikan, aku melihat pemandangan yang sangat aneh!. Lautan seperti menghilang!. Garis pantainya mundur jauh sampai 1 kilometer. Seperti lautan sedang surut, tapi SANGAT SANGAT SURUT. Kulihat beberapa orang Thailand malah berlarian kearah pasir pantai yang biasanya terrendam air laut dan mengambil ikan ikan yang bergeletakan di pantai yang sudah kering. Ada juga beberapa pasang turis bule di kursi kursi sedang berdiri memperhatikan kejadian aneh tersebut.

Dan tiba tiba entah dari mana!, air laut kembali!. Datang dari jauh dengan cepat dan berombak besar!. Saat itulah aku menyadari apa yang akan terjadi!.

Aku berlari kekamar sambil berteriak teriak membangunkan Firman dan Joy yang masih ada dikamar masing masing. Hotel kami berlantai 5 dan kamar yang kami tempati berada di ground floor, lantai bawah. Joy ada dikamarnya sendiri, sudah mandi dan ternyata sedang memandang ombak besar yang datang dari kejauhan, lalu dia mengikutiku. Aku masuk ke kamar Firman yang sedang duduk di WC dan pintunya dikunci dari dalam.

Pintu itu terbuat dari kaca buram dan Joy menggedor pintu sambil berteriak teriak pada Firman, menyuruh keluar.  Eh!, Firman malah berteriak balik karena merasa ketenangannya di WC terganggu!. Joy memang tukang bercanda dan sering iseng mengganggu orang sehingga Firman menduga Joy sedang bercanda.  Aku segera menyuruh Joy mengambil barang2 yang bisa diambil sedangkan aku memaksa Firman segera membersihakan diri dan keluar lalu kudorong dia naik kelantai atas. Pada saat itu air laut sudah mencapai halaman depan hotel dan kolam renang!. Bagian basement dan ruang reception sudah terendam air!, dan menuju arah kamar kami.

Aku berteriak pada Firman untuk mengambil tas dia dan lari keatas. “Ada apa?” tanyanya dengan kebingungan. Aku berteriak lagi: “Naik!, naik keatas ada banjir!”. Firman menyambar tas dan dompet dan aku segera mengikuti dari belakang. Dia naik satu lantai tapi aku mendorong dia: “Terus naik!, naik lagi keatas!”. Dia menuruti aku!. Dia terkejut dan terlihat schok tapi belum sepenuhnya mengerti apa yang sedang terjadi. Pada saat itu air laut sudah 1 meter tingginya ditempat kamar kami dan terus naik cepat, makin tinggi.

Kami sampai di lantai 4 dan melihat dari balkon apa yang sedang terjadi.  Sepanjang jalan kiri kaman tidak ada apapun yang terlihat kecuali pucuk pucuk pohon cemara dan air.., air..., air...!. Motor dan mobil mobil mengambang.  Kami melihat air laut terus bertambah. Tidak!, ombak itu BUKAN 10 METER tingginya, mungkin cuma 3-4 meter tapi tak berhenti dan terus menerjang disepanjang pantai Phuket.

Kami mendengar suara atap seng yang restoran sebelah yang rubuh. Kami melihat banyak kapal kapal speed-boat terjebak didalam gulungan ombak dan terdorong jauh ke daratan. Dan mendadak ombak baru datang lagi, dan masuk lebih jauh kearah daratan. Ombak yang pertama dan kedua adalah yang TERBESAR.  Setiap kali ombak mundur kembali, dia menyeret semua benda, barang, dan mahluk hidup kearah laut, lalu akan segera diikuti oleh gulungan ombak yang berikutnya, dan kembali ke arah lautan dan terus menerus, tanpa henti. 

Sekitar 1½ jam kami terjebak di balkon lantai 4 dan gulungan ombak mulai melemah dan makin jarang. Setiap kali kami berniat untuk mengambil barang barang lain atau berlari kearah jembatan dibagian perbukitan, mendadak ombak datang tanpa terduga. Kami melihat ada 4 orang yang terjebak dietempat yang “agak aman” di hotel sebelah, tapi mereka berusaha lari ke jembatan, dan ternyata ombak datang menerjang dan menyeret mereka kelaut.

Kami menunggu sampai air menyurut dan setelah 15 menit kami berlari kearah jembatan di perbukitan. Firman tidak memakai sepatu yang terbawa ombak. Aku menemukan sepasang sepatu milik di kamar orang lain yang kosong dilantai 4 ini dan “mencuri” sepatu itu untuk Firman. Ya!, betul secara teknis, aku memang “mencuri” sepatu itu dan aku bersalah! . Jalanan dipenuhi oleh pecahan kaca dan kekasihku membutuhkan sepatu!, masalahnya selesai!.

Kami berlari sekitar 1 kilometer ke arah jembatan ditempat yang lebih tinggi. Beberapa kali kami berhenti dan melihat kebelakang kearah air yang sesekali masih datang. Seorang polisi yang terlihat panik, beberapa kali berteriak menyuruh kami terus berlari. Sesampainya di jembatan kami bertemu dengan Daniel, manajer hotel yang memberi petunjuk arah pada kami. Dia berusaha mencatat nama nama tamu dan karyawan yang selamat dari becana itu. Dia tidak menemukan asisten manager dan beberapa karyawan dia yang mungkin terjebak di basement. Daniel menyarankan kami agar naik lebih tinggi ke sebuah hotel: Baan Yee Dee, dia bilang kita akan berkumpul disana. 

Aku mulai berjalan naik diikuti Firman dan Joy, tapi tak lama kemudian mereka sudah menyusulku sehingga Firman menggandeng tanganku dan harus memapahku naik makin keatas sampai ke puncak bukit, puncak yang PALING TINGGI. Dari situ kami bisa melihat kebawah, ke pantai Patong Beach and memperhatikan seluruh kejadian yang dramatis itu.

Hotel Baan Yee Dee ternyata sudah penuh orang.  Kelihatannya semua orang dari daerah pantai datang ke hotel ini. Karyawan hotel membagikan air minum kepada kami dan menunjukan jalan kearah buffet breakfast, meja sarapan yang sudah mereka persiapkan. Semua itu mereka sediakan gratis!, tanpa bayaran. Kami SANGAT menghargai kebaikan mereka!. Joy bilang dia tidak lapar, tapi Firman memaksa dia karena belum tentu mereka bisa mendapatkan makanan lagi setelah ini sehingga Joy mau makan sedikit kentang dan buah buahan.

Beberapa orang Thailand datang ke hotel dengan nasi dan lauk pauk dari rumah mereka dan membagikan pada orang orang yang berada di lobby hotel.  Aku terharu melihat mereka begitu tanpa pamrih membatu orang yang sedang membutuhkan. Orang orang Thailand memang sangat bijak, baik dan penuh hormat, tanpa perhitungan, dan sangat sopan!, paling tidak, begitulah yang selama ini aku alami dan temui.

Saat kami masih makan, Joy berkata: “Sekarang kamu tidak usah mengganti kerusakan motor yang kamu tabrak!”. Firman dan aku melihat kearah Joy dan meledak tertawa!, maksudku kami benar2 tergelak gelak tertawa seperti orang kesurupan!.. Ya, ampun masih sempat dia bercanda!. Orang orang disekitar memandang kami dan mungkin berfikir kami sudah gila gara gara musibah ini. Tapi itulah pereda-stress paling sempurna!. Joy memang punya cara yang lucu dalam bercanda!.

Aku men-cek HP dan eh!, ternyata DTAC (provider HP di Thailand) ada sinyal, sehingga aku buru buru mengirim SMS kepada Oom Alex di Bangkok dan keluargaku di Bandung lalu menyampaikan bahwa aku selamat dan baik baik saja. Mamah menjawab dan menyuruh kami segera pulang ke Jakarta.

--------------------------------

Keluargaku tahu aku berlibur di Phuket, tapi mereka tidak pernah tahu hubungan-khususku dengan Firman. Aku pertama mengenalnya saat dia baru masuk kuliah sebagai mahasiswa baru yang nyambi kerja paruh-waktu sebagai instruktur Fitness tempat aku berlatih.  Usia Firman saat itu baru 18-19 tahun, masih sangat muda belia dibanding aku yang sudah merayakan ulang tahun yang ke-24. 

Entah karena tak berpengalaman atau terlampau lugu, Firman menerima persahabatan dan ajakanku untuk jalan berdua, makan makan, nonton atau pergi clubbing ke berbagai CafĂ©, bahkan akhirnya mau kuajak menginap dirumahku di Jakarta.  Akhirnya Firman mungkin sadar alasan kedekatanku  kepada dirinya sehingga pada malam-pertama itu dia tak menolak jamahan tanganku dan mau mengimbangi keinginanku.

Terus terang, aku merasa bersalah karena menjerat seorang pemuda berumur 19 tahun yang masih polos untuk melakukan hubungan seks yang mungkin baru pertama dia lakukan semumur hidupnya, baik dengan wanita apalagi dengan aku yang sama sama berjenis kelamin lelaki.

Aku tak pernah menanyakan, apakah itu pengalaman seks pertama dia, dengan  pria atau wanita. Yang jelas, Firman gemetar  dan dia terlihat canggung seolah olah, sama sekali tak tahu apa yang harus dilakukan dalam hubungan seperti itu, tapi malam itu Firman menyerahkan semua yang dia miliki untukku.
.   
Aku sungguh tak menduga!, walau masih sangat muda belia, Firman punya kelebihan ukuran dan tenaga yang tak dimiliki oleh laki laki lain dan ternyata dia terlahir sebagai seorang pejantan yang amat tangguh..Dan mungkin itulah yang membuatku menyerah sampai bertekuk lutut pada malam pertama dan aku langsung lengket pada Firman.

6 bulan setelah itu Firman setuju saat kuajak untuk hidup besamaku lalu tinggal serumah, dan melakukan hubungan seperti suami istri setiap malam.

--------------------------------------

Kami bersitirahat disitu sekitar 1 jam atau lebih dan setelah itu Firman mengajak aku dan Joy untuk ikut bersama beberapa turis bule yang berani, keluar dari hotel dan turun kebawah, untuk malihat keadaan dan mencoba membantu semampu kami. Disitu kami dengar bahwa Pulau Phi Phi yang tadinya akan kami kunjungi, diterpa ombak yang lebih dahsyat.

Saat kami berjalan turun, aku lihat orang orang masih berlarian kearah bukit.  Orang orang yang naik motor, berjalan di jalur yang salah dan semuanya kearah yang sama. Situasinya tak terkendali dan sangat panic. Aku tidak tahu kenapa mereka begitu panik. Mungkin karena barusan ada kabar bahwa akan ada terjangan ombak susulan. Aku bilang pada Firman sebaiknya kita kembali ke atas tapi Firman bilang: “Tidak apa apa!, jangan takut!, AKU AKAN MENJAGA KAMU” lalu dia bilang lagi “KAMU TERLALU KHAWATIR!”.  Wah!, kata kata dia yang terakhir menonjok ke ulu hatiku!.

Selama ini Firman memang sering bilang bahwa aku sering terlalu khawatir, dan katanya dia kuanggap tidak pedulian.  Tapi kali ini ternyata Firman betul!, TIDAK terjadi ombak susulan. Aku cuma terlalu khawatir.

Berjalan dalam genggaman tangan Firman, yang terlihat didepan mata kami adalah musibah manusia yang amat dahsyat dan mencekam!. Tubuh manusia berseerakan dalam keadaan menggenaskan, rumah, hotel, mobil, motor dan bangunan hancur diterpa gelombang. Entaah berapa banyak manusia dan mahluk hidup lainnya yang terseret ombak dan ternggelam di lautan. Teriakan minta tolong dan jeritan kesakitan orang orang yang terluka membuat kami bingung siapa yang harus didahulukan. Tapi dalam situasi itu, kebangsaan, agama, derajat dan warna kulit, bersatu padu membantu orang orang yang membutuhkan.

Tidak terasa, entah berapa lama kami membantu mengangkat orang orang yang terluka kedalam ambulans atau kendaraan apapun yang tersedia, memberi minum pada yang kehausan. Rasa capai dan lelah, tersedot oleh kengerian yang harus dialami orang orang lain. Kami lebih sehat, kami lebih kuat dan kami lebih mampu membantu mereka. Hanya itu yang dapat kami lakukan. Kami tidak dapat meredakan kesedihan dan tangisan orang orang yang kehilangan.

Tangis pilu, jeritan, rintihan dan doa terus bergaung disekitar kami. Rasanya semua yang kami lakukan tidak ada hasilnya karena masih begitu banyak orang yang membutuhkan bantuan dan terus berdatangan sedangkan tenaga kami mulai terkuras sampai akhirnya sekitar jam 19.00 aku bilang pada Firman untuk beristirahat terlebih dahulu, lalu pergi ke hotel Nipa Villa yang juga terletak di perbukitan dan berbaring dekat sofa di lobby, langsung tertidur pulas. Sementara Firman dan Joy masih dibawah bersama orang orang lain yang sedang membantu semampu mereka.

-------------------------------------------

Entah berapa lama aku terlelap tidur sampai akhirnya Firman membangunkan aku: ”Tirak..., bangun..., kamu harus lihat ini”. Aku bangun dan melihat jumlah orang, motor, mobil meningkat secara drastis. Ambulans datang silih beganti mengangkut orang orang yang terluka dan jenazah yang meninggal. Astaga!, ternyata kejadian ini amat monumental dan tak akan mampu ditangani oleh kami bertiga, atau penduduk Phuket saja, atau bahkan oleh negara Thailand sendiri. Bantuan seluruh dunia diperlukan.

Saat itu terfikir untuk segera pulang tapi semua pesawat dari Bangkok penuh dan hanya ada satu tempat dipesawat..
Firman dan Joy mau ditinggal dan merasa tenaga mereka dibutuhkan. Kedua mahasiswa idealis yang sering berlatih naik turun gunung dan olah raga arus-liar itu terpanggil!.
Tapi Firman menyuruhku pulang duluan ke tanah air. Aku menolak!.  Tak mungkin pulang sendiri dan meninggalkan Firman.

Bencana ini bukan hanya gempa atau Tsunami, tetapi kekuarangan bahan makanan dan minuman bersih, ditambah penyakit kolera, disentri, diare dan bahkan malaria, mulai merajalela, mencari mangsa. Aku mengkhawatirkan Firman dan Joy.

Firman meraih bahuku: ”Aku justru khawatir terjadi sesuatu pada kamu disini, aku takut kehilangan kamu, aku menyayangi kamu”  katanya terdengar begitu dewasa padahal dia berumur jauh lebih muda dariku.  Lalu dia berkata lagi: ”Pulanglah.. !, aku dan Joy akan menyusul pulang setelah tahun baru”

---------------------------------------

27 Desember
Sepanjang hari ini, kami pergi ke rumah sakit yang berjarak cuma 1 kilometer meter dari pantai, tapi terletak sekitar 700 meter diatas bukit curam yang tinggi. Kami membantu mengangkat para korban dari ambulans kedalam rumah sakit.  Dengan pengetahuan P2K seadanya, kami bertiga mencoba membantu para korban selamat yang terluka dan menyerahkan pada para dokter untuk ditangani lebih lanjut.

Kami melupakan makan pagi dan hanya sempat makan siang sedikit yang disediakan oleh masyarakat Thailand di Phuket lalu kami kembali bekerja sampai malam hari tiba dan kami beruntung bisa mandi dari sumur jernih dibelakang rumah sakit. Membersihkan tubuh dan pakaian dari kotoran dan noda darah.

Setelah mendapat jatah sepotong Roti, kami bertiga meringkuk di pojok teras dan ingin segera berisirahat. Tak ada keinginan bicara, bahkan Joy yang biasanya cerita, tak terdengar bercanda. Tragedi yang amat masive ini membuat kami membisu.

Aku merapatkan badanku ke Firman dan berlindung didadanya yang bidang sambil menyembunyikan wajahku didalam ketiaknya!. Dekapannya yang kokoh dan aroma keringat di ketiak Firman yang berbau khas, tercium pekat di hidungku, membuatku tergiur oleh kelaki lakian Firman. Aku membuka kancing kancing kemeja Firman dan menyusupkan tanganku ke dadanya yang agak berbulu.

Firman tahu persis gelagat sikapku yang seperti itu, dan biasanya dia akan menuruti keinginanku, tapi dia justru menahan tanganku: ”Tirak...., jangan malam ini sayang...!”

Ya!, betapa bodohnya aku!, betapa rendahnya!. Kenapa ditengah kesengsaraan manusia yang sedahsyat ini aku masih menginginkan kelelakian Firman?. Aku sungguh merasa tak bermoral...!.  Aku sangat malu.

-----------------------------

Memang begitulah!. Aku memang sudah terlanjur jadi sangat ketergantungan oleh kejantanan Firman, sepeti malam ini. Keterlaluan!, aku bisa sampai lupa diri seperti ini!.

Hidup serumah dengan Firman ternyata membawa konsekwensi tersendiri bagiku karena sebagai seorang laki laki remaja berumur 20 tahun yang jantan dan sehat sempurna Firman perlu menyalurkan kebutuhan biologisnya secara rutin, sehingga sasarannya, aku yang harus melayani darah mudanya, bahkan sampai 2-3 kali setiap harinya.

Sehari hari kami menjalani kehidupan biasa yang wajar seperti pria normal lainnya; dan diluaran Firman tetap bersikap sopan dan menghormatiku sebagai orang yang lebih dewasa, akan tetapi dibalik pintu rumah yang tertutup, sikapnya berubah bagai seekor harimau buas yang siap menerkam mangsa yang tak berdaya dan mencabik cabik tubuhku dengan taringnya yang besar.

Secara fisik, tubuhku mungkin sudah tidak sempurna sebagai lelaki sejati akibat terlampau sering ”dipakai” oleh Firman, dan aku jadi sangat ketergantungan oleh kejantanan dirinya.  Tapi aku rela, pasrah dan bahagia karena merasa dibutuhkan oleh laki laki yang kupuja. Dan Firman bukan pemuda egois!, karena dia selalu memastikan agar aku juga mendapatkan kesenangan dan kepuasan bathin yang dia berikan. Manakala tubuhku mulai menggelepar gelepar bagai seekor ikan yang sekarat dan terlonjak dalam puncak klimaks, barulah giliran dia menyempurnakan proses persenggamaannya dan memuntahkan benih benih manusia kedalam tubuhku.

Tapi bukan hanya seks yang kami lakukan, kami juga saling mengisi, membantu, menyemangati dan menjalani kehidupan yang senyata nyatanya. Aku mencintai Firman karena dia seorang muslim yang saleh, tak sekalipun dia meninggalkan sholat 5 waktu yang selalu diakhiri dengan sujud taubat. Dia berumur 5 tahun jauh lebih muda dariku, tapi aku tetap menganggap dan menghormati dia sebagai seorang manusia dewasa. Tak sekalipun aku pernah atau ingin berpaling dari dia. Aku mencintai dia setulusnya dan ingin hidup bersama dia.

-----------------------------------

Akhirnya tanggal 28 Desember aku memutuskan, OK, sudah waktunya aku pulang. Aku pulang lewat Phang Nga, ke Bangkok dan terbang ke Jakarta.

Entah apa yang menungguku disana!.

Siapa tahu ada yang bisa kubantu disana, di negriku sendiri!.

Kutinggalkan Firman dan Joy berdua.
Belum 1 jam penerbangan di pesawat, bayangan wajah Firman tak pernah lepas dari pikiranku. Senyum dan gelak tawanya menemani perjalananku, membuatku menggigil. Ya...!, hubunganku dengan Firman sudah terlampau jauh dan terlampau dalam.

---------------------------------------

Tapi hari ini, 4 Januari 2005, sudah 6 hari kutinggalkan Firman!.

Malam tahun baru sudah lewat 4 hari dan belum ada kabar berita dari Firman.
Hubungan komunikasi sama sekali terputus.

Siang hari, aku memang mudah melupakan bayangan Firman karena aku sendiri sibuk melibatkan diri bersama kelompok yayasan yang melakukan pengiriman bantuan bagi para korban di Aceh. 
Tapi malam hari aku kembali merindukan Firman.

Firman bilang dia akan kembali setelah malam tahun baru.

Kenapa dia belum menghubungi aku...?, kapan dia pulang...?,

Kemana Firman-ku.....,Tirak-ku...!.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar